Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jakarta, Penyair, dan Kompor "Mleduk"

7 September 2019   11:48 Diperbarui: 8 September 2019   01:05 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menikmati naik Bemo di Jakarta (Dokpri)

Setiap kota di dunia, tentu mempunyai berbagai permasalahan sendiri, yang berbeda antara satu dengan yang lain. Walaupun tidak bisa dimungkiri, ada juga persoalan umum yang membebani kota-kota tersebut, misalnya masalah kemacetan dan kepadatan penduduk.

Tidak terkecuali Jakarta, sebagai salah satu kota yang lokasinya berada di Indonesia. Apalagi Jakarta sebagai kota yang berpredikat ibu kota, tentu juga mempunyai segudang masalah yang terus merongrongnya dari tahun ke tahun. 

Misalnya masalah kemacetan dan kepadatan penduduk. Ada lagi masalah banjir, kemudian masalah sampah, perumahan, pengangguran, dan lain-lain yang bisa Anda tambahkan sendiri daftar panjangnya.

Pada tulisan ini, saya tidak akan membahas tentang rencana perpindahan ibu kota negara ke daerah Kalimantan Timur. Apalagi nyinyir tentang orang nomor satu di Jakarta yang "katanya" cuma ahli menata kata, dibanding dengan kemampuannya untuk menata kota (walaupun, dari berita yang saya baca, kenyataannya memang begitu sih).

Kalau saya boleh menuliskan alasan yang paling utama kenapa saya tidak membahasnya, karena saya tidak tertarik untuk membahas hal tersebut. 

Apalagi saya sudah memberikan kepercayaan kepada pemerintah melalui Pilpres yang lalu. Sehingga saya menyerahkan semua keputusan kepada pemerintah, untuk menentukan hal-hal apa saja yang terbaik bagi Indonesia, karena itu adalah memang tugas mereka.

Nah, untuk masalah Jakarta, saya lebih percaya (dan tentu saja sangat menikmati) omongan para penyair, melalui karya puisi mereka. 

Karena dalam puisinya, mereka lihai membungkus kenyataan yang ada melalui apa yang mereka lihat dan rasakan, dengan kata-kata yang kadang lugas, tapi mempunyai makna yang dalam dan mengena. 

Kata-kata dalam puisi, seperti yang dikatakan oleh kritikus juga penyair Stephen Burt yang mengajar di Universitas Harvard, terkadang bisa membuat kita gembira, sekaligus sedih. 

Puisi juga mempunyai banyak maksud dan tujuan, sehingga tentu mengasyikkan karena tinjuauan bisa diberikan dari beberapa sudut pandang. Hal ini membuat "rasa" yang bisa dinikmati oleh orang terhadap suatu puisi tentu berbeda-beda. 

Tidak seperti matematika dan ilmu eksak yang lain yang hanya mempunyai arah dan tujuan yang tunggal.

Apa kata para penyair tentang Jakarta, yang masih berstatus sebagai ibu kota negara saat ini?

Mari kita mulai dengan menyimak apa yang dikatakan oleh Mustafa Ismail pada puisinya yang berjudul "Jakarta hujan".

Biarkan jemuran bermain hujan
janganlah kau mengkhawatirkan
kesehatannya secara berlebihan

Hujan, sudah pasti menjadi pemicu masalah banjir di Jakarta. Walaupun terkadang, banjir terjadi karena hujan yang terjadi secara bersamaan di daerah hulu seperti di Bogor. 

Orang dewasa mungkin tidak suka hujan. Namun anak-anak justru banyak yang suka dan bermain, ketika sedang turun hujan.

Kita bisa menangkap personifikasi anak-anak yang bermain riang gembira di jalanan ketika hari sedang hujan, melalui jemuran yang meliuk ke kanan dan kiri diterpa oleh hujan. 

Orang dewasa kebanyakan khawatir tentang kesehatan, sehingga akan menghindari hujan. Padahal, sebenarnya kita tidak perlu khawatir secara berlebihan.

Menikmati naik Bemo di Jakarta (Dokpri)
Menikmati naik Bemo di Jakarta (Dokpri)

Kemudian, Jakarta bisa membuat orang seperti terasing. 

Bulan terang di Jakarta
Sedang hati jauh menyisih
Mencari ibu dan kekasih
Di pagi hijau terlontar menemu duka

Puisi itu ditulis oleh Sobron Aidit pada tahun 1954. Kita tahu, bahwa Jakarta saat itu tentu jauh berbeda dengan sekarang. Penduduknya pun belum begitu padat, apalagi pasti belum ada yang namanya macet.

Namun, saya rasa bukan keadaan itu yang menjadikan hati sang penyair menjadi seperti terasing. Pasti alasan lain yang menjadikan dirinya seperti itu. 

Mungkin karena cuek nya masyarakat Jakarta terhadap keadaan sekeliling, seperti juga yang diungkapkan Rendra melalui puisi "Bulan Kota Jakarta".

Bulan telah pingsan
di atas Kota Jakarta
tapi tak seorangpun menatapnya

Tidak ada rasa keterikatan antara penduduk Jakarta, karena mereka mempunyai kepentingan pribadi. Yaitu masing-masing berusaha dengan sekuat tenaga, dengan tujuan semata-mata agar dapat bertahan hidup.

Lalu, apakah pembaca bisa merasakan puisi "Jakarta", yang ditulis oleh Medy Loekito dibawah ini.

Setiap pagi
kubangunkan gedung-gedung batu berhimpitan kantuk
menjadi pusara-pusara makam maha luas
lalu kuukir nama-nama penuh cinta
yang tumbuh menjadi iblis-iblis
setiap malam

Orang-orang dengan menahan kantuk setiap pagi (mungkin Anda adalah salah satu diantaranya), memenuhi bus dan kereta untuk pergi ke Jakarta. Sampai tempat tujuan pun, mereka membenamkan diri dalam kesibukan masing-masing, di dalam "makam" yang berujud gedung beton di seantero Jakarta.

Dengan segala ingar-bingar aktivitasnya sehari-hari, terkadang manusia hanya memikirkan hal-hal yang menyangkut duniawi saja. Seperti yang dikatakan oleh Asep Setiawan pada puisinya "Tentang Jakarta" berikut ini.

Bagaimana aku ingat baunya
Rumputan
Bila tanah tak pula kuinjak
Sedang manusia sendiri tak ingat
Kuburnya
Aku pun kadang alpa menjenguk
Rumah-mu
Lantaran aku juga manusia
Yang besar di rimbanya.

Walaupun Homo Jakartaensis (meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma bagi manusia Jakarta) super sibuk, tentu tidak boleh lupa bahwa dia juga bagian dari alam, sehingga tidak boleh lalai menjenguk rumahNya.

Pemandangan Teluk Jakarta dari ketinggian (Leica M3 on Ilford. Dokpri)
Pemandangan Teluk Jakarta dari ketinggian (Leica M3 on Ilford. Dokpri)

Dengan kompleksnya persoalan yang ada di Jakarta, maka Remy Sylado ingin menjadikan Jakarta menjadi "putih", dalam puisinya yang berjudul "Ibu Kota, Kota Ibu".

Kalau aku makmur
Kubeli Jakarta, kucelup jadi putih.

Kau bisa bayangkan
Kalau Jakarta tiba-tiba putih semua
Mas di puncak Monas: putih
Patung Selamat Datang: putih
Pohon Taman Surapati: putih
Lapangan Sepakbola Istora: putih
Air Ciliwung: putih.

Berbicara tentang putih, tentu kita masih ingat kejadian bahwa Jakarta sempat menjadi "putih" pada tanggal 2 Desember tahun 2016 yang lalu. Benar juga seperti yang dikatakan oleh Remy Sylado, bahwa putih itu bisa berarti warna kekalahan. Seperti bisa kita baca bagian akhir pada puisi yang sama, yang merupakan gambaran pas untuk keadaan Jakarta saat ini.

Putih kau tau warna kesucian
Tapi putih kau pun tau, warna kekalahan
Bagaimana orang bisa dipercaya bicara
Jika ia berada dalam kelas yang kalah
Seperti kini Jakarta disesaki olehnya.

Sebagai penutup, walaupun saya amat menikmati puisi tentang Jakarta seperti apa yang dituliskan oleh penyair diatas, namun favorit saya adalah lagu-lagu dari Benyamin Sueb yang isinya menceritakan segala sesuatu tentang Jakarta.

Sebagai orang Betawi, Bang Ben (panggilan untuk Benyamin S) memang bisa mengungkapkan kejadian yang dialami masyarakat (terutama yang tinggal di Jakarta) dengan jenaka, namun tepat sasaran.

Naik Angkot di Jakarta (Mamiya645 on velvia50.Dokpri)
Naik Angkot di Jakarta (Mamiya645 on velvia50.Dokpri)

Misalnya saja pada lagu "Digusur" yang menceritakan tentang penggusuran rumah penduduk. 

Kemudian lagu yang paling pas untuk menggambarkan keadaan yang masih bisa dirasakan di Jakarta saat ini, adalah lagu "Kompor Mledug".

Jakarta kebanjiran,
di Bogor angin ngamuk
Ruméh ané kebakaran
garé-garé kompor mleduk
Ané jadi gemeteran, wara-wiri keserimpet
Rumah ané kebanjiran,
naah, gara-gara got mampet

Aa~ti-ati kompor meledug
Aa~ti ané jadi dag-dig-dug
(heh.. jatuh duduk)
Aa~yo-ayo bersihin got
Jaa~ngan takut badan blépot

Apakah dengan berpindahnya ibu kota negara nanti, Jakarta masih menjadi objek yang menarik bagi para penyair (atau seniman) sebagai inspirasi untuk manghasilkan karya-karya yang menarik?

Untuk mendapatkan jawabannya, tentu kita harus bersabar untuk menunggu sampai pada saatnya nanti.

Selamat berakhir pekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun