Setelah sempat kosong empat bulan lamanya, akhirnya Pertamina mempunyai nakhoda baru, yakni Nicke Widyawati, yang beberapa hari lalu dilantik oleh Menteri Negara BUMN, sebagai Direktur Utama (Dirut) Pertamina. Sebelum menjadi Dirut definitif, Nicke Widyawati sebagai pelaksana tugas direktur utama. Jadi sedikit banyak sudah membawa aura direktur utama. Kendati lumayan terlambat, penetapan direktur utama tersebut layak diberikan apresiasi. Apalah kata dunia, jika BUMN sebesar Pertamina berjalan tanpa nakhoda.Â
Dan penetapan itu bernilai plus, karena menjelang momen "Hari Pelanggan Nasional" (Harpelnas), 4 September 2018. Harpelnas digagas sejak 2003, saat era Presiden Megawati Soekarno Putri. Spirit Harpelnas pada intinya adalah pemerintah ingin mengukuhkan bahwa posisi pelanggan (baca: konsumen) adalah strategis, setara dengan pelaku usaha.Â
Sebab keberadaan pelaku usaha/produsen tidak akan ada artinya tanpa kehadiran pelanggan, konsumen. Dalam perspektif UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, salah satu kategori pelaku usaha adalah BUMN/BUMD.Â
Apalagi BUMN sekelas Pertamina, sebuah BUMN dengan aset terbesar, dan mempunyai peran sejarah ikut menegakkan merah putih di negeri ini. Oleh karena itu, pada konteks kekinian, Pertamina harus punya tanggungjawab yang kuat untuk memberdayakan pelanggannya, sebagaimana mandat UU Perlindungan Konsumen. Lalu apa konteks relasi momen Harpelnas dengan posisi Dirut Pertamina yang baru?Â
Ada beberapa catatan konteks relasinya, pertama, Dirut Pertamina yang baru dilantik itu harus menjadikan momen Harpelnas sebagai triger untuk meningkatkan pelayanan Pertamina kepada konsumennya. Bahkan bukan hanya itu, Dirut Pertamina harus mampu membangun loyalitas konsumen dan "nasionalisme" konsumen sebagai pengguna produk minyak dan gas Pertamina.Â
Mengingat, saat ini secara regulasi kompetisi di sektor migas sangatlah nyata dan ketat. Jangan sampai konsumen meninggalkan Pertamina hanya karena pelayanannya buruk rupa. Kedua, guna menuju loyalitas yang tinggi, Dirut Pertamina harus secara kuat mengedukasi konsumen terkait product knowledge dan proses bisnis di Pertamina, bahkan kebijakan migas secara umum.Â
Sebab bagaimana konsumen akan menjadi loyalis Pertamina, jika konsumen minim edukasi, minim informasi dan pemberdayaan perihal product knowledge dan proses bisnis di Pertamina, plus isu kebijakan migas secara keseluruhan.
Dan ketiga, Dirut Pertamina harus mampu melakukan "brain wash" agar konsumen dalam menggunakan produk migas bukan semata memperhatikan aspek harga saja. Tetapi juga memerhatikan aspek kualitas, sumber daya alam, lingkungan bahkan aspek ekonomi dan keadilan.Â
Misalnya, apakah layak konsumen di kota-kota besar masih menggunakan bahan bakar sekelas premium? Seharusnya, konsumen BBM di kota besar seperti Jakarta harus lebih baik kualitasnya, minimal BBM dengan kadar oktan 92, atau standard Euro 2. Sementara premium kadar oktannya hanya 88, sangat tidak layak untuk level kota besar dengan tingkat polusi yang amat parah. Semakin rendah kadar oktannya, maka makin buruk kualitasnya.Â
Bensin premium adalah jenis BBM yang paling buruk kualitasnya, sebab tidak memenuhi standard Euro 2. Komoditas ini hanya layak dikonsumsi untuk masyarakat konsumen di luar Pulau Jawa, khususnya daerah terluar, terdepan dan tertinggal.Â
Namun, hal ini harus ditopang dengan kebijakan yang konsisten pemerintah. Sebab, beberapa bulan terakhir kebijakan pemerintah di sektor BBM tampak memble berat, baik dari sisi harga dan atau kualitasnya. Dari sisi harga pemerintah sudah menegaskan tak akan ada kenaikan harga BBM sampai 2019. Yang tak kalah absurd-nya, pemerintah membuka kembali keran penjualan premium untuk area Jawa dan Bali. Selain itu, secara mikro, performa Pertamina masih punya beberapa persoalan laten, yang harus diselesaikan, baik dari sisi hulu dan atau hilir.Â