Tempo hari saya berpapasan dengan figura di salah satu Madrasah Ibtidaiyah bertuliskan, "Setinggi apapun cita-citaku, dengan doa dan usaha aku bisa menggapainya!!!" Dan di bawahnya terdapat gambar plang penunjuk arah bertuliskan "Sekolah". Momen tersebut mengembalikan ingatan saya waktu TK, SD, dan SMP. Dimana pada waktu tersebut, saya akrab sekali dengan quotes seperti di atas.
Bukan hanya akrab dengan quote tempelan di dinding, melainkan saya juga akrab dengan pertanyaan ibu guru tentang cita-citaku dan teman kelasku setiap kali masuk kelas. Bahkan, secara otomatis saya sering menulis nama lengkap saya dan cita-cita saya di halaman pertama buku tulis dan buku gambar yang saya punya. Lebih lekatnya lagi yakni momen ketika ibu guru mengingatkan saya dan teman-teman sekelas untuk terus belajar untuk menggapai cita-citanya masing-masing.
Dan saya rasa, momen tersebut dimiliki oleh setiap orang. Lantas apa urgensi saya menyajikan informasi tersebut? Tentu saya ingin mengajak kita semua untuk mengulas redaksi pendidikan melalui slogan-slogan yang sering kita temui ketika berada di bangku Sekolah Dasar s/d jenjang SLTP. Memangnya, apa yang janggal? Yeah, kita perhatikan dengan seksama dan membedah 'quotes' dan plang bertuliskan "Sekolah" secara definitif dan periodik.
Kalimat doktrinasi kepada peserta didik Sekolah Dasar untuk terus optimis menggapai cita-cita melalui doa dan usaha kita sebut saja sebagai penanaman moral terhadap peserta didik. Lalu, gambar plang bertuliskan "Sekolah" menunjukkan bahwa untuk menggapai cita-cita yakni diarahkan ke sekolah dan sekaligus menjadi media untuk berusaha.
Sedangkan, beranjak ke jenjang pendidikan SLTA, kalimat doktrinasi tersebut tak lagi kita jumpai. Fokus peserta didik tingkat SLTA beralih pada mata pelajaran dan buku-buku pelajaran yang tebalnya minta ampun. Tidak hanya itu, peserta didik tingkat SLTA juga dibebani tugas-tugas mata pelajaran sehingga menyebabkan amnesia terhadap cita-cita yang sebelumnya dirangkai.
Lebih parahnya lagi, tuntutan orang tua pada anak dan tuntutan guru pada murid menghantui alam bawah sadar peserta didik. Guru menuntut kesuksesan tanpa mengembalikan lagi keoptimisan cita-cita peserta didik. Sedangkan orang tua mencontohkan tetangganya yang tajir-melintir sebagai figur 'orang sukses'.
Oleh karenanya, ketika murid jenjang SLTA ditanya apa cita-citanya kerap kali mereka kebingungan menjawabnya. Apalagi ditanya, selesai sekolah mau lanjut kuliah apa kerja, semakin pecah kondisi otak si murid tersebut. Fase tersebut merupakan fase terberat dialami oleh peserta didik. Tekanan demi tekanan dan tuntutan demi tuntutan membayangi setiap langkahnya. Dan fase tersebut kita namakan sebagai fase dilematis.
Hemat saya, fase dilematis siswa jenjang SLTA disebabkan oleh 3 faktor; pertama, faktor akademis. Banyaknya mata pelajaran yang dicekoki kepada murid SLTA menyebabkan kehilangan konsentrasi merefka terhadap kebutuhannya masing-masing. Artinya, para murid dituntut lulus ujian dengan nilai sempurna di banyak multi disiplin ilmu pengetahuan seperti Biologi, Fisika, Kimia, Matematika, dan lain sebagainya.
Kedua, faktor dekonstruktif. Cita-cita yang dulu pernah dibayangkan dan diucapkan oleh si murid di depan teman-teman dan gurunya di dalam kelas ketika masih Sekolah Dasar disesali karena dihancurkan oleh budaya akademik di jenjang SLTA. Artinya, dulu ketika si murid di bangku SD mempunyai cita-cita menjadi seorang pilot ternyata ketika di SMA dituntut memenuhi nilai akuntansi, kimia, biologi, dan lainnya.
Ketiga, faktor demotivasi. Yang namanya siswa atau murid tentu membutuhkan arahan dan bimbingan. Bagai perahu kecil anggun di tepi pantai lalu diterjang badai bengis dan berlabuh di tengah samudera lepas, menggambarkan kondisi murid tingkat SLTA. Cita-cita yang diangankan waktu kecil kandas ditabrakkan dengan banyak tuntutan dan tanpa arahan lebih lanjut lagi.
Rentetan-rentetan peristiwa di atas merupakan sistem pendidikan dan lingkungan pendidikan yang terbangun selama ini. Minimnya antusias siswa melanjutkan ke jenjang mahasiswa disebabkan stigma kesuksesan terpaku pada uang dan data yang menunjukkan IQ rata-rata orang Indonesia lebih rendah dari IQ simpanse adalah dampak dari itu semua. Lantas siapa yang disalahkan? Ya Ndak Tau Kok Tanya Saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H