Mohon tunggu...
Syukur Budiardjo
Syukur Budiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Pensiunan Guru Bahasa Indonesia SMP di DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Dengan suka hati menulis artikel, cerpen, dan puisi di media massa cetak, media online, dan media sosial. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018) dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018(. Tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tarian Belati

10 September 2019   15:45 Diperbarui: 10 September 2019   15:57 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen Syukur Budiardjo 

"Jleb! Kamu!"

"Ya, saya, Pak!"

"Aduh! Sakitnya!"

"Begitu juga yang saya rasakan, Pak!"

Saya kaget. Terkesima. Baru saja saya membalikkan tubuh, menatap langit-langit kamar, belati itu menancap tepat di jantung. Masih menancap. Saya lihat perempuan berusia 30-an masih menggenggam belati, kemudian mendorongkannya dengan sekuat tenaga. Darah muncrat.

Kepala saya pening. Mungkin sebentar lagi saya pingsan. Tetapi, saya masih ingat peristiwa-peristiwa lalu.

***

Melalui facebook saya berkenalan dengan perempuan berusia 30-an. Kemudian saya akrab. Bertegur sapa melalui inboks. Setelah itu, karena pengakuannya, saya tahu bahwa ia wanita pekerja di panti pijat.

Wajahnya melankolis. Sorot matanya tajam. Layaknya mata elang. Yang lainnya tak begitu saya perhatikan. Saya sangat menyukai matanya itu. Ya, matanya. Hingga akhirnya saya tersungkur.

Namanya? Saya juga tak begitu peduli soal nama. Apa sih arti sebuah nama? Berbahagialah mereka yang memiliki nama yang simitris dengan ucapan dan perbuatannya.

***

Malam itu saya menemuinya di tempat dia bekerja. Sekaligus ingin merasakan pijitan tangannya. Apalagi sudah seminggu ini badan saya sangat capek setelah bekerja. Saya masih ingat wajahnya yang melankolis itu. Benar! Ketika saya masuki bangunan kuno peninggalan Belanda yang berada di pusat bisnis, saya bertemu dengan wanita yang saya kenal melalui facebook. Saya dipersilakan masuk ke dalam kamar.

Saya membuka baju dan kaos oblong. Kemudian mencopot sepatu dan kaos kaki. Saya tengkurap di atas kasur. Wanita itu meminta izin keluar sebentar.

***

"Bapak masih ingat saya? Bertahun-tahun saya menunggu. Sekarang telah datang kesempatan ini. Ternyata Bapak cuma pecundang! Manusia kardus! Setelah memperkosa saya, Bapak dapat memutarbalikkan fakta. Karena semua penegak hukum di negara ini dapat Bapak beli! Hingga akhirnya saya masuk penjara", kata wanita itu sambil menarikan belatinya di jantung saya.

Saya memasuki lorong yang gelap. Melewati jembatan. Kaki saya menggigil. Saya meraba besi pembatas jembatan. Saya lihat di bawahnya air kali mendidih bergelora. Saya berjalan sangat perlahan. Tetapi anginnya dingin. Sangat dingin!

"Masukkan ke dalam lemari pendingin sebelum keluarganya datang!" Lamat-lamat saya mendengar suara itu.

Jakarta, 5 Oktober 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun