Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Orkestra Mandolin Mengantar Pengembaraan dari Italia, sampai Film Box Office Dunia

16 Februari 2020   07:00 Diperbarui: 16 Februari 2020   13:56 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Konser di Concert Hall Tokyo Opera CIty (dokumentasi pribadi)

Apakah Anda seorang yang tidak bisa lepas dari musik saat bersantai, atau apapun kegiatan yang sedang Anda lakukan?. Kalau "ya" adalah jawabannya, mungkin kita mempunyai kemiripan.

Tiada hari saya lewatkan tanpa mendengarkan musik. Entah ketika sedang dalam perjalanan pergi dan pulang dari kantor, bahkan ketika saya sedang membaca buku, majalah, atau ketika sedang bercerita tentang sesuatu hal seperti sekarang ini. 

Pokoknya, dalam setiap kesempatan saya pasti mendengarkan musik. Semua jenis musik saya dengar, mulai dari JPOPS, lagu barat, pop Indonesia, lagu daerah, minyou (lagu daerah Jepang), klasik, rock, blues, jazz, sampai klenengan pun saya lahap.

Yah, mungkin boleh dibilang saya itu seperti yang pembaca pikirkan. Saya memang keranjingan musik!

Sebab saya pikir musik itu bisa menjadi pelengkap, yang bisa membuat "jiwa" menjadi "sehat". Bahkan peradaban Mesir kuno menganggap musik adalah "obat" bagi jiwa lho!

Selain mendengarkan rekaman, saya juga sekali-sekali pergi menonton pertunjukan musik secara langsung (live show). Karena rasa dan nuansa jika kita mendengar pertunjukan live show, amat berbeda dibanding jika hanya mendengar rekamannya saja.

Hari Sabtu lalu saya mempunyai kesempatan untuk menonton konser dari orkestra mandolin yang bernama Ensembe Amedeo, di gedung Concert Hall Tokyo Opera City Shinjuku.

Grup mandolin yang dikomandoi oleh Oana Yuuichi ini berdiri sudah lama, yaitu sejak tahun 1980. Sebagai catatan, walaupun namanya orkestra mandolin, namun komposisi alat musiknya lengkap. Selain mandolin dan mandocello, ada juga flute, klarinet, gitar, kontrabas, organ, perkusi, dan alat musik lainnya.

Sebelum saya bercerita tentang pertunjukannya, saya ingin bercerita terlebih dahulu tentang gedung tempat penyelenggaraan konser, yaitu Tokyo Opera City.

Tokyo Opera City adalah suatu kompleks yang terdiri dari tiga gedung (dengan ukuran berbeda) yang berfungsi untuk konser, satu museum, satu galeri seni rupa, perkantoran, sebuah restoran dan gedung Teater Nasional Tokyo yang baru.

Gedung konser saat saya menonton live show adalah gedung konser utama (terbesar) dengan kapasitas sekitar 1600 orang. 

Gedung konser utama ini mempunyai nama lain yaitu Takemitsu Memorial. Nama ini diberikan untuk mengenang perancang gedung konser yaitu Takemitsu Tooru, yang meninggal dan belum sempat menyaksikan gedung ini dibuka untuk umum pada tahun 1997.

Kalau kita lihat ruangan dalam konser, bentuknya seperti kotak empat persegi panjang. Omong-omong tentang kotak persegi panjang, saya yakin Anda sudah tidak asing lagi dan tentu pernah melihatnya. Coba pembaca tebak, kira-kira dimana Anda pernah melihatnya.

Betul, Anda pasti mendapat kotak dengan bentuk seperti ini ketika membeli sepatu. Nah, gedung konser yang mempunyai bentuk persegi panjang dalam bahasa teknis biasa disebut shoe box type.

Membayangkan berada di dalam kotak sepatu mungkin terasa agak janggal. Namun, rasa janggal berubah menjadi takjub ketika melihat interior gedung konser. Kenapa saya bilang takjub?.

Karena interior bagian atas bentuknya seperti piramida, sehingga saya merasa seperti berada di kapal yang datang dari galaksi luar. Bahan baku interior berasal dari kayu oak Eropa yang memang terkenal sebagai medium yang bagus untuk penghantar getaran suara. 

Nama Leo L. Beranek tentu sudah tidak asing lagi bagi Anda yang maniak dengan segala sesuatu tentang akustik. Maestro akustik yang sudah merancang beberapa gedung konser dan opera hall di seluruh dunia ini adalah orang yang merancang interior, agar efek akustik ruangan konser disini bisa maksimal.

Kemudian posisi lantai gedung konser dibuat menurun (juga posisi kursi) kalau kita masuk dari pintu utama. Sehingga penonton yang duduk di belakang (dekat dengan pintu masuk utama) bisa dengan agak leluasa memandang ke bagian depan. 

Kalau kita berjalan terus sampai ke depan, terdapat panggung tempat pemain orkestra dan konduktor. Panggung mempunyai latar belakang pipe organ buatan Orgelbau TH Kuhn (perusahaan Swiss) yang berukuran besar. Dari jauh, warna logam dari pipe organ tampak kontras dengan interior dari kayu yang berwarna cokelat.

Interior yang berbentuk piramida (dokumentasi pribadi)
Interior yang berbentuk piramida (dokumentasi pribadi)
Itu adalah sedikit cerita saya tentang gedung. Sekarang, saya ingin bercerita tentang konsernya.

Oana Yuuichi, sang konduktor yang telah saya sebut sebelumnya, memang mahir membawa penonton (termasuk saya) untuk "berkelana" ke berbagai macam tempat dan suasana, dengan iringan irama dan melodi hasil dari petikan mandolin, mandocello, gitar, kontrabas serta tiupan flute, klarinet dan pukulan perkusi ditambah dentingan organ.

Pada konser bagian pertama, dia berhasil membawa saya untuk mengunjungi dan menikmati suasana Italia, sebagai negara asal mandolin. Orkestra membuka konser dengan memainkan karya S.Falbo yang berjudul "Overture in Re minore". 

Musik dimulai dengan petikan mandolin bernada rendah dan dimainkan agak senyap. Sehingga membuat saya seperti sedang mengendap-endap ketakutan, karena banyak anggota mafia dari Sicilia berkeliaran dan mengintai dari luar.

Namun kemudian ritme permainan menjadi cepat dan instrumen musik serempak memainkan nada tinggi. Saya jadi seperti ketahuan oleh anggota mafia, sehingga terasa harus berlari cepat karena mereka mengejar.

Ritme lambat dan senyap, kemudian cepat dengan nada tinggi, dimainkan secara berseling dan berulang kali. Kemudian pada coda (bagian akhir), permainan staccato (nada dimainkan terpisah dan pendek) dengan nada berat dan tinggi bak petir di siang bolong membuat jantung saya berdegup lebih cepat dari biasa.

Ah, memang Oana sang konduktor berhasil membuat saya ngos-ngosan dengan lagu pembuka ini. Lumayan lah bisa "olahraga" sambil mendengarkan musik.

Selanjutnya orkestra memainkan lagu "Giardino D'Estate Crepuscolo" karya P.Silvestri. Disini, instrumen dawai mandolin, mandocello, dan mandora dimainkan secara serentak sehingga tercipta harmoni yang apik. Saya bersyukur karena bisa istirahat sejenak, dan menikmati irama indah dari nada-nada yang dihasilkan instrumen. 

Rasanya seperti menikmati bunga yang mekar dengan indah di taman saat musim panas, sambil makan gellato. Hal tersebut bisa menghapus rasa capek dan "keringat" yang keluar saat mendengarkan lagu pertama. 

Memang sih, suasana hangat yang tercipta, sambil sesekali seperti merasakan angin berembus, sangat cocok dengan sub judul lagu dalam bahasa Jepang yang tertulis pada pamflet yaitu "taman musim panas".

Bagian pertama dari konser ditutup dengan lagu karya C.O. Ratta yang berjudul "Epicedio Eroico". Lagu ini berkisah tentang tentara Italia yang gugur pada Perang Dunia kedua di daerah yang bernama Tobruk. Komposisi lagu dan pola permainan musiknya terasa kontras pada bagian awal dan akhir. 

Pada bagian awal, musik dengan irama yang lambat dan suara berat dari instrumen bisa membuat perasaan menjadi sedih. 

Sang pencipta lagu sepertinya ingin berbagi kepada penonton, bahwa tidak ada yang bisa didapat dari peperangan, selain duka dan kesedihan. Namun irama lagu berubah menjadi riang dengan ritme yang cepat pada bagian akhir. 

Saya kira, sang komposer lagu juga ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada para pahlawan yang telah rela mengorbankan segala-galanya demi negara dalam peperangan.

Setelah istirahat sejenak, bagian kedua dari konser dimulai dengan memainkan lagu-lagu soundtrack dari film box office dunia.

Lagu sountrack film "Lawrence of Arabia" ditempatkan sebagai pembuka. Irama musik yang elegan dan ritme seperti musik padang pasir, berhasil membawa imajinasi saya seperti sedang naik onta, mengarungi hamparan pasir putih luas yang tidak berujung, menyusuri horizon.

Dengan lagu ini, M.Jarre sang pencipta berhasil menyabet Piala Oscar dalam kategori musik. Selanjutnya, orkestra memainkan lagu sountrack film "Nuovo Cinema Paradiso". 

Saya kira pembaca tentu pernah melihat poster film ini, dimana seorang bapak tua yang tersenyum, membonceng anak kecil di depan dengan sepeda.

Seperti hari cinta kasih yang dirayakan dua hari lalu, alunan musik dari orkestra membawa saya kembali menikmati cerita cinta seorang sutradara tua yang menjadi tokoh film ini. 

Dia mengenang masa kecilnya yang penuh dengan cinta kepada film, kemudian juga tentang kisah percintaannya pada masa remaja.

"A Million Dream" dipilih sebagai lagu ketiga yang dimainkan. Kalau ada yang pernah mendengarkan lirik dari soundtrack film musikal "The Greatest Showman" yang berirama pop ini, tentu tahu bahwa lagu mengingatkan kita untuk selalu optimis. 

Karena liriknya yang berisi hal positif itu juga lah, kabarnya lagu ini banyak dipilih untuk dinyanyikan saat kelulusan sekolah di suatu negara.

Kemudian, masih berhubungan dengan sepeda seperti di film "Nuovo Cinema Paradiso" yang dimainkan sebagai lagu kedua, lagu keempat mengingatkan saya kembali kepada sepeda. 

Tetapi kali ini, sepedanya bisa terbang di angkasa! Ya, orkestra memainkan lagu dari sountrack film "E.T" sebagai lagu keempat. 

Alunan irama orkestra membawa ingatan saya kembali pada dua peristiwa spektakuler yang terjadi pada film. Peristiwa pertama, E.T ditaruh di keranjang depan sepeda yang kemudian terbang seperti terlihat di poster film. 

Kemudian kedua, saat E.T menyembuhkan luka yang dialami tokoh anak kecil dalam film bernama Elliott, dengan jarinya yang bisa bersinar.

Sebagai penutup bagian kedua konser, irama lagu misterius dari sountrack film "Harry Potter" dimainkan secara medley (potongan pendek yang digabungkan menjadi suatu kesatuan).

Permainan terakhir dari orkestra di bagian kedua ini berhasil membawa saya ke dunia magis. Saya membayangkan sedang mengejar bola terbang bersama Harry, atau naik di mobil Flying Ford Anglia. 

Untung saja irama musiknya tidak membawa imajinasi saya bertemu dengan ular besar yang mengerikan kesayangan Voldemort, yaitu Nagini.

Setelah istirahat sejenak, maka konser masuk pada bagian ketiga yang merupakan babak terakhir. Disini, sajian musik dari orkestra juga tidak kalah menarik.

Pada bagian terakhir ini, menghadirkan bintang tamu seorang pianis yang bernama Ogawa Noriko. Dia seorang pianis yang sudah punya nama di Jepang, bahkan sudah menjadi juara dalam berbagai kontes piano yang diselenggarakan di berbagai negara. 

Pengajar Guildhall School of Music and Drama di London ini telah bermain bersama orkestra ternama dunia, seperti Royal Philharmonic Orchestra (Inggris) dan Moscow Philharmonic Orchestra (Rusia).

Saya termasuk salah satu orang yang beruntung bisa mendengarkan permainan piano kelas dunia yang dinamis dari Ogawa. 

Terutama kepiawaiannya memainkan komposisi piano karya Maurice Ravel. Padahal, seperti nama komposisinya yaitu "Piano Concerto for the Left Hand", dia memainkan pianonya hanya dengan satu tangan kiri!

Akhirnya, waktu sekitar dua setengah jam tidak terasa berlalu begitu cepat. Ada rasa kepuasan tersendiri setelah menikmati suguhan konser ini. 

Seperti sudah saya ceritakan diawal, "jiwa" seperti kembali terisi dan kemudian semangat kembali meluap untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Di Jepang memang sering diadakan konser semacam ini, di segala tempat yang mungkin untuk orang berkumpul. 

Seperti di depan dan di dalam mal, di dekat stasiun kereta api, di sudut-sudut jalan saat diadakan festival musiman, dan tentunya di gedung-gedung serbaguna maupun di gedung khusus konser seperti di Tokyo Opera City Concert Hall ini.

Mungkin banyak dari kita yang selalu membayangkan orang Jepang sebagai pekerja keras dan ulet, serta selalu memasang muka serius. 

Namun sebenarnya mereka juga bangsa yang gemar seni, salah satunya musik. Orang Jepang semenjak masa kecil sudah dekat dengan musik. Baik secara formal di sekolah, maupun dengan cara mendengarkan pada tempat-tempat yang saya sebutkan sebelumnya. 

Mereka juga tidak segan untuk membayar harga tiket konser musik, yang nominalnya berlipat dibanding harga tanda masuk untuk nonton film, demi mendengarkan musik, terutama musik kelas dunia. Karena alasan itu juga maka artis dari seluruh dunia selalu berebutan untuk menggelar konser di Jepang.

Musik, memang bisa membuat dunia kita lebih indah dan lebih "berwarna".

Semoga Anda bisa mendengarkan musik kesukaan saat akhir pekan seperti ini. Sehingga jiwa dan raga bisa kembali menjadi segar dan "sehat", dan membuat Anda siap melakukan aktivitas kembali minggu depan.

Selamat menikmati akhir pekan.

Suasana di kompleks Tokyo Opera City (dokumentasi pribadi)
Suasana di kompleks Tokyo Opera City (dokumentasi pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun