Cerpen Syukur BudiardjoÂ
"Jleb! Kamu!"
"Ya, saya, Pak!"
"Aduh! Sakitnya!"
"Begitu juga yang saya rasakan, Pak!"
Saya kaget. Terkesima. Baru saja saya membalikkan tubuh, menatap langit-langit kamar, belati itu menancap tepat di jantung. Masih menancap. Saya lihat perempuan berusia 30-an masih menggenggam belati, kemudian mendorongkannya dengan sekuat tenaga. Darah muncrat.
Kepala saya pening. Mungkin sebentar lagi saya pingsan. Tetapi, saya masih ingat peristiwa-peristiwa lalu.
***
Melalui facebook saya berkenalan dengan perempuan berusia 30-an. Kemudian saya akrab. Bertegur sapa melalui inboks. Setelah itu, karena pengakuannya, saya tahu bahwa ia wanita pekerja di panti pijat.
Wajahnya melankolis. Sorot matanya tajam. Layaknya mata elang. Yang lainnya tak begitu saya perhatikan. Saya sangat menyukai matanya itu. Ya, matanya. Hingga akhirnya saya tersungkur.
Namanya? Saya juga tak begitu peduli soal nama. Apa sih arti sebuah nama? Berbahagialah mereka yang memiliki nama yang simitris dengan ucapan dan perbuatannya.
***
Malam itu saya menemuinya di tempat dia bekerja. Sekaligus ingin merasakan pijitan tangannya. Apalagi sudah seminggu ini badan saya sangat capek setelah bekerja. Saya masih ingat wajahnya yang melankolis itu. Benar! Ketika saya masuki bangunan kuno peninggalan Belanda yang berada di pusat bisnis, saya bertemu dengan wanita yang saya kenal melalui facebook. Saya dipersilakan masuk ke dalam kamar.
Saya membuka baju dan kaos oblong. Kemudian mencopot sepatu dan kaos kaki. Saya tengkurap di atas kasur. Wanita itu meminta izin keluar sebentar.
***
"Bapak masih ingat saya? Bertahun-tahun saya menunggu. Sekarang telah datang kesempatan ini. Ternyata Bapak cuma pecundang! Manusia kardus! Setelah memperkosa saya, Bapak dapat memutarbalikkan fakta. Karena semua penegak hukum di negara ini dapat Bapak beli! Hingga akhirnya saya masuk penjara", kata wanita itu sambil menarikan belatinya di jantung saya.
Saya memasuki lorong yang gelap. Melewati jembatan. Kaki saya menggigil. Saya meraba besi pembatas jembatan. Saya lihat di bawahnya air kali mendidih bergelora. Saya berjalan sangat perlahan. Tetapi anginnya dingin. Sangat dingin!
"Masukkan ke dalam lemari pendingin sebelum keluarganya datang!" Lamat-lamat saya mendengar suara itu.
Jakarta, 5 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H