Jika kita mengunjungi pusat perbelanjaan, bahkan di gedung perkantoran baik pemerintah maupun swasta, pohon Natal menghiasi pintu masuk maupun dipasang di dalam gedung.
Di pusat perbelanjaan, mini market maupun warung dekat rumah, banyak dijual benda-benda, maupun makanan (kue) dengan tema Natal. (Tentang keunikan perayaan Natal di Jepang yang lain, silahkan pembaca merujuk pada artikel saya disini)
Saya juga pernah membawa teman orang Jepang untuk merayakan misa malam Natal, karena dia ingin tahu suasana perayaan Natal di Gereja.
Bisa jadi bahwa kebanyakan orang Jepang yang tidak beragama Kristen belum mengerti akan arti yang hakiki dari (perayaan) Natal. Namun, dengan merayakan Natal menurut cara mereka, saya berpendapat itu juga bagian dari arti Natal, yaitu membagikan "kegembiraan", baik kepada rekan kerja, anggota keluarga, tetangga, pengunjung pusat perbelanjaan, pejalan kaki, dan kepada semua orang.
Menilik sejarah Jepang zaman dahulu, Katolik sudah masuk ke Jepang sejak ratusan tahun yang lalu, dibawa oleh Santo Fransiscus Xaverius pada tahun 1549. Dia mendarat di Pulau Kyushu, yang berlokasi di Selatan Jepang. Sehingga, hal itu juga yang menyebabkan populasi penganut Katolik di Jepang banyak berada di daerah Selatan seperti Nagasaki dan juga di Hiroshima.
Dengan memiliki sejarah panjang sejak masuknya agama Katolik, maka jumlah Santo/Santa yang berasal dari Jepang cukup banyak, yaitu 42 orang. Sementara itu, 394 orang lainnya sudah di Beatifikasi (orang yang diakui memilik keistimewaan secara spiritual) oleh Vatikan.
Kegiatan orang Katolik di Jepang tidak jauh berbeda dengan kegiatan penganut Katolik di Indonesia.
Beragam kegiatan dilakukan oleh orang Katolik sebagai anggota lingkungan, atau dalam cakupan yang lebih besar di Paroki. Misalnya ada kegiatan doa lingkungan, kegiatan mengumpulkan sumbangan untuk amal (terakhir untuk korban gempa dan tsunami di Palu), berdoa rosario pada bulan Mei dan Oktober, lalu ada juga kegiatan mudika (muda-mudi Katolik) walaupun anggotanya tidak banyak, sekolah minggu dan sebagainya.
Kebetulan saya pernah menjadi mudika (katorikku-seinen) selama beberapa tahun. Sewaktu masih anggota mudika, saya mempunyai kesempatan untuk ikut berbagai macam kegiatan.
Contohnya, yang berhubungan dengan spiritual diantaranya adalah mengadakan retret, mengunjungi Gereja yang bersejarah, misalnya mengunjungi Ooura Tenshudou di Nagasaki yang merupakan bangunan Gereja Katolik tertua di Jepang. Ada juga kegiatan yang berhubungan dengan kebudayaan, misalnya diskusi buku, menonton film (dengan tema tertentu) lalu mendiskusikannya.