Panmunjom sedang menjadi bahan pembicaraan akhir-akhir ini.
Pada tanggal 27 April 2018 yang lalu, pemimpin tertinggi Korut Kim Jong-un dan Presiden Korsel Moon Jae-in bertemu di Panmunjom, daerah demarkasi yang berjarak 52 km dari Seoul. Kabarnya juga, Panmunjom menjadi kandidat untuk tempat pertemuan antara Trump dan Kim Jong-un.
Dengan kedatangan Kim Jong-un dan berjalan melangkahi garis demarkasi di Panmunjom, dia akan dicatat dalam sejarah sebagai pemimpin tertinggi Korut yang pertama kali menginjakkan kakinya di Korsel. Kita bisa melihat bagaimana kedua pemimpin tersebut tersenyum lebar dan berjabat tangan di perbatasan, penuh tawa dan bahkan kemudian bergandengan tangan ketika berjalan di sekitar area. Mereka sempat juga berbicara empat mata di bangku yang tersedia disana.
Panmunjom adalah daerah demarkasi militer, dan karena secara teknis perang antara Korut dan Korsel belum berakhir sampai saat ini, maka suasananya juga mencekam di sana.
Saya pernah mengunjungi Panmunjom beberapa tahun yang lalu, dan situasinya sangat berlainan dengan situasi yang terlihat di media waktu dua pemimpin Korea itu bertemu di sana. Panmunjom sebagai daerah demarkasi militer, suasananya tegang dan kalau boleh dikatakan, suasananya amat sangat tegang waktu saya mengunjunginya. Boro-boro bisa tertawa lebar seperti tawa Kim Jong-un dan Moon Jae-in ketika bertemu. Senyum saja tidak ada.
Namun karena terkadang dengan berbagai alasan Panmunjom bisa saja tiba-tiba ditutup untuk kunjungan umum (ingat, Panmunjom adalah demarkasi militer), maka sebaiknya memesan tur ketika kita sudah di berada di Korea. Sehingga pihak penyedia tur (atau kita) mudah memastikan di hari sebelum tur bahwa tidak ada penundaan rencana kunjungan.
Perjalanan dari Seoul ke Panmunjom memakan waktu kira-kira satu jam. Di perjalanan, pemandu tur memberikan penjelasan tentang sejarah Panmunjom dan beberapa hal yang perlu diperhatikan selama kita disana. Sebagai catatan, pakaian adalah hal penting pertama yang perlu diperhatikan. Karena jika tidak mentaati peraturan, kita tidak diperbolehkan ikut tur (bahkan tidak bisa naik ke bius tur yang akan membawa kita ke sana). Celana jins, jaket kulit, celana pendek, baju/celana bercorak militer, baju tanpa lengan, rok mini dan sebagainya tidak diperbolehkan untuk dipakai peserta tur.
Perjalanan bus terasa nyaman, karena selain busnya besar dan ber-AC, ada juga karaoke, sehingga kalau ada yang mau nyanyi juga bisa. Semua orang bergembira dan sesekali tertawa riuh berbincang dengan rekan sebangkunya. Sewaktu saya ikut tur, pemandu menggunakan Bahasa Jepang dan Inggris, karena dalam tur yang saya ikuti, 80 persen adalah orang Jepang. Sisanya adalah warga dari negara lain, termasuk saya sebagai orang Indonesia.
Namun, bus yang suasananya riuh rendah ini kemudian berubah drastis ketika bus memasuki Zona Bebas Militer (Demilitarized Zone), yaitu daerah sekitar 2 km dari garis gencatan senjata yang biasa disebut garis 38th Parallel North. Suasana bus menjadi sunyi dan agak tegang. Sejak memasuki daerah ini, semua peralatan hiburan dimatikan. Kita tidak boleh melakukan sesuatu yang mencurigakan, misalnya menunjuk dengan jari ke suatu arah, atau mengeluarkan sesuatu dari tas dan lainnya.Â
Kemudian di gate pertama, tentara Korea masuk ke dalam bus untuk memeriksa penumpang, untuk memastikan bahwa para wisatawan menaati peraturan pakaian. Tentu saja wajah para peserta tur saat ini terlihat tegang, karena mungkin beberapa orang baru pertama kali melihat tentara (sungguhan) dari jarak dekat, apalagi tentaranya dari negara lain.