Belakangan ini kalau saya menyimak siaran streaming berita televisi Indonesia, kebanyakan isinya adalah kejadian yang membuat saya prihatin. Mulai dari kerusuhan di Papua, kebakaran hutan, demo yang berujung perusakan gedung/fasilitas umum, tawuran dan masih banyak lagi.
Apalagi tentang demo menentang RKUHP yang masih hangat dan banyak dibicarakan oleh orang, termasuk di kompasiana ini. Kebanyakan dari pedemo menolak beberapa pasal yang (dianggap) merugikan dan multi tafsir.
Saya tidak akan membahas mana saja pasal yang merugikan dan multi tafsir. Apalagi multi tafsir adalah bukan merupakan "barang" baru di negeri tercinta kita. Karena undang-undang yang sudah ada pun, bahkan bisa ditarik kesana-sini bak karet yang bisa melar.
Tetapi saya lebih tertarik pada bagaimana mekanismenya kalau itu sudah disahkan nantinya.
Misalnya saja, tentang pasal hubungan pasangan yang belum menikah, lalu tentang kecerobohan dalam pemeliharaan hewan. Nanti siapa kira-kira yang harus bertugas untuk mengawasi (mungkin juga patroli) ada atau tidaknya pasangan kumpul kebo, maupun ada tidaknya hewan yang nyelonong ke pekarangan orang lain.
Mungkin Pak Hans (meminjam sebutan Benyamin untuk hansip) siap-siap kejatuhan rezeki nomplok karena ada tambahan bonus gaji (akibat pekerjaan bertambah). Atau mungkin bisa juga apes, karena hanya pekerjaannya saja yang bertambah.
Menarik juga membayangkan bagaimana jika orang-orang yang terjerat pasal itu (nantinya kalau disahkan) ternyata tidak mampu membayar denda. Karena jika penjara menjadi opsi, apakah jumlah penjara di seluruh Indonesia sudah mencukupi? Karena saya pernah membaca bahwa ada beberapa penjara yang sudah kelebihan kapasitas tampung.
Kegaduhan RKUHP ini, dari berita yang saya baca termasuk di kompasiana, ternyata terjadi juga di media sosial seperti WA, Facebook, dan Twitter. Memang tidak bisa dimungkiri, bahwa tulisan di media sosial bisa menyebar dengan cepat ke segala penjuru mata angin dengan satu klik saja.
Dalam era digital saat ini, kekuatan dari berita di media sosial bahkan bisa lebih dahsyat dibandingkan dengan orang yang hanya berkoar-koar di jalan. Karena di media sosial, orang bisa lebih terpancing emosinya dalam sekejap bak terkena hipnotis, tanpa bisa berpikir secara rasional.
Kemudian orang yang sudah "terhipnotis" menyebarkan lagi berita itu, dan begitu seterusnya sehingga efeknya bisa berlipat. Kemudian jika beritanya sudah tersebar luas, maka orang tidak peduli (atau lupa bahkan sulit untuk melacak) siapa sebenarnya yang pertama kali menuliskannya.
Orang akan lebih ingat pada isi beritanya saja. Seiring berjalannya waktu, efek berita bisa menjadi kuat dan bisa lebih memancing/mempengaruhi orang banyak. Bahasa kerennya untuk ini adalah sleeper effect.