Ada beberapa daerah di dunia yang terkenal karena banyaknya jumlah toko penjual buku vintage (saya lebih suka menyebutnya buku vintage dibanding sebutan buku bekas, dengan alasan yang akan saya tuliskan nanti).
Misalnya toko buku di distrik Book Row di New York, atau toko buku di daerah Bloomsbury di Inggris.
Namun pada tempat-tempat tersebut, lokasi toko buku tidak berdekatan satu sama lain. Sehingga mungkin akan butuh sedikit waktu untuk mencari buku yang kita inginkan, atau sekadar melihat-lihat koleksi buku.
Tokyo mempunyai satu area terkenal karena ada beberapa toko yang menjual buku-buku vintage. Daerahnya bernama Jimbocho.
Kalau Anda penggemar Fusion Jazz era akhir tahun 80-an, mungkin tahu drummer grup Casiopea yang bernama Jimbo Akira. Nah, tulisan kanji dari Jimbo pada Jimbocho, sama dengan kanji dari nama Jimbo Akira, lho.Â
Sebagai catatan, akhiran "cho" biasa digunakan untuk nama kota setingkat kelurahan. Sehingga Jimbocho, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia jadi kelurahan Jimbo. Meskipun bukan berarti kelurahan ini milik Jimbo Akira, sang drummer Casiopea.
Kembali ke ulasan tentang Jimbocho.Â
Toko buku di area Jimbocho, berdempetan antara satu toko dengan toko lainnya. Lagi pula, jumlah tokonya pun tidak tanggung-tanggung. Ada kurang lebih seratus toko di sana, mulai dari toko buku kecil sampai toko buku besar.Â
Kalau ditilik lebih jauh lagi, dari jumlah seratusan toko itu, kira-kira 15 toko buku didirikan lebih dari 100 tahun yang lalu. Dan ada sekitar 50 toko buku sudah berusia lebih dari 50 tahun.
Maka tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Jimbocho adalah tempat terbesar di dunia yang menjual buku-buku vintage bukan?
Karena buku-buku yang dijual di daerah Jimbocho, bukan sekadar buku bekas. Tapi kebanyakan buku yang yang dijual di sana, diterbitkan pada era Meiji (tahun 1800 akhir), Taisho (awal tahun 1900), maupun Showa (1926 sampai 1989).
Kemudian banyak juga dari buku-buku merupakan versi cetakan pertama (dalam bahasa Jepang disebut shohan).
Buku versi shohan ini amat banyak dicari (saya termasuk pemburu buku shohan). Karena kalau buku itu dicetak ulang, pada cetakan kedua dan seterusnya, isi buku terkadang berubah (sengaja melalui perubahan redaksional).Â
Itu bisa terjadi dengan mengganti kata-kata yang bisa diartikan sebagai ejekan (misalnya kata buraku, sebutan untuk desa yang terpencil/tertinggal), mengubah susunan bab, bahkan menghapus bagian tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan zaman saat buku itu dicetak ulang.
Selain itu, toko buku di Jimbocho juga banyak menjual buku yang sudah tidak dicetak ulang lagi (dalam bahasa Jepang disebut zeppan). Buku zeppan ini juga banyak peminatnya, terutama bila topik yang dibahas pada buku adalah topik langka, atau penulis ahli topik tersebut tidak begitu banyak jumlahnya. Sehingga jumlah buku tentang topik tertentu tidak banyak dicetak (dengan kata lain buku menjadi langka).
Pada era Meiji, banyak pejabat pemerintah, maupun kaum cerdik cendikia tinggal di daerah sekitar Jimbocho. Ditambah lagi, banyak sekolah maupun universitas didirikan di daerah ini.
Misalnya Tokyo Kaisei Gakkou yang merupakan asal mula dari Tokyo Daigaku (Universitas Tokyo). Lalu Meiji Houritsu Gakkou (sekarang menjadi Meiji Daigaku atau Universitas Meiji), Tokyo Hougakkou (saat ini bernama Housei Daigaku atau Universitas Housei), Nihon Houritsu Gakkou (sekarang dikenal sebagai Nihon Daigaku atau Universitas Nihon), dan beberapa universitas lain.
Murid-murid dari universitas tersebut (terutama murid dari kalangan atas) biasanya menghibahkan buku-buku yang sudah mereka baca/pakai kepada adik kelas mereka setelah lulus. Atau ada juga dari kalangan cerdik cendikia yang menghibahkan bukunya, karena mereka pindah ke daerah lain.
Sehingga beberapa orang melihat itu sebagai peluang bisnis. Kemudian mereka mendirikan toko dengan bisnis utama membeli buku-buku tersebut, kemudian menjual kembali kepada mahasiswa yang berkuliah di sekitarnya.
Dari tahun ke tahun, toko kemudian berkembang bukan hanya dalam jumlah, namun juga jenis buku yang dijual di masing-masing toko buku.
Misalnya kalau kita mau membeli buku tentang seni lukis Jepang maupun benda-benda seni Jepang zaman dahulu, kita bisa ke toko buku Sawaguchi, Isshindou, maupun Kagerou Bunko.Â
Kalau kita mau membeli buku tentang sastra, maka Keyaki-shoten, Tamura-shoten, juga Yagi-shoten adalah tempatnya.
Jika kita mencari buku yang berhubungan dengan sejarah, maka kita bisa ke toko buku Gomandou, Yamamoto-shoten, atau Toujou-shoten.
Begitu juga jika kita ingin membeli buku yang berhubungan dengan sub-culture seperti manga, buku tentang ilmu sosial kemasyarakatan, tentang ilmu pengetahuan (teknik), tentang hobi, hukum, filsafat maupun agama, olah raga dan lainnya, maka kita bisa mengunjungi beberapa toko buku lain di area Jimbocho.
Seperti sudah saya tulis di awal, ada kurang lebih seratus toko buku di area Jimbocho. Sehingga, saya yakin jenis buku apa pun yang Anda cari, pasti tersedia asalkan Anda punya cukup waktu (dan cukup tenaga tentunya) untuk melihat-lihat koleksi buku di toko-toko yang membuka usaha disana.
Segala hal yang berhubungan dengan buku, seperti penerbit, percetakan, dan profesional yang ahli dalam penerbitan buku juga bisa anda temukan di sana.Â
Saya ingin sedikit kilas balik sejarah lagi, untuk memberikan penjelasan kenapa penerbit, dan segala hal yang berhubungan dengan buku, bisa kita temukan di Jimbocho.
Misalnya saja Sanseido, di mana saat ini kita kenal mereka sebagai penerbit yang membuat buku-buku kamus. Lalu ada juga Iwanami-shoten, yang sekarang banyak menerbitkan buku terpisah (tidak merupakan kumpulan atau seri) dengan berbagai macam topik (dalam bahasa Jepang disebut tanko-bon).Â
Sanseido dan Iwanami-shoten awalnya juga merupakan toko buku penjual buku-buku vintage. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman, mereka merubah/menambah usaha bisnisnya (sesuai kebutuhan), sehingga kita mengenal mereka sebagai penerbit sekarang.
Ekosistem yang tersedia di Jimbocho juga mempunyai andil penting sebagai magnet untuk menarik segala sesuatu yang berhubungan dengan buku, berkumpul dan berkembang di daerah tersebut.Â
Saya mempunyai kesempatan untuk pergi ke sana hari Sabtu lalu. Lokasi bisa dicapai dari stasiun JR Kanda atau Ochanomizu. Untuk akses dari subway, bisa naik Mita Line, Shinjuku Line atau Hanzomon Line dari stasiun Jimbocho.Â
Saya sampai siang hari sekitar jam 11, kemudian meninggalkan Jimbocho pukul 5 sore hari. Sehingga kira-kira butuh sekitar 6 jam bagi saya untuk berkeliling di area seluas 600 meter.Â
Anda tidak perlu khawatir kalau haus maupun lapar. Karena Anda bisa menikmati kopi di cafe yang tersebar di area, baik cafe yang dimiliki oleh perorangan (orang Jepang) yang bernuansa agak retro, maupun cafe dari franchise asing (luar Jepang). Warung makan (restoran) juga bisa ditemukan dengan mudah di sekitar area.Â
Di beberapa toko buku, mereka juga membuka cafe atau restoran di lantai 2 gedung. Sehingga anda bisa membaca buku koleksi mereka, sambil menikmati kopi panas.
Sebagai informasi, toko-toko buku di area Jimbocho buka setiap hari, umumnya dari jam 10 pagi sampai sekitar jam 5 sore.Â
Jika Anda punya kesempatan untuk datang ke Tokyo, dan ingin melihat bagaimana buku vintage Jepang, maupun untuk sekadar menikmati suasana di pusat buku vintage terbesar di dunia, maka Jimbocho adalah tempatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H