Setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Sehari setelahnya, tanggal 2 Mei, bertepatan dengan hari lahir bapak pendidikan Indonesia, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Dua momen tersebut mungkin bagi orang kebanyakan adalah sebuah dikotomi yang tak dapat disatukan. Namun bagi saya, dua momen tersebut mempunyai esensi yang sama, yakni sebuah perjuangan.
Sebelum beranjak lebih dalam, kita harus menyamakan persepsi kepala kita semua terkait apa itu buruh. Dilansir dari laman KBBI V, buruh merupakan orang yang bekerja untuk orang lain demi mendapatkan upah. Singkatnya, buruh adalah pekerja, karyawan, anak buah, atau sejenisnya. Di Indonesia, kata "buruh" dikonotasikan menjadi sebuah hal hina dan menempati kasta kata terakhir dari karyawan, pekerja, dan anak buah, lalu buruh.
Sejarah mencatat, pergerakan kaum buruh pertama kali muncul di Amerika Serikat berupa pemogokan kerja secara massal tahun 1806 oleh pekerja Cordwainers. Di sisi yang lain, di New Jersey, pada tahun 1872 McGuire mengakomodir 100.00 massa buruh untuk melakukan aksi mogok kerja dengan tuntutan pengurangan jam kerja dan penyediaan uang lembur.
Tidak berhenti disitu saja, McGuire mengembara ke berbagai negara Eropa dan Amerika untuk mempropagandakan gerakan buruh. Seperti di tahun 1881 mendirikan sebuah persatuan tukang kayu di Chicago. Konon, sampai peristiwa kerusuhan Haymarket pada tahun 1886 di Paris, juga merupakan puncak buah propaganda McGuire.
Kendati demikian, usaha-usaha tersebut berbuah manis di meja kongres sosialis dunia yang berakhir menetapkan Hari Buruh Internasional di tanggal 1 Mei melalui resolusi yang dikeluarkan dan disambut dengan hangat oleh negara bagian lainnya untuk turut memperingati tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional.
Lain lagi dengan apa yang terjadi di Indonesia yang mengadopsi Hari Buruh Internasional. Indonesia mengawali Hari Buruh sejak tahun 1902 melalui aksi demonstrasi kepada pemerintahan kolonial Belanda dengan tuntutan keadilan dan kemakmuran bagi kaum buruh. Hal tersebut rutin dilakukan setiap tahunnya sampai sekitar tahun 1966-an, tepatnya pada era Orde Baru.
Pemerintahan Orde Baru membangun stigma baru terkait aksi yang dilakukan setiap tanggal 1 Mei. Narasi yang beredar yakni gerakan buruh tidak lepas dari intervensi PKI atau ideologi komunis. Oleh karenanya, peringatan Hari Buruh di masa tersebut tak nampak pergerakan. Selain itu, narasi berbeda gencang disuarakan bahwa gerakan buruh adalah aktivitas subversife dan dilarang diadakan di Indonesia.
Bisa dikatakan bahwa gerakan buruh pada saat pemerintahan Kabinet Pembangunan berkuasa, sangat masif bahkan tidak ada ruang gerak sedikitpun. Kendati demikian, sampai saat pemerintahan Orde Baru gugur di tahun 1998, gerakan buruh kembali diadakan dan peringatan Hari Buruh Internasional setiap tanggal 1 Mei diakui serta menjadi hari libur.Â
Mengutip dari buku Kebangkitan Gerakan Buruh: Refleksi Era Reformasi, menyatakan bahwa gerakan buruh pasca reformasi tidak hanya terpaku pada masalah-masalah pabrik saja, namun mendukung hal-hal yang bersifat adil bagi masyarakat luas seperti halnya mendorong Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Guru Juga Buruh
Tuntutan-tuntutan dan peristiwa yang dialami buruh di atas juga dialami oleh guru kebanyakan di Indonesia per-hari ini yang tidak kunjung terselesaikan. Apalagi guru yang menyandang honorer. Fase kerja lembur, gajian telat dan juga tidak seberapa, kebutuhan menumpuk, tuntutan sosial, dan beban moral sebagai guru di Indonesia menjadi hal yang tak bisa dielakkan.
Akhir-akhir ini, ramai perbincangan dan booming hashtag #janganjadiguru dan #janganjadidosen di media sosial X (semula Twitter) menjadi sorotan utama untuk saya hadiahkan di Hari Pendidikan Nasional melalui tulisan ini. Di dalam hashtag tersebut berbondong-bondong membagikan cuitan-cuitan, banyak juga beberapa potongan struk gajian mereka sebagai tenaga pendidik.
Bahkan tidak sedikit juga beberapa akun yang membandingkan antara pengalaman mereka sebagai guru di luar Indonesia dengan pengalaman mereka sebagai guru di Indonesia. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak lagi bisa dipandang sebelah mata karena akan berdampak pada konstruk dan stigma khalayak umum terhadap kesejahteraan guru di Indonesia.
Bayangkan saja, orang-orang yang awalnya bercita-cita menjadi guru, seketika berpaling muka saat melihat hashtag tersebut. Atau bisa saja mereka menggapai cita-citanya di negara lain. Niscaya Indonesia bukan menyambut bonus demografi, melainkan bencana demografi. Padahal sudah banyak bermunculan narasi terkait kenaikan dan penyejahteraan guru, namun sampai sekarang belum juga ada review jujur terkait kepuasan menjadi guru di Indonesia.
Wacana paling terbaru, setelah banyaknya wacana yang telah ditimbun terkait manajemen guru dan dosen yakni pada tanggal 23 Februari 2024. Wacana tersebut berbunyi, "Menteri PANRB dan Mendikbudristek Diskusi Transformasi Manajemen Guru dan Dosen". Parahnya, wacana tersebut lahir di tengah-tengah maraknya hashtag propaganda untuk tidak menjadi guru di Indonesia.
Kejadian yang sama juga terjadi ketika ada aksi demonstrasi menuntut kenaikan gaji guru. Ambillah contoh kasus lama di tahun 2013 di Jakarta yang berisi ancaman Ahok untuk tidak menaikkan gaji jika para guru honorer demo. Dan kasus terbaru, Bupati Sabu Raijua yang cekcok, adu mulut dengan guru ketika demo dengan tuntutan tunjangan sertifikasi guru.
Dari studi kasus di atas, saya menyimpulkan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran guru yang juga merasakan beban sebagai buruh di Indonesia hanya bersifat momentual. Oleh karena itu, marilah kita merefleksikan kembali atas apa yang telah lalu dan apa yang akan terjadi di momen Hari Buruh Internasional dan Hari Pendidikan Nasional yang diperingati secara berurutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H