Rohingya merupakan kelompok etnis minoritas muslim yang telah selama ratusan tahun mendiami wilayah negara Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Budha. Kondisi etnis Rohingya semakin terpuruk ketika Burma (Myanmar)secara de jure memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948. Pada awal kemerdekaan Burma(Myanmar) tepatnya pada era kepemimpinan Perdana Menteri U Nu, etnis Rohingya saat itu diakui sebagai warga negara yang sah. Namun, pada tahun 1982 pemerintah Myanmar menerbitkan undang-undang kewarganegaraan. Melalui undang-undang ini, etnis Rohingya tidak "diakui" sebagai 'ras nasional' Myanmar. Akibatnya, mereka menjadi populasi tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia.
Karena tidak memiliki kewarganegaraan, secara otomatis etnis Rohingya ini tidak memiliki hak hak seperti hak untuk tinggal, ataupun hak untuk dilindungi. Akibat tidak memiliki hak hak inilah etnis Rohingya mengalami 'krisis kemanusiaan'. Secara de facto (secara fakta), mayoritas etnis Rohingya ini mendiami kawasan negara bagian termiskin Myanmar, yaitu Rakhine. Dari sisi historis, etnis Rohingya tidak disukai oleh mayoritas penduduk Rakhine yang beragama Budha.
Sejak tidak memiliki kewarganegaraan dan tetap tinggal di Myanmar, etnis Rohingya terus mengalami diskriminasi di Myanmar. Karena hal ini sejak 1990-an mereka secara perlahan meninggalkan Myanmar. Namun puncaknya pada 2017 saat gelombang kekerasan besar-besaran yang memaksa sekitar 740.000 orang untuk mencari perlindungan.Â
Dalam pernyataan UNHCR yang terdapat dalam situs resmi www.unhcr.org/, bahwa sampai awal Februari 2023 Indonesia telah menampung sebanyak ribuan pengungsi Rohingya dan berada  di daerah Aceh.
 Pada awalnya, pemerintah Indonesia menolak keras kedatangan etnis Rohingya di wilayah Indonesia. Namun, sebagai negara Asia Tenggara yang paling terpengaruh dari peristiwa eksodus etnis Rohingya di Myanmar, tiga negara Asia Tenggara yakni, Malaysia, Indonesia dan Thailand sepakat untuk melakukan pertemuan untuk membahas etnis Rohingya ini.
Pertemuan ini dilaksanakan pada 20 Mei 2015 di Kuala Lumpur, Malaysia sebagai inisiator dan dihadiri oleh Menteri Luar Negeri masing-masing negara. Ketiga negara ini hanya memberi makanan dan air bersih saja. Alasan dari ketiga negara ini adalah kedaulatan, selain itu mereka juga bukan negara yang meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967. Malaysia, Thailand dan Indonesia bersedia menampung  etnis Rohingya tanpa kewarganegaraan itu selama satu tahun.
Komunitas Internasional diharapkan dapat mencari solusi penempatan di negara dunia ketiga untuk pengungsi Rohingya.Â
Malaysia, Thailand dan Indonesia bersedia menampung  etnis Rohingya tanpa kewarganegaraan itu selama satu tahun. Namun, hingga Desember 2023 ini, kapal kapal pengungsi Rohingya ini terus berlabuh di perairan Aceh. Tentu saja hal akan menimbulkan masalah sosial lainnya.
info terbaru, pada 2 Desember 2023 kemarin, sebanyak 139 pengungsi Rohingya kembali berlabuh d Aceh. Dikutip dari akun instagram hamzali_abradinezad "ini namanya bukan terdampar tapi mendamparkan diri". Warga Aceh pun sudah enggan untuk menerima lagi  pengungsi Rohingya yang terus berdatangan ke wilayah mereka. pertanyaannya "Sampai kapan etnis Rohingya akan terus menjadi tanggung jawab Indonesia?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H