Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Natal dan Semangat untuk "Protect All Life"

25 Desember 2019   06:00 Diperbarui: 25 Desember 2019   09:58 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini tanggal 25 Desember adalah hari Natal, dirayakan oleh umat kristiani di seluruh dunia.

Yesus Kristus lahir di kandang kotor dan hina, kemudian dalam perjalanan hidupnya pun selalu mendapat hinaan dan cercaan. Namun itu semua tidak menyurutkan diri-Nya untuk selalu menebar kasih dan kedamaian kepada semua orang, tanpa terkecuali.

Kenapa tanpa terkecuali? 

Alasannya hanya satu. Kasih itu bak sinar matahari, memberikan kehangatan kepada semua orang tanpa pandang bulu. Sehingga kasih itu juga perlu diberikan tanpa terkecuali, karena itu merupakan hak semua orang. Seperti juga semua orang di muka bumi ini berhak untuk menikmati sinar matahari.

Sebulan yang lalu tanggal 23 sampai 26 November, Bapa Suci Paus Fransiskus berkunjung ke Jepang, setelah lawatannya ke Thailand. 

Paus pertama dari benua Amerika (Amerika Latin), sekaligus juga sebagai Paus pertama dari ordo Jesuit (biasa disingkat dengan SJ, atau Society of Jesus) ini mengunjungi tiga kota selama berada di Jepang, yaitu kota Hiroshima, Nagasaki dan Tokyo.

Tema dari kedatangan Bapa Paus ke Jepang kali ini adalah "Protect All Life". Tema ini sebenarnya mempunyai esensi tidak jauh dari tema pada saat Bapa Santo Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Jepang 38 tahun lalu. 

Matahari yang sudah saya singgung sedikit pada awal tulisan, digunakan pada logo tema kunjungan Bapa Paus ke Jepang kali ini. 

Seperti Anda lihat di bawah, bulatan merah besar melambangkan Matahari, melingkupi gambar bara api warna hijau sebagai lambang pulau Jepang, serta gambar api biru yang melambangkan Bunda Maria. 

Ada juga gambar bara api merah kecil untuk melambangkan pengorbanan orang-orang suci (dalam bahasa Jepang disebut sebagai seijin), yang gugur mempertahankan iman mereka dari penindasan (dalam bahasa Jepang, ini terjadi saat era kirishitan kinshirei) para penguasa Jepang pada abad ke-16.

Logo kunjungan Bapa Suci Paus Fransiskus di Jepang (popeinjapan2019.jp)
Logo kunjungan Bapa Suci Paus Fransiskus di Jepang (popeinjapan2019.jp)
Logo dengan lambang matahari besar ini juga pas sekali untuk digunakan, sebab Jepang adalah negara yang erat hubungannya dengan matahari.

Karena selain mempunyai julukan sebagai negara matahari terbit, menurut legenda, kaisar Jepang pertama sampai saat ini, merupakan keturunan langsung dewa matahari (dalam bahasa Jepang disebut Amaterasu Omikami).

Sebagai catatan, tema "Protect All Life" ini sumbernya dari surat edaran/amanat (Gereja Katolik menyebutnya ensiklik) Bapa Paus Fransiskus sendiri. Ensikliknya bernama "Laudato Si", yang berisi tentang pemeliharaan alam (lingkungan hidup) dan ciptaanNya.

Bapa Paus Fransiskus mendapat inspirasi ensiklik dari lagu rohani ciptaan Fransiskus Asisi, yaitu Laudes Creaturarum. 

Nah, disini ternyata matahari juga berhubungan lho. Karena lagu ini berisi penghormatan kepada ciptaan-Nya, misalnya saja kepada Matahari, Bulan, bintang dan komponen alam lain.

Saya ingin kembali kepada pembahasan tentang Natal. 

Natal bagi saya pribadi, bukanlah tentang hiasan dan acara makan-makan (perayaan) serta ucapan, yang saya anggap hanya aksesori. 

Akan tetapi, Natal adalah tentang bagaimana kita mau lahir kembali menjadi manusia baru, dengan menempatkan Kristus yang lahir di kandang kotor sebagai panutan. 

Kristus yang dalam perjalanan hidupnya banyak mendapat cobaan, dihina dan dicela, bahkan dikhianati. 

Aksesori boleh saja ada, tanpa aksesori juga tidak masalah. Asalkan jangan lupa, hadir dan ikut serta pada misa malam dan (atau) pada hari Natal merupakan suatu keharusan. 

Sehingga, ketika membaca ada daerah yang melarang misa Natal dengan berbagai alasan, hati saya menjadi sedih. Tetapi, saya tidak mau berpolemik lebih jauh dan bukan mau bercerita tentang itu sekarang.

Saya ingin bercerita tentang bagaimana memaknai kelahiran Kristus sang penebus dosa umat manusia, untuk kemudian hidup sebagai manusia baru, dengan rujukan pesan dari Bapa Suci Paus Fransiskus saat berada di Jepang. 

Presepio yang saya pajang di rumah | Dokumentasi pribadi
Presepio yang saya pajang di rumah | Dokumentasi pribadi
Lalu, apa saja sih pesan Bapa Paus dari tema yang diusung tersebut?

Kita tahu bahwa kalau tema itu diterjemahkan langsung dalam bahasa Indonesia, tujuan utamanya adalah untuk melindungi segala makhluk hidup. 

Tetapi kalau saya boleh membuat kesimpulan berdasarkan pidato dan homili (khotbah saat misa) pada saat kunjungannya ke Hiroshima, Nagasaki dan Tokyo, ada 3 hal penting yang ingin disampaikan oleh Bapa Paus.

Pertama adalah penghapusan nuklir dari muka bumi. Kemudian kedua adalah masalah lingkungan hidup, dan terakhir adalah masalah kemanusiaan. 

Saya ingin membahas satu persatu hal tersebut.

Pertama tentang nuklir sebagai alternatif untuk sumber energi. Untuk hal satu ini, saya yakin tentu ada yang setuju, atau sebaliknya banyak juga yang menentang dengan segudang argumentasi dari masing-masing kubu. 

Disini, saya tidak akan membahas tentang perkara setuju atau tidaknya.

Saya hanya teringat pada Murphy Law, yaitu kalau ada kemungkinan sesuatu akan gagal, maka itu akan terjadi.

Berdasarkan hal tersebut, secermat apapun pengelolaan atau pengoperasian reaktor nuklir untuk sumber energi, jika ada kemungkinan terjadi sesuatu (yang buruk atau tidak diharapkan), maka cepat atau lambat hal itu bisa menjadi kenyataan.

Faktanya memang ada beberapa kecelakaan dari reaktor nuklir tidak terelakkan. Salah satunya adalah pembaca tentu masih ingat bencana reaktor nuklir yang terjadi di Fukushima (bahasa teknisnya disebut melt down) pada tanggal 11 Maret 2011, bukan?

Saya sendiri merasakan langsung akibat dari bencana itu. Kalau saya mengingat kembali peristiwa tersebut, masih terbayang semrawutnya pikiran karena perasaan panik, cemas, takut, dan lainnya bercampur aduk menjadi satu.

Saat ini orang-orang yang tinggal di daerah sekitar reaktor nuklir di Fukushima, harus meninggalkan dan mungkin tidak akan bisa pulang lagi ke daerah kelahiran mereka. 

Tidak ada kampung halaman bagi mereka untuk bisa kembali merasakan dan mengenang berbagai kejadian, baik suka maupun duka, saat mereka kecil maupun saat mereka tinggal disana.

Paus Fransiskus mengingatkan agar Jepang memperhitungkan kembali dengan saksama, sehingga pada masa mendatang PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) tidak menyebabkan kesengsaraan terutama bagi manusia, dan bagi makhluk hidup yang menghuni daerah sekitarnya. 

Memperhitungkan dengan saksama dan bijak, adalah kunci yang tidak boleh dilupakan. Ini tentu juga bisa diterapkan dalam segala hal, terutama dalam kehidupan kita sebagai makhluk sosial.

Untuk informasi, dari 13 lokasi PLTN di Jepang, saat ini yang beroperasi hanya di 3 lokasi saja. 

Pernak-pernik natal yang dijual | Dokumentasi pribadi
Pernak-pernik natal yang dijual | Dokumentasi pribadi
Kemudian, kedua adalah masalah lingkungan hidup.

Jepang sebagai negara industri, selain memproduksi barang-barang yang bisa digunakan untuk meningkatkan taraf hidup, tentunya secara tidak langsung juga menghasilkan sampah. 

Sampah bisa berasal dari bekas pembungkus barangnya, dari produk sampingan, bisa juga dari barang itu sendiri ketika rusak atau tidak bisa digunakan lagi.

Lebih jauh mengenai sampah, mungkin pembaca juga sudah tidak asing lagi dengan masalah sampah plastik, karena ramai dibicarakan di media sosial. 

Saya yakin pembaca tentu pernah merasa terenyuh karena melihat foto burung atau ikan mati, dan kedapatan banyak sampah plastik di perutnya bukan?

Yang membuat lebih ngeri adalah, kalau membaca tentang mikroplastik. Yaitu plastik yang terurai menjadi bagian sangat kecil (tidak kasat mata). 

Mikroplastik ini bisa menimbulkan masalah kalau kemudian masuk ke rantai makanan, dan hewan tercemar itu kemudian dikonsumsi oleh manusia.

Nah, Bapa Paus mengingatkan bahwa bumi dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya (kekayaan flora dan fauna) bukan merupakan hak milik kita saat ini saja.

Anak cucu kita, puluhan bahkan ratusan tahun lagi, tentu mempunyai hak juga untuk menikmatinya.

Sehingga segala perbuatan dan tindakan kita saat ini, tidak boleh didasarkan hanya pada nafsu dan untuk kepentingan pribadi saja. 

Namun kepentingan bersama, terutama untuk masa depan juga harus diperhatikan. Demi menjaga kelangsungan hidup dari semua makhluk di bumi ini.

Bagaimana caranya?

Saya jadi teringat tentang satu kata dalam bahasa Jepang yaitu mottainai. Artinya kira-kira tidak boros atau tidak menyia-nyiakan. 

Mottainai adalah salah satu cara atau upaya yang bisa dicoba. Supaya kita dapat melaksanakan segala kegiatan saat ini dengan tidak mengorbankan kualitas kehidupan, sekaligus menjaga agar generasi berikutnya juga bisa menikmati (atau bahasa kerennya sustainability) kehidupan layak di bumi. 

Apalagi karena mottainai tidak menambah, bahkan bisa mengurangi volume sampah.

Contoh dari mottainai misalnya mematikan lampu/penerangan kalau tidak digunakan, mematikan air ledeng dengan benar (jangan sampai air masih menetes). 

Atau tidak segera membuang barang (pakaian, tas, sepatu) yang masih bisa (layak) untuk dipakai, tidak membuang tas yang didapat setelah berbelanja untuk digunakan kembali, dan masih banyak lagi.

Sudut lain dari pohon Natal di Futakotamagawa | Dokumentasi pribadi
Sudut lain dari pohon Natal di Futakotamagawa | Dokumentasi pribadi
Ketiga atau terakhir, inti dari pesan Bapa Paus dan saya kira terpenting adalah tentang kemanusiaan.

Kita tahu bahwa industri merupakan penopang perekonomian Jepang. Agar roda perekonomian berjalan dengan baik, Jepang banyak membangun pabrik. Lokasinya tidak hanya di dalam negeri saja, melainkan juga di luar negeri termasuk di Indonesia.

Masing-masing pabrik tersebut akan menghasilkan barang yang selalu sama. 

Misalnya pabrik kamera akan memproduksi kamera, bukan tas atau baju. Begitu juga dengan pabrik mobil, motor, alat rumah tangga, masing-masing akan memproduksi barang yang sama terus menerus (kecuali jika pabrik diubah untuk produksi barang lain). 

Mungkin ada sedikit saja perbedaan yang bisa kita kenali dari luar, misalnya perbedaan warna dan model. Namun begitu, barangnya tetap saja sama.

Manusia tentu berbeda, karena dia bukan produk dari pabrik. Perbedaannya jelas (kasat mata) antara manusia satu dengan lainnya. Selain itu, sifat, perilaku, selera, dan hal lain yang tidak kasat mata pun, juga berbeda.

Penting untuk diingat bahwa perbedaan itu tidak kemudian menjadi pembatas atau penghalang. Jadi tidak boleh kita menganggap, misalnya ada orang berhak mendapat kasih, sementara untuk lainnya tidak karena perbedaan yang kebetulan dimiliki orang tersebut.

Walaupun begitu, secara tidak sadar perbedaan pada manusia terkadang dapat menimbulkan "kemiskinan".

Tentu disini saya tidak berbicara tentang kemiskinan secara materi, karena saya pikir pada zaman maju seperti sekarang, tentu kemiskinan materi sudah banyak berkurang dibandingkan dengan zaman dahulu. 

Akan tetapi, saya berbicara tentang kemiskinan lain, yang tidak berubah dari dahulu sampai sekarang. Kemiskinan bukan karena tidak punya smartphone seri terbaru, maupun bukan karena tidak punya harta. Kemiskinan lain yang lebih menakutkan. 

Yaitu "kemiskinan" yang timbul karena kesendirian. Juga "kemiskinan" karena tidak dicintai. 

Bapa Paus Fransiskus mengingatkan bahwa kita juga harus ikut memikirkan kemiskinan jenis ini. Karena kemiskinan jenis ini, bisa jadi merupakan salah satu ujian (dalam) hidup bagi kita. 

Ujian seperti ini, saya kira tidak bisa dengan mudah untuk dihapus seperti ujian nasional. 

Nah, kalau namanya ujian, tentu akan bagus jika kita bisa lulus.

Untuk bisa lulus ujian hidup, karena ini (sekali lagi) bukan seperti ujian nasional, kemampuan kita untuk menjawab pertanyaan dengan benar bukanlah kuncinya.

Tetapi kebalikannya. Kunci agar ujian hidup bisa kita lalui dengan baik, adalah jika kita bisa membuat pertanyaan dengan benar.

Pertanyaan seperti, bagaimana dan apa usaha kita untuk mengurangi "kemiskinan" yang menakutkan seperti saya sebut diatas. Dan tentu masih ada banyak lagi pertanyaan lain.

Kita bisa mulai dari diri sendiri, pertanyaan apa yang bisa kita buat. Karena hanya dengan menemukan pertanyaan yang benar lah, kita bisa mendapatkan kebijaksanaan hidup.

Apalagi, kita hidup di dunia ini bukan untuk "apa", namun yang terpenting adalah untuk "siapa".

Presepio di Gereja Katolik Santo Maximilian Kolbe, Tokyo | Dokumentasi pribadi
Presepio di Gereja Katolik Santo Maximilian Kolbe, Tokyo | Dokumentasi pribadi
Dengan momen kelahiran Kristus ini, tentunya saya juga ingin mencoba mencari lebih dalam lagi, pertanyaan apa saja yang masih tertinggal atau bahkan terlupa. 

Mungkin saya tidak perlu mencari pertanyaan di sudut-sudut jalan yang jauh. 

Saya bisa mencari pertanyaan itu dari tempat yang terdekat, misalnya di sekeliling, mulai dari rumah. Atau bisa juga di lingkungan tempat tinggal (tetangga), di dalam perjalanan, mungkin juga di tempat-tempat yang sering saya singgahi maupun di kantor. Bahkan saya bisa mencarinya di komunitas maya, seperti kompasiana ini.

Pencarian ini penting karena jika kita tidak segera menemukannya, maka "kabut" atau penghalang bagi orang untuk mendapatkan kehangatan dari kasih, akan timbul dan bisa bertambah tebal. 

Kabut itu, tentu harus dienyahkan.

Dengan begitu, semoga kasih yang terang dan kehangatannya bak sinar matahari, bisa menjangkau dan dinikmati oleh semua orang.

Karena hanya dengan kehangatan sebagai buah dari kasih, maka kita bisa "protect all life", menjaga dan melindungi semua makhluk, baik yang hidup saat ini, maupun dimasa yang akan datang.

Selamat Natal 2019.

Gloria in Excelsis Deo.

Semoga damai dan kehangatan Natal selalu beserta kita semua.

Majalah Gereja Katolik edisi kedatangan Paus dan kenang2-an kedatangan Paus Fransiskus di Jepang | Dokumentasi pribadi
Majalah Gereja Katolik edisi kedatangan Paus dan kenang2-an kedatangan Paus Fransiskus di Jepang | Dokumentasi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun