Produsen kamera (digital) memang sedang repot untuk mengatasi bagaimana caranya agar bisa bersaing dengan maraknya gawai (smartphones) baru yang mempunyai kemampuan kamera "super" yang didukung oleh teknologi lain, misalnya teknologi sensor. Kemampuan smartphone yang beredar di pasaran sekarang tentunya tidak dipandang dengan sebelah mata oleh produsen kamera.
Keadaan para produsen kamera---kalau dianalogikan dengan keadaan seorang remaja yang belum pengalaman menghadapi liku percintaan---tentunya sedang galau. Saking galaunya, mereka lantas mengadopsi teknologi yang sudah lama dan populer digunakan pada gawai---supaya menarik minat pengguna karena penggunaannya mirip dengan gawai---seperti kemampuan koneksi bluetooth maupun wifi, dan juga touchscreen. Tapi kemudian, produsen gawai juga tak tinggal diam. Beberapa produsen gawai ber-inovasi lagi dengan menanamkan lensa ganda yang bisa saling bersinergi untuk menghasilkan output foto yang lebih baik. Tambah puyeng deh kepala si barbie (produsen kamera).
Untuk menunjukkan bahwa produsen kamera juga serius dalam hal ber-inovasi, maka setiap tahun diadakan pameran "Camera and Photo Imaging" yang biasa disingkat menjadi CP+ (dibaca CP plus). Bahkan untuk menarik minat orang agar berkunjung ke pameran, maka akhir2 ini acara CP+ juga digunakan sebagai ajang untuk merilis (sekaligus pengunjung bisa mencoba) produk kamera terbaru. Acara CP+ yang kedelapan kalinya diadakan pada tanggal 1 - 4 Maret 2018 yang lalu di Pacifico Yokohama. Saya berkesempatan untuk mengintip acaranya, dan berikut adalah ulasan singkat beserta hal2 unik yang saya temukan di acara tersebut.
Menurut data statistik yang dirilis oleh CIPA tahun lalu, jumlah total produk kamera mirrorless mengalami kenaikan sebesar 30% dari jumlah total produksi tahun sebelumnya. Hal ini berlawanan dengan jumlah total produk kamera DSLR yang mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya.
Tahun ini memasuki tahun ke-10 sejak "kelahiran" kamera mirrorless yang pertama. Dahulu posisi kamera mirrorless hanya sebagai kamera penunjang (backup) bagi kamera DSLR yang digunakan sebagai kamera utama. Namun dengan perkembangan teknologi, saat ini posisinya mendekati atau bahkan sejajar dengan kamera DSLR. Bahkan banyak pula produsen kamera yang meluncurkan produk flagship---untuk kelas profesional yang tentu harganya mahal---mirrorless dibanding tahun2 terdahulu dimana produk mirrorless hanya bermain di kelas amatir (yang harganya lebih ekonomis dibanding harga DSLR).
Kita mulai dari Fujifilm yang meluncurkan produk mirrorless terbarunya X-H1 di hari pertama pembukaan acara CP+. Kamera ini mepunyai kemampuan image stabilization yang dipasang di body kamera. Sensornya menggunakan X-Trans CMOS III yang mampu menghasilkan resolusi 24.3 juta pixel.Â
Olympus yang merupakan pionir dalam kamera mirrorless merilis kamera flagship penerus seri OM-D nya yaitu E-M1 MarkII tahun lalu. Canon merilis antara lain produk EOS M6 dan M100, yang membuatnya mempunyai line-up produk untuk pasar mirrorless bagi kelas pemula sampai intermediate. Sony juga terus berinovasi, dan yang terbaru mereka menanamkan teknologi anti distortion shutter---misalnya pada produk alpha9---sehingga bisa meminimalisasi distorsi, bahkan menghilangkan suara dan getaran saat tombol shutter ditekan untuk mengambil foto.
Sementara Panasonic mempunyai 2 line-up produk yang berbeda. GH5 merupakan produk yang menitikberatkan kemampuan video dan merupakan mirrorless pertama dengan kemampuan merekam video 4K, sedangkan G9 merupakan produk mirrorless terbaru dari Panasonic yang menitikberatkan kemampuan mengambil gambar (foto) dan juga merupakan produk flagship-nya.
Kamera mirrorless namun dengan kemampuan yang mumpuni ini memang digemari banyak orang, khususnya karena bentuknya yang kecil dan ringan. Segmen penggunanya pun bervariasi, dari profesional sampai dengan yang masih amatir. Sekarang ada istilah Kamera Joshi  karena populasi wanita penggemar fotografi yang terlihat selalu menenteng kamera makin banyak berkeliaran. Bahkan ada majalah yang khusus membahas tentang ini.
Saat ini hanya 3 produsen kamera yang memproduksi DSLR yaitu Nikon, Canon dan Ricoh. Nikon memperkenalkan produk terbarunya D850 yang merupakan kamera full frame dengan resolusi gambar 45 Megapixel. Selain kemampuan untuk video 4K dan timelapse 8K, pecinta kamera analog yang mempunyai banyak koleksi film negatif bisa memanfaatkan kemampuan digitizing, yaitu kemampuan men-scan langsung film dengan bantuan  attachment yang dijual terpisah. Canon juga merilis produk kamera full frame barunya EOS6D MarkII tahun lalu.
Pentax merilis kamera full frame bertepatan dengan acara CP+ yaitu Pentax K-1 MarkII. DSLR kelihatannya juga masih punya fans (yang mungkin terbatas di kalangan profesional dan sedikit dari kalangan amatir) yang setia karena produsen kamera----walaupun terbatas--- juga masih memproduksi kamera jenis ini.
Sementara untuk kamera saku, sebenarnya masih banyak produsen seperti Panasonic, Olympus, Canon, Casio dan Nikon yang masih setia merilis produknya, walaupun tentunya harus berusaha keras untuk bersaing dengan kemampuan kamera yang sudah bisa dibilang mumpuni dari smartphone.Â
Walaupun bukan untuk kategori kamera saku, kamera 360 yang bisa mengambil gambar dengan sudut pandang 360 derajat juga mulai digemari masyarakat. Ricoh sebagai pionir dari kamera 360 dengan produk theta-nya, mengalokasikan 1/2 dari stan nya untuk memamerkan kemampuan theta di CP+.Â
Disitu juga dipamerkan theta yang digunakan untuk mengambil video saat peluncuran roket, untuk menunjukkan daya tahan kamera tersebut terhadap kondisi ekstrim (juga ada tayangan video yang direkam saat itu). Tahukah pembaca bahwa chip yang digunakan theta adalahSnapdragon 625, sama dengan chip yang digunakan di produk smartphone lho.
(Untuk yang ingin tahu lebih lanjut tentang kamera 360, saya pernah membahasnya disini)
Yang menarik dari acara CP+, stan yang memamerkan produk printer seperti Canon dan Epson selalu dipadati oleh pengunjung dari tahun ke tahun. Ternyata dengan berkembangnya teknologi, dimana orang sudah bisa menyaksikan atau menampilkan foto yang mereka ambil di layar gawai maupun di layar display/televisi di rumah, masih banyak orang yang suka akan hasil foto "analog" yang dicetak di kertas (termasuk saya). Bukan hanya stan yang memamerkan printer, stan yang memamerkan kertas untuk printer seperti ilford---yang memamerkan produk kertas dengan kualitas tinggi---juga dipadati pengunjung. Nama ilford tentunya tidak asing bagi pembaca yang (masih) gemar fotografi dengan film (analog).Â
Saya tidak tahu apakah orang2 yang memadati stan printer dan kertas untuk cetak itu masih suka mencetak foto hasil karyanya sendiri untuk dipajang atau disimpan di rumah, atau mereka hanya ingin tahu saja. Namun pengalaman saya bergaul dengan penggemar fotografi di Jepang, memang masih ada beberapa orang yang suka untuk "repot2" mem-print hasil karya mereka untuk dibawa dan disharing di klub fotografi maupun untuk dipajang di rumah dan bahkan untuk disimpan.
Bumi butuh waktu setahun untuk mengelilingi Matahari. Sedangkan Mars butuh waktu kira2 duakalinya yaitu 687 hari untuk mengelilingi Matahari. Karena sama2 mengelilingi Matahari, maka pasti ada suatu saat dimana keduanya "berdekatan".
Tanggal 31 Juli tahun ini antara Bumi dan Mars mempunyai jarak terdekatnya dalam mengelilingi Matahari, yaitu sekitar 57.59 juta Km. Bagi penggemar astrofotografi---yang menjadikan bintang dan benda2 dilangit sebagai objek foto---tentunya hal ini tidak bisa dilewatkan begitu saja karena ini merupakan kesempatan langka yang hanya bisa disaksikan 15 tahun sekali.
Begitulah sedikit pengalaman saya mengunjungi acara CP+ 2018. Selain stan kamera, ada juga stan makanan ringan dan stan yang membagikan minuman gratis di dalam. Saya sering juga datang ke acara ini walaupun tidak rutin setiap tahun. Yang saya amati, memang jumlah pengunjung yang datang selalu membludak, karena disamping acaranya gratis kalau kita mendaftar terlebih dahulu lewat web, bagi penggemar fotografi kita juga bisa mencoba kamera dan lensa baru disana.
Walaupun kemampuan kamera smartphone sudah bisa dibilang mumpuni, namun bagi penggemar fotografi yang "agak" serius, masih menjatuhkan pilihannya pada kamera, entah itu mirrorless maupun DSLR. Hanya memang, produsen kamera sekarang terkesan hanya menggenjot (baca:perang) resolusi kamera setinggi-tingginya.
Teknologi masih akan berkembang, dan saya yakin masih akan ada teknologi baru lagi, entah itu image sensor, image processor atau yang lain yang akan muncul di tahun2 kedepan. Siapa tahu, tidak lama lagi kita bisa menyaksikan munculnya kamera yang sudah tidak perlu lagi shutter fisik, namun sudah bisa mengambil gambar dengan mendeteksi gelombang otak, saat kita berpikir bahwa kita ingin mengambil gambar (foto) suatu objek.Â
Atau kalau bisa, diciptakan teknologi yang dapat mengambil foto dengan kedip mata. Keren juga kan kalau misalnya berpapasan dengan sesuatu yang "bening", dengan satu kedipan maka bisa untuk memberikan "sinyal" ke dia sekaligus untuk memfoto objeknya. Seperti kata pepatah, sambil menyelam, minum air....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H