Dari sisi hilir Pertamina harus memperbaiki etalasenya di mata publik, terutama soal gas elpiji dan atau pelayanan SPBU. Sampai detik ini masalah gas elpiji masih dicitrakan soal takaran, baik untuk kategori tabung melon dan atau 12 kg. Dugaan adanya pengurangan takaran masih kuat. Demikian juga untuk SPBU, masyarakat sebagai pelanggan Pertamina masih berasumsi bahwa takaran SPBU Pertamina tidak pas, sering dikurangi. Beberapa kasus teraktual membuktikan hal itu.Â
Namun berdasar uji petik yang dilakukan oleh YLKI (2017) terhadap 10 persen jumlah SPBU di Jabodetabek, membuktikan sebaliknya. Bahwa performa takaran SPBU Pertamina masih terjaga dengan baik. Namun mungkin hal ini dipicu oleh ketidakpahaman konsumen bahwa dalam urusan takaran di SPBU, secara regulasi memang dibolehkan adanya plus minus, asal tidak lebih dari 100 mili liter per 20 liter.Â
Juga jika ingin mengukur ulang akurasi takaran harus dengan bejana ukur yang tersertifikasi oleh Dinas Metrologi Legal. Bukan dengan bekas botol air minum dalam keamasan, atau bahkan dengan tangki kendaraannya sekalipun. Kedua hal inilah yang belum diketahui oleh publik secara baik. Selain itu, masyarakat tahunya setiap SPBU adalah milik Pertamina.Â
Padahal, dari 5.000-an SPBU di seluruh Indonesia mayoritas adalah milik swasta. Namun karena setiap SPBU berlogo Pertamina, maka asumsi itu tidaklah salah. Karena bagaimanapun Pertamina bertanggungjawab terhadap produknya sampai ke tangan end user. Beberapa bulan terakhir, Pertamina mencoba jurus baru untuk memacu konsumen agar lebih dekat dengan produknya.Â
Terbukti, Pertamina memberikan berbagai hadiah, termasuk hadiah umroh bagi konsumen BBM yang beruntung. Sebuah pendekatan yang selama ini belum pernah dilakukan. Hal semacam ini sangat positif dan bahkan harus lebih intensif lagi, guna membangun loyalitas konsumen.Â
Era digital yang saat ini begitu masif, seharusnya dimanfaatkan oleh Pertamina untuk lebih mendekatkan dengan pelanggannya. Terutama generasi milenial, yang nyaris tak bisa lepas dengan gawai dan media sosialnya. Ide kebijakan digitalisasi SPBU adalah langkah progresif. Entah ide tersebut sudah dieksekusi atau belum.Â
Pada akhirnya, pekerjaan rumah managemen baru Pertamina begitu kompleks. Dari sisi hulu dipacu untuk terus meningkatkan lifting minyak, guna menekan impor minyak mentah yang masih dominan. Juga membangun kilang yang lebih handal, sehingga bisa memasok minyak dengan standar Euro 2, Euro 3 bahkan Euro 4. Jangan kalah dengan Malaysia, yang kualitas BBM-nya minimal Euro 4.Â
Dan dari sisi hilir, sebagaimana narasi di awal, etalase produk Pertamina harus lebih presisi dari sisi kualitas dan takarannya. Improvisasi untuk memanjakan pelanggannya harus lebih kreatif, inovatif dan progresif; guna menciptakan konsumen loyalis plus nasionalis. (Tulisan ini sudah diposting di Sindonews.Com, edisi 4 September 2018, dan dimuat di Koran Sindo, edisi 05 September 2018). ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H