Padahal, data membuktikan bahwa salah satu jenis penyakit yang dominan diderita pesien BPJS adalah penyakit yang disebabkan oleh konsumsi rokok. Â
Oleh karena itu, agar kebijakan menyuntik BPJS dengan cukai rokok tidak menjadi kebijakan yang menyesatkan bahkan kontra produktif, maka YLKI meminta pemerintah untuk:
Pertama, Pemerintah harus menghentikan upaya menaikkan produksi rokok, khususnya dari industri rokok berskala besar. Pada 2018, Â produksi rokok nasional diperkirakan mencapai 321,9 miliar batang.Â
Produk sebanyak itu akan masuk ke mulut  konsumen Indonesia, dan jadi penyakit. Pemerintah harus berani melakukan moratorium produksi rokok, bahkan menurunkannya.
Sebab manakala produksi rokok naik, itu sama artinya dengan lonceng kematian kesehatan masyarakat dan lonceng kematian bagian finansial BPJS. Financial bleeding akan terus terjadi pada BPJS Kesehatan, jika konsumsi rokok masih menggurita. Dengan kata lain, pemerintah harus berani menurunkan produksi rokok jika ingin menyelamatkan BPJS Kesehatan.
Kedua, Pemerintah harus menaikkan cukai rokok secara signifikan. Ruang untuk menaikkan cukai rokok masih terbuka lebar, hingga mencapai 57 persen. Sementara cukai rokok saat ini baru mencapai rata-rata 40-an persen.
Dengan menaikkan cukai rokok akan menaikkan pendapatan pemerintah, di satu sisi dan di sisi lain akan menurunkan jumlah perokok. Berapapun harga rokok akan dicari masyarakat, karena efek adiksi dari nikotin yang ada pada rokok.
Jika Presiden Jokowi tidak melakukan hal tersebut, maka upaya untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan dengan cukai rokok hanya menjadi kebijakan yang artifisial, alias sia-sia belaka. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H