Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Rabu Abu, Pra Paskah, dan Makna Hidup Manusia

26 Februari 2020   21:52 Diperbarui: 18 Februari 2021   07:04 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rabu Abu (sumber:sanpaolo.or.jp)

Manusia sesungguhnya hidup untuk apa?

Pertanyaan itu kembali muncul di benak saya saat pastor mengoleskan tanda salib di dahi dengan abu, tanggal 26 Februari pagi hari ini.

Matahari tampaknya enggan menemani saya dalam perjalanan pulang dari Misa Rabu Abu, karena dia selalu bersembunyi di balik awan kelabu tebal yang menyelimuti Tokyo. Saya terkadang harus membungkukkan badan untuk sekadar menahan angin dingin yang sesekali berembus dengan kencang.

Sebagai orang yang lahir dan besar di daerah tropis, saat awal tahun memasuki musim semi seperti ini membuat saya agak "menderita" karena cuaca dan suhu yang dingin.

Penderitaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia. Walaupun, kadar penderitaannya bukan seperti ketika saya merasa dingin merusuk tulang pagi hari ini. Dan setiap orang tentu mempunyai rasa dan penerimaan yang berbeda atas penderitaan yang sedang dialaminya.

Ada banyak hal yang menyebabkan manusia menderita.

Kita tahu bahwa saat ini banyak orang yang menderita karena wabah virus corona yang menyerang dunia. Penderitaan karena kehilangan orang yang dicintai, maupun penderitaan karena ada anggota keluarga, sahabat, rekan kantor dan lainnya yang tertular.

Saat ini di Jepang, masker dan cairan disinfektan adalah barang langka yang amat berharga, karena tidak dapat ditemukan di toko-toko obat. Hal ini juga menimbulkan penderitaan karena orang jadi merasa takut, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah dengan persentase pasien wabah virus corona yang tinggi.

Kemajuan teknologi, pada satu sisi membawa perubahan yang menguntungkan (baca:positif) bagi manusia. Namun kita juga tahu, pada sisi lain teknologi juga bisa menimbulkan efek negatif.

Interaksi antar manusia tidak perlu lagi terjadi dengan cara bertemu secara fisik. Dengan kemajuan teknologi, orang bisa bertemu kapan saja dan dimana saja tidak secara langsung. Namun melalui percakapan misalnya menggunakan aplikasi whatsapp, maupun melalui tulisan di media sosial seperti facebook.

Percakapan dan tulisan itu tentu ada yang bermanfaat. Namun kita tidak memungkiri bahwa banyak juga percakapan dan tulisan disana menyebabkan orang lain menderita. Entah karena percakapan atau tulisannya asal-asalan, menyudutkan dan tidak objektif, bahkan ketika itu bisa menimbulkan kegaduhan.

Dalam perjalanan hidupnya, manusia butuh makanan (dan minuman) untuk memenuhi kebutuhan jasmani. "Roti" sering digunakan sebagai lambang pemenuhan kebutuhan ini.  

Walaupun "roti" penting untuk kelangsungan hidup, namun manusia hidup bukan semata-mata untuk "roti". Karena jika manusia hidup untuk "roti" saja, maka hati dan pikiran manusia bisa menjadi hampa, dan jiwanya menjadi kering.

Jika jiwa dan pikiran menjadi hampa dan kering, maka ini bisa mengakibatkan hubungan antara manusia menjadi tidak harmonis. Kalau hal ini tidak kita hiraukan, lama-kelamaan bisa menyebabkan penderitaan, bagi orang lain maupun bagi orang itu sendiri.

"Roti" memang penting, namun yang terpenting adalah kita harus ingat bahwa hidup merupakan anugerah dari Tuhan. 

Sehingga kita harus bisa bersyukur dengan cara mengisi hidup dan mengarahkan hati dan pikiran kita kepada Tuhan. Dengan begitu maka otomatis jiwa dan pikiran kita tidak menjadi kering, dan penderitaan bisa kita kalahkan.

Dalam penderitaannya, manusia sering merengek-rengek untuk mendapatkan pertolongan dari Tuhan. Bahkan bukan hanya merengek, karena kesombongannya terkadang manusia sering menganggap Tuhan bak "pembantu". MengganggapNya seperti resepsionis di hotel, yang bisa kita telpon dan suruh kapan saja, misalnya untuk mengantarkan makanan ketika kita lapar, atau mengantar handuk dan sabun saat kita mau mandi.

Tentu kita tidak patut berlaku seperti itu. Justru dalam penderitaan, kita harus menerima kenyataan hidup dan kemudian berusaha bagaimana caranya agar kita bisa keluar dari penderitaan itu.

Tuhan menginginkan agar setiap manusia bertahan hidup dan menentukan caranya masing-masing untuk mengatasi penderitaan.

Dalam setiap kenyataan hidup yang seburuk apapun, manusia harus berusaha untuk mengatasinya dengan kepercayaan bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan manusia. Dia akan selalu menyertai, dan menguatkan kita atas segala penderitaan yang kita alami dalam mengarungi lautan kehidupan ini.

Kembali ke pertanyaan saya pada awal tulisan. Manusia itu sebenarnya hidup untuk apa sih?

Apakah untuk kejayaan dan kemakmuran sendiri? Atau supaya manusia menjadi terkenal dan dikenang sepanjang masa?

Jika itu tujuan hidup, tentu untuk mencapainya dibutuhkan uang (baca:materi) dan pujian dari orang sekitar. Ini bisa membuat orang menjadi lupa dan terkadang dia memposisikan dirinya untuk menjadi pusat perhatian, sehingga tidak segan untuk mengatur orang-orang disekeliling.

Bahkan ada juga yang menjadikan dirinya (sama) seperti "tuhan"!

Hari ini adalah Rabu Abu, yang mengingatkan kita bahwa manusia itu rapuh, sekaligus juga menjadi pengingat bahwasanya manusia suatu saat nanti akan kembali menjadi abu.

Mulai dari hari ini, umat Katolik akan menjalani masa pra Paskah dengan pantang dan puasa selama 40 hari kedepan.

Masa 40 hari ini selain menjadi masa pertobatan dan "penderitaan" (baca:berusaha merasakan kesusahan yang dirasakan oleh orang lain), sekaligus juga bisa diisi dengan menggali dan merenungkan kembali apa sebenarnya tujuan kita hidup di dunia ini. 

Paus Emeritus Benediktus XVI, dalam ensiklik berjudul keselamatan berdasarkan harapan, menyatakan, 

"Manusia menderita bersama manusia dan demi manusia. Menderita demi kebenaran dan keadilan. Karena cinta sejati, rela menderita bagi manusia yang dicintainya. Itu adalah komponen dasar bagi manusia untuk menjadi manusia. Jika Anda meninggalkan ini, Anda akan menghancurkan diri sendiri."

Seperti bacaan Injil Matius hari ini, mari kita minyaki kepala dan mencuci muka, supaya jangan kita dilihat sedang berpuasa. Mari kita menyisihkan penghasilan untuk aksi puasa. Namun hendaknya jika kita memberi sedekah dengan tangan kanan, jangan sampai tangan kiri tahu.

Dan yang terpenting, mari kita berdoa sekaligus merenungkan apa sebenarnya tujuan kita hidup, dari tempat tersembunyi dengan menutup pintu kamar supaya jangan dilihat orang. 

Sehingga kita bisa ikut ambil bagian dalam perayaan kebangkitan Kristus pada Misa Paskah nanti.

Ad Majorem Dei Gloriam.
(Demi Kemuliaan Allah Yang Lebih Besar)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun