Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Bunga Sakura dalam Rekaman Kamera Analog

14 Maret 2020   07:00 Diperbarui: 14 Maret 2020   11:26 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sakura dan Tokyo Tower (dokumentasi pribadi)

Biasanya kalau bulan Maret akan berakhir, orang Jepang (terutama rekan-rekan kerja) mulai ramai membicarakan dimana enaknya mengadakan hanami (acara menikmati bunga sakura). 

Sayangnya tahun ini wabah COVID-19 sedang merajalela. Bahkan pemerintah Jepang pun menganjurkan warganya agar tidak gelar tikar sambil makan dan minum ketika hanami. 

Padahal makan dan minum (biasanya minuman beralkohol seperti bir dan sake), sambil bercanda gurau di bawah atau di sekitar pohon sakura adalah salah satu kegemaran orang Jepang saat melakukan hanami.

| Tentang hanami sudah pernah saya bahas disini

Bagi Anda yang mempunyai rencana untuk menikmati hanami (di Jepang) tahun ini, mungkin ada perasaan khawatir. Bahkan mungkin Anda sudah membatalkan jadwal kunjungan.

Nah untuk Anda yang terpaksa membatalkan hanami tahun ini, maupun Anda yang gemar sakura, saya akan menyajikan keindahan sakura melalui foto yang dijepret menggunakan kamera analog.

Sakura di Kuil Daigoji, Kyoto. Kamera Pentacon Six dengan film Ilford (dokpri)
Sakura di Kuil Daigoji, Kyoto. Kamera Pentacon Six dengan film Ilford (dokpri)

Lho, kok kamera analog?

Tenang dulu. Ini cuma masalah pilihan saja sih. 

Saya juga sering menjepret sakura dengan kamera digital. Namun menurut saya, ada "rasa" yang berbeda ketika melihat foto sakura dijepret dengan kamera analog.

| Lebih jauh tentang kamera analog, sila simak disini

Kalau boleh memberikan salah satu alasan kenapa masih menggunakan analog, karena saya bukan tipe orang yang sering memberondong objek foto dengan pencetan shutter membabi buta. Hal ini lebih praktis dan ekonomis dilakukan jika menggunakan kamera digital.

Namun saya lebih suka menikmati objek foto berlama-lama dengan memandangnya. Jari telunjuk akan menekan shutter, hanya ketika momen yang terjadi saat itu pas (ukuran pas disini sebenarnya juga sangat subjektif).

Baiklah langsung saja. Saya akan mulai dengan foto ini.

Sakura di Tsurumigawa (dokumentasi pribadi)
Sakura di Tsurumigawa (dokumentasi pribadi)

Pohon sakura pada foto di atas terletak di pinggir sungai (dalam bahasa Jepang disebut dote) Tsurumigawa, yang masuk dalam daerah Yokohama, Prefektur Kanagawa. 

Karena dote sekaligus sebagai penghalang air jika terjadi banjir, maka jalan di atasnya agak lebih tinggi dibandingkan dengan jalan di sekitar. 

Mulanya, saya menikmati pemandangan dari jalan di bawahnya. Kemudian saya berpikir, mungkin lebih menarik jika ada orang yang berjalan di atas, sehingga dalam framing ada bunga sakura sekaligus juga orang.

Sinar matahari siang hari yang menyengat terhalang oleh kelopak bunga sakura berwarna pink. Sehingga langit seperti berwarna pink ketika saya memandangnya dari bawah.

Setelah sekitar 20 menit berlalu, untunglah ada orang yang berjalan disana. Saya kemudian menjepret momen tersebut, dan hasilnya seperti Anda lihat pada foto di atas. 

Saat itu saya menggunakan kamera Olympus XA4 dan film Fuji Superia X-TRA 400.

Selain kamera 135mm (lebar film sekitar 3,5 cm), saya juga sering menggunakan kamera medium format (lebar film sekitar 6 cm) untuk menjepret sakura. 

Seperti foto dibawah ini.

Sakura dengan latar belakang gedung modern (dokumentasi pribadi)
Sakura dengan latar belakang gedung modern (dokumentasi pribadi)

Kamera medium format menurut saya bisa memberikan nuansa tiga dimensi. Saya menyukainya untuk memotret pemandangan alam dan gedung.

Untuk kamera medium format, saya sering memakai film Fuji Velvia ketika memotret sakura. Anda bisa lihat hasilnya pada gambar diatas. 

Kamera yang saya gunakan adalah Kiev 60, kamera "besar" buatan Soviet (kita mengenalnya sebagai Rusia sekarang).

Sebagai catatan, memotret menggunakan kamera ini butuh pengorbanan, karena berat kamera sekitar 3 Kg! 

Bisa Anda bayangkan bagaimana "penderitaan" saya jika membawa kamera itu seharian penuh. Jangan tanya bagaimana rasa pundak ketika sampai di rumah.

Belum lagi bunyi shutter nya "garang" seperti suara orang membanting pintu keras-keras. Sehingga bunyinya bisa terdengar sampai jarak 100m! Ini serius.

Sakura, Tokyo Skytree, Kereta Api dan Burung (dokumentasi pribadi)
Sakura, Tokyo Skytree, Kereta Api dan Burung (dokumentasi pribadi)

Memotret dengan kamera analog juga bisa memberikan efek surprise. Alasannya, berbeda dengan kamera digital, hasil foto kamera analog tidak bisa dilihat langsung sebelum hasil cuci cetak foto selesai.

Seperti foto di atas, saya memang menunggu momen yang tepat agar ada kereta lewat. Sehingga bisa menjepret kereta dan sakura, dengan latar belakang Tokyo Skytree. 

Tetapi setelah cuci cetak foto selesai dan mengeceknya, ternyata ada burung yang terbang disana. Burung terbang merupakan efek surprise, karena saya tidak mengharapkan atau menunggu momen burung terbang pada saat memotret.

Sebagai catatan, foto dijepret dengan kamera Mamiya 645.

Kemudian untuk memotret sakura, saya juga sering menggunakan kamera eksentrik. Contohnya, saya pernah menggunakan kamera Horizon Perfekt.

Sakura dan Tokyo Tower (dokumentasi pribadi)
Sakura dan Tokyo Tower (dokumentasi pribadi)

Kamera ini menggunakan format panorama (panjang foto kira-kira 2 kali foto biasa dengan kamera 35mm). 

Mekanismenya juga unik, karena untuk menghasilkan format panorama, lensa berputar dari ujung kiri kamera ke kanan. Sehingga kamera jenis ini sering disebut juga sebagai swing camera.

Foto di atas saya ambil di kompleks kuil Zoujouji, di mana lokasinya hanya berjarak 200 meter dari Tokyo Tower. 

Saya juga pernah menggunakan kamera pinhole untuk memotret sakura. 

Seperti bisa Anda lihat pada foto di bawah, hasil fotonya tidak begitu fokus. Karena seperti namanya, kamera jenis ini tidak mempunyai lensa. Namun hanya ada lubang sebesar jarum sebagai pengganti lensa (kamera jenis ini dalam bahasa Indonesia disebut kamera lubang jarum). 

Apalagi pada foto itu, saya sengaja memotret dengan menggerakkan kamera dari kanan ke kiri, sehingga pada hasil foto terlihat ada garis-garis gerakan.

Sakura dengan kamera pinhole (dokumentasi pribadi)
Sakura dengan kamera pinhole (dokumentasi pribadi)

Selain menggunakan kamera analog manual, saya juga sering menggunakan kamera analog otomatis. Artinya saya tidak perlu mengatur fokus lensa dan kecepatan shutter untuk menjepret.

Seperti foto di bawah, saya menjepret dengan kamera analog saku cardia mini Tiara buatan Fuji. Kamera jenis ini sangat praktis karena saya bisa menjepret langsung ketika momen yang saya tunggu tiba, tanpa harus berlama-lama mengatur fokus lensa maupun kecepatan shutter. 

Lagipula kamera jenis ini ringan untuk dibawa ke mana-mana. Sehingga saya tidak perlu menempel salonpas di pundak sehabis berburu sakura seharian, seperti ketika saya memakai kamera analog buatan Soviet.

Sakura dengan bis yang bercorak sakura berwarna pink (dokumentasi pribadi)
Sakura dengan bis yang bercorak sakura berwarna pink (dokumentasi pribadi)

Salah satu alasan (lagi) yang membuat saya masih menggunakan (atau lebih tepatnya masih gemar) kamera analog adalah, dia bisa menangkap momen yang susah untuk direkam dengan kamera digital.

Saya bukan ingin berpolemik tentang perbandingan kamera analog dengan digital disini. Karena secara teknologinya saja, jelas kamera digital lebih unggul karena bisa menjepret suatu momen pada segala medan tanpa ribet mengatur ini dan itu.

Namun ketika saya ingin menjepret bunga sakura yang meliuk-liuk tertiup angin seperti foto di bawah, saya lebih suka dengan "rasa" dari hasil foto hasil jepretan kamera analog. 

Saya tidak menampik jika Anda mempunyai pendapat lain karena sekali lagi, ini pendapat yang sangat subjektif.

Oh ya, bunga sakura selain indah dan enak dipandang ketika sedang mekar, orang Jepang juga sangat suka melihat bunga sakura yang sedang rontok ketika tertiup angin. Momen ini disebut sakura-fubuki dalam bahasa Jepang.

Sakura-fubuki adalah momen yang sangat berharga dan langka (terutama bagi saya) karena butuh paling tidak dua syarat.

Pertama, untuk bisa rontok dengan elegan, kelopak bunga sakura biasanya butuh waktu 2 sampai 3 hari dari saat bunga sakura mekar total. Kedua, harus ada tiupan angin yang lumayan besar agar kelopak bunga sakura menari-nari di angkasa dengan jumlah banyak.

Bagi pekerja rodi seperti saya, bertemu dengan dua kondisi di atas ditambah dengan momen posisi dekat dengan pohon sakura yang besar adalah suatu hal yang (boleh dikatakan) mustahil. Apalagi saya hanya punya waktu "berburu" sakura hanya pada saat akhir pekan.

Oleh karena itu, saya harus puas dengan mendapat momen pohon sakura yang bergoyang ketika ditiup angin.

Sebagai catatan, saya menjepret "sakura goyang" pada foto dibawah ini menggunakan "kamera-bikin-pundak-pegal" Zenith 80 buatan Soviet. 

Karena saya juga seorang "pemalas" yang tidak suka membawa tripod, ketika menjepret momen itu saya menaruh kamera di batang pohon sakura yang kebetulan agak menjulur rendah.

Sakura yang tertiup angin (dokumentasi pribadi)
Sakura yang tertiup angin (dokumentasi pribadi)
Kemudian foto di bawah ini adalah foto sakura saat tidak bergoyang, yang saya jepret di daerah Kandagawa. Lokasinya memang disekitar sungai Kanda (gawa/kawa adalah sebutan sungai dalam bahasa Jepang). 

Seperti saya sudah bahas sebelumnya, kalau Anda mau lihat sakura maka sebaiknya pergi ke tempat dimana ada sungai mengalir (meskipun tidak semua sungai ada pohon sakuranya).

Saat musim sakura, orang banyak berkumpul di sekitar pohon sakura. Sehingga saya biasanya menjepret dengan arah lensa agak keatas, agar kepala dari orang-orang yang sedang hanami tidak masuk kedalam frame. 

Pada foto di bawah, saya meletakkan kamera Mamiya 645 di atas besi jembatan yang (sekali lagi) kebetulan ada di dekatnya dan mengarahkan lensa agak keatas. Untunglah jauh dibelakang kerumunan bunga sakura, ada gedung yang saya bisa jadikan titik pengisi latar.

Sakura di Kandagawa (dokumentasi pribadi)
Sakura di Kandagawa (dokumentasi pribadi)

Begitulah sedikit cerita tentang sakura dalam jepretan kamera analog. Mudah-mudahan bisa mengobati kerinduan Anda kepada sakura tahun ini.

Sebagai penutup, saya berpendapat sebuah momen bisa disimpan dalam bentuk apa saja dan mengabadikan dengan alat apa saja. 

Misalnya Anda bebas menyimpannya, baik dalam bentuk digital, maupun dalam bentuk foto print. 

Kemudian sebagai alat, Anda bisa menggunakan kamera digital, kamera analog, dengan smartphone canggih maupun hape jadul. Bahkan Anda bisa memilih untuk mengabadikan dengan mata, lalu menyimpannya saja dalam memori ingatan.

Karena bagi saya, yang terpenting bukanlah bentuk maupun alat yang Anda gunakan. Namun keberuntungan Anda bertemu dengan momen itulah yang terpenting. Bukankah begitu pembaca yang budiman?

Selamat berakhir pekan.

Selfie dengan background sakura anti mainstream menggunakan kamera lubang jarum di film kodak portra (dokpri)
Selfie dengan background sakura anti mainstream menggunakan kamera lubang jarum di film kodak portra (dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun