Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang yang memiliki kesehatan mental yang baik, misalnya mampu berkontribusi secara positif, juga merasakan sedih, merasa marah, atau bahkan tidak bahagia. Begitulah kehidupan adanya, yang dijalani oleh manusia. Sebagaimana ungkapan bahwa kehidupan itu naik-turun, kadang kita di atas, kadang kita di bawah. Kita menangis dan tertawa, silih berganti. Kita tidak sepenuhnya sempurna sebagai individu. Apabila kita tidak sempurna lantas apakah kita harus menunggu kesempurnaan untuk mencapai kesejahteraan, untuk kemudian dikatakan sehat secara mental?
Kita juga menyadari bahwa definisi dari kesehatan mental pada dasarnya dapat merefleksikan budaya dimana definisi tersebut dijabarkan. Misalnya, otonomi dan kemampuan untuk bersikap asertif menjadi aspek yang dapat mendukung kesehatan mental bagi orang-orang Amerika Utara. Mungkin saja, bagi kebanyakan orang yang berasal dari negara-negara maju, mereka tidak bisa membayangkan orang merasa bahagia di tengah kehidupan yang miskin ataupun serba terbatas di suatu pedesaan yang terisolasi dari perkembangan teknologi di negara-negara miskin ataupun negara berkembang. Bagi orang-orang yang tumbuh dan berkembang di negara-negara dengan budaya kolektif, kadang mereka akan menikmati untuk tidak sepenuhnya menjadi otonom atas kehidupannya. Mereka menghargai pandangan dan keputusan orang tua mereka. Mereka juga terbiasa untuk tidak bersikap asertif terhadap orang yang dia hormati atau orang yang lebih tua dan mereka merasa baik-baik saja dengan hal itu. Dengan demikian, pengertian kesehatan mental dapat bersifat kontekstual. Â
Perbedaan latar belakang sosial dan budaya antar negara, termasuk nilai-nilai, dapat menjadi penghambat untuk mencapai suatu konsensus umum tentang konsep kesehatan mental. Oleh sebab itu tetap diperlukan suatu standar-standar tertentu yang bersifat universal. Misalnya, meskipun terdapat perbedaan budaya terkait kebiasaan makan, pengakuan akan pentingnya vitamin sebagai standar kualitas makanan tetap bersifat universal.
Definisi yang lebih inklusif juga diperlukan untuk mengakomodasi berbagai keadaan emosi dan keberfungsian. Keadaan emosi yang tidak positif dan keberfungsian yang tidak sempurna diipertimbangkan. Pada dasarnya, kondisi kesehatan mental adalah suatu kontinum dalam satu skala. Ada kalanya kita berada pada angka yang tinggi namun ada kalanya juga kita berada pada angka yang rendah. Sehat mental dan tidak sehat mental bukanlah dua skala yang berbeda, yang mengelompokkan orang yang sehat mental pada berbagai tingkatannya secara terpisah dengan orang yang tidak sehat mental. Selain itu, orang yang dikatakan sehat mental tidak hanya mereka yang mampu menunjukkan keberfungsian secara sempurna sebagai individu dan masyarakat.
Galderisi dan koleganya (2015) mendefinisikan kesehatan mental secara lebih universal dan inklusif. Kesehatan mental adalah keadaan dinamis dari keseimbangan internal yang memungkinkan individu untuk menggunakan kemampuan mereka selaras dengan nilai-nilai universal masyarakat. Komponen-komponen penting dari definisi kesehatan mental antara lain keterampilan kognitif dan sosial dasar; kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan dan memodulasi emosi, serta berempati kepada orang lain; fleksibilitas dan kemampuan untuk mengatasi peristiwa dan fungsi kehidupan yang merugikan dalam peran sosial; dan hubungan yang harmonis antara tubuh dan pikiran. Komponen-komponen pada berbagai tingkatan berkontribusi terhadap tercapainya keadaan keseimbangan internal.
Nilai-nilai universal yang dimaksud disini tidaklah dikaitkan dengan nilai sosial dan politik tertentu, melainkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut seperti menghormati dan merawat diri sendiri dan makhluk hidup lainnya; mengakui adanya keterhubungan antar setiap orang; menghargai lingkungan; serta menghormati kebebasan diri sendiri dan orang lain.
Sementara itu, konsep keadaan dinamis dari keseimbangan internal (dynamic state of internal equilibrium) merefleksikan fakta bahwa fase kehidupan yang berbeda membutuhkan perubahan untuk mencapai keseimbangan. Krisis remaja, perkawinan, menjadi orang tua dan memasuki masa pensiun adalah contoh-contoh dari masa kehidupan yang membutuhkan pencarian aktif untuk mencapai keseimbangan mental yang baru. Konsep ini juga menggabungkan dan mengakui kenyataan bahwa orang yang sehat secara mental dapat mengalami emosi "negatif" sebagaimana manusia secara alami - misalnya rasa takut, kemarahan, dan kesedihan - sementara pada saat yang sama memiliki ketahanan yang cukup untuk memulihkan keseimbangan internalnya.
Lebih lanjut, semua komponen yang diusulkan dalam definisi mewakili aspek penting dari kesehatan mental, tetapi tidak wajib. Pada kenyataannya, aspek tersebut dapat berkontribusi pada tingkat yang berbeda-beda terhadap keadaan keseimbangan internal, sehingga fungsi-fungsi yang dikembangkan sepenuhnya dapat mengimbangi gangguan pada aspek lain dari fungsi mental. Sebagai contoh, orang yang sangat berempati, sangat tertarik untuk saling berbagi, dapat mengimbangi tingkat kerusakan kognitif sedang yang dialaminya, dan masih menemukan keseimbangan yang memuaskan dan mengejar tujuan hidupnya.
Galderisi dkk (2015) juga berpandangan bahwa definisi yang diusulkan tersebut juga sesuai dengan perspektif gerakan pemulihan. Pemulihan dari suatu penyakit, baik sakit fisik maupun mental, dipandang sebagai suatu proses yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang bermakna dan berharga dengan membangun keberfungsian efektif meskipun tidak menutup kemungkinan adanya penurunan nilai pada fungsi-fungsi lain.
Sebagai penutup kita mungkin sudah sangat familiar dengan kutipan "it is ok not to be ok" yang dapat kita pahami bahwa "baik-baik saja apabila kita merasa tidak baik-baik saja". Kita sebagai manusia biasa akan merasakan kesedihan, kekecewaan, kehilangan, dan sejumlah emosi yang tidak sejahtera lainnya bahkan di tengah-tengah produktivitas kita. Sebaliknya kita bisa tetap merasa bahagia, senang, puas dan sejumlah emosi positif lainnya di tengah-tengah ketidakmampuan kita untuk berkontribusi karena berbagai keterbatasan. Kita tetap bisa tersenyum di tengah badai kehidupan yang membuat kita hampir tidak bisa bernapas lega. Sebab pada dasarnya, orang yang sehat secara mental adalah mereka yang mampu mencapai keseimbangan internal. Meminjam bahasa sistem, orang yang sehat mental adalah mereka yang tetap steady state apapun yang terjadi. Meminjam istilah kekuatan karakter, seseorang yang mampu berada dalam kondisi steady state adalah mereka yang memiliki resiliensi dan hardiness. Mereka yang memiliki "bouncebackability"
Dalam kehidupan ini, kita akan senantiasa diperhadapkan pada tantangan-tantangan hidup. Ada yang berpihak pada kita, namun ada juga yang kemudian tidak berpihak atau bahkan melawan kita. Persepsi, sikap, dan tindakan kita yang menentukan bagaimana kita bisa berhasil melaluinya, yang menunjukkan kondisi kesehatan mental kita yang baik.