Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Klepon yang Merdeka

15 Agustus 2020   07:07 Diperbarui: 15 Agustus 2020   07:15 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang Indonesia, saya memang patut bersyukur karena negara yang dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa ini mempunyai banyak kekayaan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.

Misalnya kekayaan alam berupa flora dan fauna, keberagaman suku, budaya, bahasa, dan adat istiadat. Termasuk juga kekayaan hasil olahan pangan, dengan wujud minuman dan makanan tradisional.

Hal terakhir yang saya sebut, sempat menjadi bahan perbincangan hangat.

Baru-baru ini ada seorang "profesor" mengaku sudah menemukan minuman ramuan tradisional sebagai penangkal Covid-19. Ada lagi yang masih segar dalam ingatan kita, yaitu polemik tentang makanan klepon.

Hari ini, tanggal 15 Agustus merupakan tahun ke-75 setelah Jepang mengumumkan untuk bertekuk lutut pada Amerika dan sekutunya. Dalam bahasa Jepang disebut shuusen-kinenbi atau peringatan atas berakhirnya perang.

Pertimbangan utama Jepang (dalam hal ini Kaisar Hirohito) mengibarkan bendera putih adalah, hancur leburnya kota Hiroshima dan Nagasaki karena dijatuhi bom atom oleh Amerika, masing-masing pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945.

Sementara itu, dua hari lagi kita akan memperingati ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-75.

Mungkin bagi sebagian besar orang, perayaan ulang tahun ini hanya sekadar kerutinan yang dilakukan setiap tahun. Karena memang pada tanggal 17 Agustus, tiap tahun pasti ada pengulangan aktivitas yang sama.

Misalnya mengadakan berbagai macam perlombaan, entah itu lomba balap karung, pertandingan bulu tangkis, lomba makan kerupuk, lomba karaoke, panjat pinang, mulai dari tingkat RT sampai provinsi.

Tahun ini mungkin kerutinan tersebut tidak bisa dilaksanakan.

Kemudian kerutinan lain adalah, orang akan mengibarkan Sang Dwiwarna. Baik di depan rumah masing-masing, di gedung perkantoran serta hiburan, pada mobil, di warung-warung, dan pada semua tempat yang memungkinkan untuk dipasang bendera.

Namun disamping kerutinan itu, sudahkah kita memahami makna dari peringatan kemerdekaan yang sesungguhnya? Terutama mengenai apa sebenarnya "merdeka" itu sendiri?

Sekadar contoh saja, menilik dari polemik yang terjadi baru-baru ini, saya rasa belum semuanya memahami apa makna dari merdeka. Kenyataannya, pikiran manusia yang belum merdeka, bahkan bisa memasung keberadaan benda mati.

Peristiwa konkretnya, ada orang memasung "kebebasan" seonggok klepon yang tergolong jajanan pasar. Sungguh amat disayangkan, sang klepon ternyata belum "merdeka".

Bahkan beberapa orang (kelompok) ribut-ribut mengenai logo (atau grafis) peringatan kemerdekaan tahun 2020. Karena mereka masih memasung pikirannya, dan menghubungkan suatu bagian dari grafis dengan ajaran tertentu.

Oh ya, mumpung sedang membahas klepon sebagai salah satu makanan (mungkin lebih tepat camilan), ditambah lagi pada tanggal yang berdekatan di bulan Agustus ini ada peristiwa penting bagi Indonesia dan Jepang, maka saya ingin bercerita sedikit tentang pengalaman pribadi.

Yaitu cerita tentang kekayaan makanan kita yang lain, dimana makanan ini ternyata bisa menjadi katalis untuk melampaui batas budaya, dalam hal ini antara Indonesia dan Jepang.

Sebelumnya masuk kesana, kita tahu bahwa hubungan kedua negara cukup akrab, meskipun masing-masing mempunyai nasib berlainan setelah Perang Dunia ke-2 berakhir.

Indonesia lahir menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh, sedangkan Jepang menjadi negara kalah perang.

Pertama kali tiba di Jepang, saya punya kesulitan karena tidak bisa berbahasa Jepang satu patah kata pun.

Kemudian saya mulai belajar bahasa Jepang dengan giat dan pantang menyerah, mulai dari level anak TK, naik ke level anak SD, SMP lalu SMA. Proses ini memakan waktu yang tidak sebentar.

Sampai sekarang pun, rasanya masih belum mahir berbahasa Jepang.

Walaupun belum bisa bercakap dengan bahasa Jepang, namun ada satu makanan Indonesia yang membantu untuk mengatasi kesulitan komunikasi, dan menjembatani aktivitas sosial saya dalam masyarakat Jepang sejak awal tinggal di sini sampai sekarang.

Makanan itu bernama nasi goreng.

Saya tidak mengira, hampir setiap orang Jepang yang saya temui, ternyata kenal makanan kesukaan kita semua tersebut.

Di Tokyo nasi goreng bisa dinikmati pada 20 restoran, tersebar di berbagai kelurahan. Jenis restoran yang menyediakan nasi goreng pun bervariasi, mulai dari restoran Indonesia, restoran Jepang (termasuk izakaya) sampai dengan restoran Asia pada umumnya.

Bumbu untuk membuat nasi goreng tidak sulit didapat, khususnya di Tokyo.

Bahkan dahulu ada drama yang diberi judul "Divisi nasi goreng Kepolisian Metropolitan", dimana para pemain berasal dari grup musik AKB48.

Ketenaran nasi goreng tersebut, banyak membantu masa awal saya tinggal disini ketika masih berbahasa Jepang dengan terbata-bata.

Ketika bertemu teman baru, entah itu saat ikut beberapa kegiatan seperti hunting foto bersama, trekking, jalan-jalan, barbecue dan sebagainya, beberapa orang Jepang bahkan berucap "nasi goreng" ketika mereka tahu bahwa saya berasal dari Indonesia.

Sehingga saya tidak mempunyai kesulitan menjalin komunikasi, menggunakan topik nasi goreng sebagai pembuka percakapan.

Saya pun kerap mengundang teman-teman untuk pesta nasi goreng di rumah. Berkat nasi goreng, maka saya bisa menjalin persahabatan dengan banyak orang, dari berbagai profesi, umur dan domisili di Jepang.

Dengan alasan tersebut, kiranya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa makanan ternyata tidak terikat pada satu fungsi saja, yaitu hanya sebagai sumber asupan energi bagi kelangsungan hidup manusia.

Bagi saya pribadi, makanan mempunyai fungsi lain yang lebih luas. Yaitu sebagai katalis untuk mempererat hubungan antar bangsa, dalam hal ini Indonesia dan Jepang.

Makanan yang tidak terikat pada satu fungsi saja, saya anggap sama artinya dengan dia terbebas dari pasung yang mengikat makanan pada suatu posisi tertentu. Baik posisi yang mengikatnya pada pada suatu golongan, kelas, maupun budaya.

Buktinya nasi goreng bisa diterima dengan baik oleh teman-teman Jepang, yang mempunyai latar belakang budaya berlainan dengan saya.

Karena mempunyai fungsi selain dari asupan energi itulah, maka kita tidak boleh semena-mena membelenggu keberadaan dan posisi makanan. Dalam kata lain, biarkanlah makanan "merdeka".

Tidak terbatas pada makanan saja sih. Ini harus diterapkan pada hal-hal lain seperti kebudayaan, apalagi kebudayaan warisan leluhur baik yang berwujud maupun tidak (misalnya pola pikir, filosofi dan sebagainya).

Termasuk juga kepada simbol-simbol, serta karya seni mulai dari musik, sastra, seni rupa dan sebagainya.

Biarlah hal-hal tersebut berkembang sesuai dengan kebutuhan masing-masing orang yang berkepentingan memakai atau menggunakannya. Apalagi banyak orang merasa masih perlu untuk melestarikannya.

Kita harus benar-benar dapat melepaskan hal-hal tersebut dari belenggu pikiran kita yang sempit. Terutama dari sifat ketamakan dan ego manusia, agar mereka bisa benar-benar menjadi "merdeka".

Di sisi lain, kita sebagai manusia mempunyai akal yang digunakan untuk berpikir. Filsuf Perancis Rene Descartes mengatakan "Je pense, donc je suis", atau manusia berpikir maka manusia itu ada.

Dengan keberadaan makhluk berakal yang bernama manusia, maka kita harus menggunakan akal, untuk memaknai dan terutama mengisi kemerdekaan yang sudah dengan susah payah kita rebut secara lebih luas lagi.

Hal yang bagaimana lebih luas itu? Saya yakin ini bisa ditanyakan pada diri Anda masing-masing. Kalau dipaksa untuk menjelaskan, sedikit contohnya adalah seperti berikut.

Sudahkah kita selama ini mengungkapkan pendapat, baik secara lisan maupun tertulis secara tertib dan bertanggung jawab? Harus diingat bahwa kemerdekaan mengungkapkan pendapat, tidak sama artinya dengan asal njeplak semau gue.

Yang lain lagi, sudahkah kita merdeka dari pikiran sempit yang hanya mementingkan golongan tertentu saja?

Kalau mau ditambah, sudahkah kita berusaha keluar dari ruang gelap yang mengungkung kita, untuk melihat dunia yang sebenarnya lebih luas dan terang, dibandingkan dengan apa yang selama ini ada dalam persepsi (yang cenderung negatif) dari kita sendiri?

Mengisi kemerdekaan untuk mencapai tujuan akhir dari didirikannya negara Indonesia, bukan merupakan perjalanan yang singkat. 

Tidak tersedia juga jalan pintas untuk mencapainya. Lain halnya dengan menempuh program pendidikan S3 Vacitan, yang "katanya" bisa lewat jalan pintas hanya 2 tahun.

Mengisi kemerdekaan pasti bukan pula perjalanan yang mulus tanpa hambatan, Sebab jauh-jauh hari presiden pertama kita Ir. Sukarno, sudah memberi peringatan.

"Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri"

Sebelum melawan saudara sendiri, tidak boleh dilupakan bahwa pertama kita harus berjuang untuk melawan dan membuat diri sendiri supaya "merdeka".

Merdeka dari apa saja, termasuk dari hawa nafsu keserakahan, pandangan sempit, pikiran dan prasangka buruk, juga keinginan pengakuan diri.

Mengenai pengakuan diri ini, perlu sedikit saya tambahkan bahwa kita bisa mencontoh, ada banyak orang yang bahkan tidak kita kenal namanya, berjuang dengan cara senyap dan terkadang tanpa pamrih, untuk mencapai tujuan akhir bersama bangsa ini setelah memproklamasikan diri sebagai negara yang berdaulat penuh 75 tahun yang lalu.

Semoga pandemi Covid-19 cepat berlalu. Sehingga kita semua bisa melaksanakan segala kegiatan kita masing-masing, walaupun itu mungkin terpaksa harus dilakukan dengan cara baru yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya.

Saya juga sudah tidak sabar mengundang teman-teman ke rumah untuk mengadakan pesta nasi goreng lagi.

Selain pesta di rumah, kerap kali saya mengajak teman-teman untuk bersama mengunjungi festival Indonesia yang diadakan setiap tahun di taman Yoyogi. 

Karena selain mereka bisa menikmati suasana Indonesia (banyak juga orang Indonesia yang hadir), mereka bisa menikmati makanan jajanan pasar yang belum bisa saya buat sendiri seperti dadar gulung, kue lapis, onde-onde dan tentu klepon yang terkadang dijual disana.

Sebagai catatan, untungnya tidak pernah ada polemik tentang klepon yang dijual disini. Klepon sudah lama "merdeka" di bumi Sakura.

Roda kehidupan masih panjang, dan saya tidak tahu sampai berapa lama lagi harus tinggal di negeri matahari terbit.

Perjuangan yang saya harus lakukan disini, mungkin agak lain jika dibandingkan dengan semasa saya berada di tanah air tercinta.

Namun saya yakin bahwa perjuangan kita punya satu tujuan yang sama, di mana pun kita berada.

Yaitu menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera, juga demi persatuan ibu pertiwi dari ujung Sabang sampai Merauke dengan segala kekayaan beserta kebudayaan yang ada didalamnya.

Dirgahayu ke-72 Indonesiaku.

Merdeka!

Selamat menikmati akhir pekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun