Hasil yang dicapai oleh Jepang itu tentunya tidak melulu berdasarkan hasil usaha keras dari pemerintah saja. Namun kita juga harus melihat fakta bahwa masyarakat Jepang secara aktif ikut ambil bagian untuk menyukseskan pelaksanaan program dan rencana yang disusun oleh pemerintah.
Selain itu, sebagai negara yang pertama kali mengalami dahsyatnya akibat dari bom atom (kita juga sekaligus berharap agar ini juga menjadi yang terakhir), maka Jepang mulai dari jauh-jauh hari gencar berkampanye untuk menjaga perdamaian dunia. Bahkan pada tahun 1974, Satoh Eisaku yang menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang saat itu dianugerahi medali Nobel dalam bidang perdamaian. Pemberian gelar itu berdasarkan pidato Satoh tentang hi-kaku sangensoku(tiga aturan untuk tidak menggunakan nuklir), Â yaitu pedoman pemerintah untuk tidak membuat, mempunyai atau membawa masuk ke Jepang persenjataan nuklir.
Bagaimana dengan Indonesia?
Momentum bertekuk lututnya Jepang bisa kita manfaatkan dengan baik untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Lalu kita juga boleh berbangga kepada dunia bahwa hanya 17 tahun setelah itu, yaitu tepatnya pada tahun 1962, Indonesia bisa menyelenggarakan pesta olahraga Asian Games yang ke-4. Dengan segala keterbatasan Indonesia saat itu, kita bisa melaksanakan pergelaran dan bahkan mempunyai stadion yang megah dan besar seperti Gelora Senayan, yang sekarang bernama Stadion Gelora Bung Karno. Di bidang teknologi, saat itu kita juga bisa mempunyai stasiun siaran televisi yang pertama yaitu TVRI.
Namun setelah pesta pergelaran itu, banyak sekali peristiwa politik yang terjadi, sehingga gaung proklamasi tidak begitu terasa di dalam negeri. Demikian juga gaung Indonesia dalam kancah dunia menjadi tidak signifikan. Meskipun, kita juga bisa mencatat beberapa peran besar Indonesia dalam kancah politik dunia. Misalnya, memelopori gerakan Non-Blok, dan juga turut berperan aktif dalam pembentukan ASEAN. Bahkan untuk menjaga perdamaian dunia, Indonesia juga kerap berpartisipasi secara aktif dengan mengirim Pasukan Garuda ke daerah-daerah konflik peperangan di berbagai penjuru dunia. Lalu Indonesia juga pernah duduk menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Kita bisa memaklumi hal itu, sebab keran demokrasi akhirnya terbuka setelah tersumbat sekian lama. Sehingga tidak aneh juga kalau ada (banyak) perilaku politisi dan masyarakat yang kebablasan, karena mereka bak ikan yang hidup kekeringan kekurangan air kemudian sekonyong-konyong mendapatkan air, walaupun bisa saja itu cuma "kubangan", yang menimbulkan euforia.
Kemajuan teknologi, atau tepatnya teknologi yang "lebih mudah" dijangkau, juga menjadi katalis pada dinamika aktivitas masyarakat, terutama pada kehidupan ber "politik". Bahkan ada beberapa yang kemudian memanfaatkan euforia kebebasan berpendapat itu, lalu lebih mengedepankan emosi dan egonya, dibanding dengan pemikiran rasional.
Besok, tepatnya mulai tanggal 18 Agustus 2018, Indonesia akan menyelenggarakan Pesta Olahraga Asian Games ke-18, di dua kota yaitu Jakarta dan Palembang. Asian Games ini merupakan yang kedua kali, 56 tahun setelah yang pertama diselenggarakan di Indonesia.
Karena sudah lebih dari setengah abad lebih berlalu, dihitung setelah Asian Games yang pertama digelar di Indonesia, maka otomatis sudah banyak kemajuan yang bisa kita lihat pada penyelenggaraan Asian Games kali ini. Misalnya saja, kita mampu mempersiapkan fasilitas-fasilitas olahraga, termasuk juga fasilitas penunjang yang bagus, untuk menyambut Asian Games saat ini. Bahkan beberapa karena kecanggihan fasilitas dan juga kemegahannya, sudah bisa memberikan rasa kebanggaan pada diri kita sebagai bangsa Indonesia.
Walaupun, ada fasilitas penunjang seperti transportasi yang masih membutuhkan beberapa perbaikan beberapa hari ini. Namun kita juga tidak boleh berkecil hati karena kita pasti "bisa" menyajikannya lebih baik ke depan, sebab kita juga sudah "bisa" memulainya. Kita harus mencatat bahwa keinginan dan kemampuan untuk memulai ini, adalah hal yang paling penting, yang tidak bisa dilakukan pada era pemerintahan sebelumnya.