Mohon tunggu...
Tulus Abadi
Tulus Abadi Mohon Tunggu... Lainnya - Ketua Pengurus Harian YLKI

Lahir dan besar di Purworejo, Jateng. Alumni SMA Muhammadiyah Kutoarjo, dan alumni Falultas Hukum UNSOED, Purwokerto, Jateng. Aktivis perlindungan konsumen sejak 1996, kini sebagai Ketua Pengurus Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), dan Pemerhati Kebijakan Publik. Email: tulus.ylki@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Harpelnas dan Menyorot Performa Indihome

3 September 2018   21:00 Diperbarui: 4 September 2018   04:02 1732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini tantangan yang tak kalah beratnya, bahkan sangat berat. Namun fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 13.000 ribu gugusan pulau, menjadi tantangan yang maha berat untuk mewujudkan infrastruktur telekomunikasi yang handal. 

Sebagai contoh, guna mengoneksikan jaringan kabel antar Pulau, maka harus dibangun jaringan kabel laut, yang saat ini panjang jaringan kabel laut yang dibangun PT Telkom telah mencapai 100.000 km! Atau setara dengan 2,5 kali lingkar bumi! Tingkat kesulitan untuk menyambung jaringan kabel laut ini bukan saja saat membangun saja, tetapi setelah kabel terbangun pun tidak sepi dari kendala, bahkan ancaman. 

Mulai ancaman alam, seperti gempa bumi, batu karang atau bahkan gunung api di bawah laut. Juga ancaman dari lalu lintas kapal, terutama saat kapal melempar jangkarnya (anchor) ke laut. Nah yang paling tragis adalah manakala jaringan kabel laut itu mengalami gangguan karena ulah oknum manusia (pencurian kabel).

Empat bulan lalu, sebagai contoh, jaringan kabel laut di Papua putus. Dan dampaknya kualitas komunikasi internet di Papua endut-endutan, karena hanya mengandalkan back up dari sistem satelit. Dan kita patut berbangga, beberapa minggu lalu PT Telkom telah meluncurkan kembali satelit Merah Putih dari Cape Canaveral, California, Amerika Serikat.

Satelit ini juga dalam rangka mewujudkan infrastruktur yang handal, dan terintegrasi. Selain juga untuk mengatasi/memback up betapa sulitnya sisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Oleh karenanya, hampir semua operator telekomunikasi malas membangun jaringan infrastrukturnya di daerah isolated area, seperti area tertluar, tertinggal dan terdepan Indonesia.

Daerah dan area tersebut dianggap tak bernilai ekonomi, di satu sisi, dan di sisi lain cost production-nya sangat tinggi. Tetapi uniknya, PT Telkom dan Telkomsel  mencoba membangun Indonesia dari pinggiran Indonesia. Sementara operator lain lebih asyik menambang uang di area perkotaan, di Pulau Jawa, dan kota-kota besar di Indonesia.

Aspek perilaku konsumen

Perilaku Indonesia tampak mengalami "anomali". Misalnya, beberapa konsumen masih kekeuh ingin jaringan kabelnya tetap menggunakan tembaga, bukan fiber optik. Hanya karena kalau berbasis fiber optik jika aliran listrik mati, maka telepon di rumahnya mati.

Benar ini hal yang terjadi, manakala listrik mati, telepon/internet di rumah konsumen mati. Walau faktanya telepon rumah (fix phone) nyaris tak ada gunanya lagi.

Ada tapi tidak berfungsi. Sebab mayoritas konsumen sudah menggunakan telepon seluler, yang kini jumlahnya mencapai 372 juta unit. Atau 142 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan kata lain, setiap orang di Indonesia, memiliki lebih dari satu handphone.  Jadi telepon rumah faktanya hanya sebagai pajangan saja.

Aspek Kompetisi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun