Mohon tunggu...
Syukur Budiardjo
Syukur Budiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Pensiunan Guru Bahasa Indonesia SMP di DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Dengan suka hati menulis artikel, cerpen, dan puisi di media massa cetak, media online, dan media sosial. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018) dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018(. Tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kisah Sepasang Mata Indah dan Secangkir Kopi

9 September 2019   13:31 Diperbarui: 9 September 2019   13:48 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selamat pagi!" Sepasang mata indah menyapa secangkir kopi. Lama menatapnya. Kemudian mengenangnya. Sebelum bibir merah merekah menyentuhnya. Bibir cangkir memintanya untuk teguk pertama.

"Sudahlah, kita akhiri saja! Karena engkau diam-diam menyimpan nama lain. Juga foto. Di dalam album dan buku harianmu. Tak perlu dipertahankan. Tak perlu dilanjutkan. Jika ini beraroma pengkhianatan!"

Pada teguk kedua, terbayang hijau telaga. Air menggigir. Angin berdesir. Langit biru. Serombongan belibis terbang mengoyak senja. Mengayuh dayung. Perahu tak lelah menyisir. Seolah mengekalkan cinta!

Pada teguk ketiga, terbayang rinai hujan. Mengguyur wajah, juga tubuh. Pinus dan cemara. Mengiring berjalan. Tak ada resah, juga keluh, Seolah cinta tak kan merapuh!

Pada teguk keempat, terbayang belati. Mengajaknya bunuh diri. Darah meruah. Rindu mengalah. Senyum matahari dan bulan, juga bau parfum melambai. Seolah cinta telah selesai!

Pada teguk terakhir, sepasang mata indah berbinar. Ketika kopi pagi diseruput lelah hatinya pudar. Hidup tak selamanya manis. Tak selamanya pahit. Berkelindan. Telah dirasakan. Telah ditemukan. "Selamat pagi, kawan!" Suaranya lirih tapi menyenangkan.

Jakarta, 5 November 2015

_______________

Catatan:  Puisi ini pernah tayang di Rubrik Puisi portal mbludus.com edisi 20 Juli 2019. Bersama puisi-puisi lainnya, puisi ini saya bukukan dengan tajuk Demi Waktu  (2019).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun