Sebagai mahasiswa semester akhir, story WhatsApp dan snap Instagram saya dipenuhi dengan selebrasi pasca seminar proposal. Ada yang mendapatkan buket bunga besar, jajanan, buket rokok, buket uang (saya tak tau uang itu palsu atau asli), bahkan ada yang memberi 4 ekor anak ayam warna-warni.
Melihat kesemarakan selebrasi itu, tak bisa membangkitkan jiwa kompetitif saya untuk melanjutkan bab III yang beberapa bulan mangkrak agar bisa foya-foya seperti mereka. Yang ada hanya ketakutan ketika waktu sempro nanti, teman-teman saya datang semua dan memberikan banyak hadiah.
Jika hanya datang untuk memberi selamat saja, satu kampus saya tampung. Bukan karena saya kemaki, tapi saya takut suatu saat nanti, hadiah yang diberikan itu tidak bisa saya kembalikan. Karena dengar-dengar itu hukum timbal-balik. Artinya, jika saya mendapatkan hadiah waktu sempro, maka saya juga harus memberi hadiah yang sama kepada si pemberi hadiah itu.
Arah fenomena selebrasi seminar proposal hari ini
Melihat fenomena selebrasi sempro hari ini, seketika itu saya teringat akan tetangga saya yang mencari pinjaman uang karena harus mengembalikan barang yang pernah diterimanya ketika 15 tahun lalu di hajatan anak pertamanya. Hal itu lumrah terjadi di kampung saya karena telah dikenal dengan adat tradisi Tompangan.
Tradisi Tompangan (Ompangan) dan kultur baru selebrasi sempro mempunyai kesamaan dalam tata sosialnya. Meminjam dari definisi Jailani dalam thesisnya di UIN Syarif Hidayatullah, Ompangan merupakan tradisi masyarakat Madura untuk saling membantu meringankan beban masyarakat dalam hajatan pernikahan atau kebutuhan pembangunan rumah. Nasib tradisi Tompangan sama halnya dengan bom Nuklir, Oppenheimer menciptakan sebagai wujud kemajuan peradaban dunia dan akhirnya disalahgunakan.
Ada udang di balik batu dan ada keuntungan di balik tradisi Tompangan begitulah orang pintar menganggap. Semakin ke sini, tradisi Tompangan dijadikan wadah untuk mengerami telur seharga dua ribu rupiah dan akan dipanen ketika sudah menetas dan bisa laku seharga dua ratus ribu rupiah. Jika kata A. Zahid dalam jurnalnya, tradisi itu mulai berubah dari segi substansi, yang tadinya bertujuan untuk saling tolong menolong antar masyarakat, tetapi berubah menjadi tradisi yang mengandung hutang piutang dan pola rentenir.
Kasus tradisi Tompangan secara historis yang hampir sama dengan pola munculnya kultur selebrasi sempro di kalangan mahasiswa hari ini dapat dipastikan bisa berakhir seperti tradisi Tompangan tersebut, akan terjerumus dalam lingkaran investasi berkedok apresiasi. Kalau tidak percaya, kita pembacaan situasi hari ini dan pola-pola selebrasi sempro.
Secara istilah, selebrasi sempro kita asumsikan sebagai proses apresiasi yang lahir dari sikap kepedulian dan kepekaan satu ke lainnya. Rekam jejak empiris pribadi saya mengasumsikan bahwa selebrasi pasca sempro tersebut muncul pasca covid-19 melanda. Hal ini juga dikuatkan dengan artikel pertama yang membahas tentang selebrasi pasca sempro itu pada tahun 2021 di rubrik Pojokan, oleh mojok.co. Justru hal itu berbanding terbalik dengan kebiasaan selebrasi sempro di tahun 2019 ke bawah.
Dahulu kala, sebelum hadirnya selebrasi sempro berbentuk apresiasi terdapat selebrasi sempro berbentuk rasa syukur. Jika fenomena selebrasi sempro hari ini yang menyelesaikan seminar proposal mendapatkan apresiasi dalam bentuk hadiah berupa bunga-bungaan, pernak-pernik dan semacamnya, maka selebrasi sempro terdahulu sebaliknya.
Selebrasi sempro terdahulu mempunyai kebiasaan dimana orang yang menyelesaikan seminar proposal merayakannya dengan bentuk syukur berupa mentraktir makan atau mentraktir kopi teman-temannya yang sudah berkenan hadir. Dalam hal ini diafirmasi oleh Dosen Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Dr Andi Faisal SS M. Hum dalam wawancaranya dengan PK Identitas Universitas Hasanuddin. Beliau menceritakan bahwasanya pada saat beliau menyelesaikan sidang seminar langsung mentraktir makan teman-temannya.