Siang itu Ustaz Zainuri kedatangan banyak tamu tak diundang. Selain polisi, juga awak juru warta. Polisi memeriksa jenazah. Mengumpulkan barang bukti. Memotret jenazah. Juga mewawancarai Ustaz Zainuri.Â
Para wartawan media cetak dan elektronik hilir mudik. Mereka juga memotret jenazah, meminta foto korban sewaktu masih hidup, dan mewawancarai Ustaz Zainuri. Siang yang mengguncang keluarga Ustaz Zainuri.
"Tak usah diautopsi, Pak," kata Ustaz Zainuri.
"Baiklah, kalau itu memang kemauan Pak Ustaz," jawab polisi.
Polisi berkeyakinan bahwa putri Ustaz Zainuri meninggal karena bunuh diri. Di samping jenazah yang terbujur di atas tempat tidur, polisi menemukan kaleng obat pembasmi serangga dan gelas berbau menyengat. Selain itu juga ditemukan secarik kertas layaknya surat wasiat bertuliskan tangan.
"Anisa memohon maaf kepada ayah dan ibu. Karena Anisa tak sanggup menghadapi kenyataan ini. Daripada menanggung malu lebih baik Anisa mengakhiri hidup ini. Apalagi di dalam perut Anisa terdapat calon bayi. Maafkan Anisa!"
***
Ustaz Zainuri seolah sudah memiliki firasat akan terjadi sesuatu yang tak menyenangkan bakal menimpa putrinya yang masih kelas 12 di Madrasah Aliyah, cantik, fasih mengaji, dan selalu mengenakan jilbab. Itu sebabnya, Ustaz Zainuri kerap menasihati Anisa agar berhati-hati dalam bergaul dengan Rumpaka --- anak seorang pengusaha di Jakarta.
Anisa berkenalan dengan Rumpaka melalui facebook. Bermula dari inboks,
                                                                 8
kemudian berlanjut ke kopi darat atau tatap muka. Rumpaka memang tampan. Ia juga mahasiswa. Hingga pada pertemuan yang kesekian kalinya, badai menggelora dan bulan beranjangsana. Mereka terlarut ke dalam pusaran kemelut.
"Kamu harus bertanggung jawab atas semua ini," kata Anisa.
"Aku tak dapat memenuhi permintaanmu karena ayahku memintaku melanjutkan kuliah ke luar negeri," kata Rumpaka berbohong.