Bahkan, kriteria dari pahlawan dalam satu zaman pun berbeda.
Seperti, bersamaan dengan keberangkatan saya ke Tokyo pada tanggal 24 Januari ini juga, seorang yang sekarang memilih dipanggil sebagai BTP, mungkin adalah seorang pahlawan bagi sebagian orang yang mendambakan pemerintahan yang bersih dan transparan. Pahlawan yang juga berani melawan "tikus-tikus" yang selama ini leluasa menggerogoti duit rakyat.
Renungan saya tentang definisi pahlawan terhenti karena saya sudah sampai di terminal 3 keberangkatan tepat pukul 20:00, satu jam sebelum waktu boarding pesawat. Saya bisa bernapas lega.
Setelah check-in dan menitipkan bagasi, saya bergegas masuk untuk proses imigrasi. Di jalur antrean, kebetulan saya bersamaan dengan rombongan (saya tahu rombongan karena baju mereka seragam) orang, yang ketika saya tanya mereka akan pergi bekerja ke salah satu negara di Timur Tengah.
Pikiran saya kemudian kembali pada soal pahlawan tadi.
Saya ingat bahwa, masyarakat menyebut para pekerja itu sebagai pahlawan devisa. Walaupun, mungkin masyarakat belum banyak yang tahu bahwa para pekerja itu (pastinya) bukan melulu melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan (atau supaya bisa dapat) fulus. Tetapi mereka juga menjadi garda depan "wajah" Indonesia. Terkadang, mereka juga dituntut untuk menceritakan segala informasi tentang Indonesia, jika orang-orang di negara mereka berada bertanya.
Setelah semua prosedur keimigrasian beres, saya kemudian duduk di ruang tunggu gate yang lokasinya dekat dengan pesawat ANA dengan nomor penerbangan NH855, yang akan membawa saya menuju Bandara Haneda.
Sambil memandang hujan yang turun diluar melalui jendela kaca-kaca besar di ruang tunggu terminal 3, saya teringat lagu yang sering saya nyanyikan saat masih SD, SMP maupun SMA.
Lagu "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa".
Mereka, para guru, juga adalah pahlawan, walaupun tidak ada tanda jasa yang mereka dapatkan. Terutama para guru di daerah terpencil, karena pengorbanan mereka memang besar. Misalnya mereka terkadang harus menempuh medan yang berat (dan berkilo-kilo jauhnya), lalu berjuang lagi untuk mengajar dengan fasilitas sekolah yang minim.
Tapi para guru itu tidak lantas menyerah, sehingga tepat seperti ditulis dalam lirik lagu "engkau sebagai pelita dalam kegelapan....laksana embun penyejuk dalam kehausan".