Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bisnis Angkasa Luar Setelah Misi Pendaratan Apollo 11 di Bulan

20 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 20 Juli 2019   08:35 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Astronot Buzz Aldrin saat berada di Bulan| Sumber: NASA

Tanggal 20 Juli hari ini, genap 50 tahun yang lalu, misi angkasa luar Apollo 11 berhasil mendaratkan manusia pertama di Bulan. Neil Armstrong adalah manusia pertama yang menginjakkan kaki di Bulan. Kemudian disusul oleh Buzz Aldrin, 19 menit setelahnya.

Apollo 11 meninggalkan bumi menuju ke orbit menggunakan roket Saturn V, yang diluncurkan dari Kennedy Space Center milik NASA di Florida. Peristiwa pendaratan manusia pertama di bulan ini dipancarkan secara live ke seluruh dunia, untuk menunjukan bahwa Amerika lah yang lebih digdaya dalam hal persaingan teknologi angkasa luar dibandingkan dengan rivalnya yaitu Uni Soviet (yang sekarang kita kenal sebagai Rusia).

Persaingan antarnegara adidaya mewarnai perkembangan bisnis angkasa luar pada abad ke-20. Namun saat ini, angkasa luar bukan hanya domain dari negara saja. Angkasa luar telah berubah dari domain "negara", menjadi persaingan antar pihak "swasta" pada abad ke-21, termasuk juga sumber pendanaan.

Misi pendaratan Amerika ke Bulan yang terakhir adalah Apollo 17, yang terjadi pada bulan Desember 1972. Berarti, sudah 47 tahun lamanya Amerika tidak mempunyai misi untuk pendaratan di Bulan.

Ada berbagai macam alasan kenapa Amerika tidak berusaha untuk kembali ke Bulan. Alasannya bukanlah hal-hal yang bersifat teknis, akan tetapi diluar itu, seperti masalah dana, juga alasan politis.

Namun Wapres Amerika Mike Pence mengatakan pada bulan Maret tahun ini, bahwa Amerika akan kembali ke Bulan dalam rentang waktu 5 tahun ke depan. Ini berarti, Amerika akan kembali ke bulan lebih cepat dari perkiraan atau rencana semula, yaitu pada tahun 2028. 

Untuk mempercepat terlaksananya hal tersebut, Pence menyadari bahwa diperlukan anggaran yang tidak sedikit, plus SDM juga perlu dipersiapkan dengan matang.

Kalau berbicara mengenai misi ke Bulan maupun misi angkasa luar lain, maka mau tidak mau kita harus berbicara tentang roket. Karena roket merupakan bagian terpenting untuk membawa pesawat ulang alik atau beban lain misalnya satelit, ke angkasa luar. 

Roket berkekuatan tinggi amat diperlukan sebagai daya dorong untuk melawan gaya gravitasi bumi, sehingga bisa membawa satelit atau muatan yang dibawanya ke angkasa luar, untuk kemudian menempati orbit yang telah ditentukan.

Astronaut Apollo 11 di Bulan (gizmodo.com)
Astronaut Apollo 11 di Bulan (gizmodo.com)
Menurut data dari Nikkei, jumlah peluncuran roket di dunia menurun drastis sejak runtuhnya negara Uni Soviet pada tahun 1991. Namun tahun 2018 yang lalu, total jumlah roket yang diluncurkan di seluruh dunia berjumlah 128 buah. 

Jumlah ini adalah lebih banyak 40 persen dari jumlah roket yang diluncurkan pada tahun 2017. Jumlah roket yang diluncurkan itu juga melampaui rekor jumlah roket yang diluncurkan pada tahun Apollo 11 mendarat di bulan (1969), yaitu sebanyak 125 buah.

Perincian dari jumlah itu adalah, Amerika meluncurkan roket sebanyak 43 buah. Jumlah ini melampaui saingannya pada masa "perang dingin" terdahulu yaitu Rusia, yang meluncurkan "hanya" 20 roket. 

Namun Amerika tidak boleh berpuas diri karena Tiongkok, berada di posisi yang sama dengan Amerika. Sementara itu, negara selain Eropa seperti India, Jepang, dan Israel membuntuti dibelakang.

Ada hal yang menarik jika kita menyimak dan membandingkan perkembangan teknologi angkasa luar, antara Amerika dan Tiongkok.

Pemerintah Amerika saat ini terlihat kurang gairah menggelontor dana untuk pengembangan riset angkasa luar. NASA hanya memperoleh sekitar 0,4 persen saja dari anggaran belanja pemerintah. Bandingkan dengan anggaran pertahanan, yang bisa mencapai sekitar 16 persen dari total anggaran belanja. 

Sementara itu, Pemerintah Tiongkok royal menghabiskan dana untuk pembuatan roket besar maupun satelit pengintai. Karena memang Tiongkok ingin menjadi penguasa angkasa luar. Tiongkok juga berencana untuk membangun stasiun angkasa luarnya sendiri pada tahun 2022.

Karena anggaran dari pemerintah jumlahnya terbatas (kecil), maka Amerika lebih mengandalkan pihak swasta untuk urusan industri (riset) angkasa luar. Misalnya saja, ada perusahaan SpaceX yang dikomandoi oleh Elon Musk, Blue Origin kepunyaan bos Amazon Jeff Bezos dan Richard Branson dengan Virgin Galactic.

Perusahaan tersebut gencar melakukan riset mengenai angkasa luar dengan tujuannya masing-masing. Misalnya ada yang fokus untuk membuat roket yang ekonomis (bisa didaur ulang), namun mempunyai daya dorong yang besar, seperti yang dilakukan oleh SpaceX. 

Ada juga yang fokus untuk entertainment, misalnya membuat pesawat ulang alik berbiaya "murah" agar orang bisa dengan mudah bertamasya ke angkasa luar, seperti yang dilakukan oleh Virgin Galactic.

Ada juga yang fokus pada pembuatan stasiun angkasa luar, maupun untuk membuat sekaligus menempatkan satelit pada orbitnya. Stasiun angkasa luar atau satelit ini kemudian digunakan untuk mengambil data, yang bentuknya bisa berupa foto atau gambar, hasil dari pemindaian bermacam sensor/radar yang dipasang disana.

Foto atau gambar ini merupakan informasi, dan informasi adalah komoditas yang berharga saat ini. Informasi ini bentuk nyatanya adalah data. Data bisa berharga mahal, apalagi data yang sudah diolah. Sehingga ada jargon yang berbunyi "Knowledge is power, data is money". 

Wilbur Ross, Menteri Perdagangan Amerika memprediksi nilai bisnis angkasa luar bisa mencapai beberapa triliun dolar Amerika pada masa mendatang. 

Oleh karena itu, pihak swasta tidak ragu-ragu untuk menyuntikkan dana bagi pengembangan/riset angkasa luar, karena mereka tahu akan nilai (atau bisa dibaca juga sebagai peluang bisnis) dari data yang dikumpulkan, misalnya dari satelit yang mengorbit di angkasa luar. 

Data yang dikumpulkan pun beragam. Misalnya data tentang kandungan mineral dari daratan yang luas, atau data gerombolan ikan (yang mencakup jenis, perkiraan jumlah dan sebagainya) di lautan, data tentang berapa cadangan minyak suatu negara yang ditaksir dari foto kapal tanker yang lalu lalang dan singgah di pelabuhan negara tersebut.

Sedikit catatan tambahan, saat ini data satelit tidak hanya digunakan untuk kepentingan itu saja. Namun bisa diperluas, misalnya untuk perhitungan taksiran asuransi bencana alam, sebagai penunjang kendaraan untuk teknologi self driving, dan lainnya.

Sebagai penutup, Indonesia yang merupakan negara kepulauan tentunya amat membutuhkan berbagai macam data, seperti data kekayaan laut (baik flora maupun fauna), data kekayaan mineral, data untuk tata kota dan sebagainya. Data-data ini bisa diperoleh melalui satelit.

Sensor yang dipasang pada satelit dapat digunakan untuk mengambil (memindai) berbagai macam data. Kemudian data gambar (atau foto) itu bisa digunakan untuk analisis kandungan sumber daya alam, baik di laut maupun darat (gunung). Biasanya ilmu atau teknologi yang berhubungan dengan hal-hal seperti ini disebut dengan Remote Sensing.

Data yang dikumpulkan nantinya juga bisa diolah, yang hasilnya bisa digunakan untuk berbagai tujuan. Misalnya digunakan untuk rencana tata kota, atau untuk prediksi bencana alam (gempa bumi, luapan air saat terjadi banjir), memonitor perubahan misalnya kikisan tanah di pegunungan maupun jangkauan air laut ke daratan yang disebabkan oleh naiknya ketinggian air laut, perubahan iklim (suhu) laut, dan lain-lain. 

Sebagai catatan, ilmu yang berhubungan dengan pengolahan data geografis ini biasa disebut Geographic Information System (GIS).

Saat ini, data-data satelit untuk kebutuhan tersebut kita beli dari negara (badan/organisasi) luar seperti NASA, NOAA (Amerika), ESA (Eropa).

Indonesia memang sudah mempunyai beberapa satelit saat ini. Namun, kebanyakan satelit digunakan untuk kepentingan telekomunikasi, maupun untuk keperluan siaran televisi. 

Seperti Satelit Nusantara Satu yang baru saja diluncurkan, merupakan satelit komunikasi broadband pertama yang dimiliki Indonesia. Satelit ini berguna untuk menunjang kebutuhan akses Internet dari daerah, terutama yang berada di pelosok.

Mungkin nantinya, selain untuk memenuhi kebutuhan telekomunikasi dan siaran, penting juga bagi Indonesia untuk memiliki satelit yang dilengkapi sensor, sehingga bisa digunakan untuk kebutuhan lain. 

Misalnya mengumpulkan data seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya. Karena, kekayaan alam yang kita miliki, tentunya penting untuk kita ketahui sendiri, tanpa harus bergantung dari data yang disediakan (dijual) oleh negara lain.

Selamat berakhir pekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun