Mohon tunggu...
Syukrie Patria
Syukrie Patria Mohon Tunggu... pegawai negeri -

\r\nSaya hanya seorang pria dengan Jutaan Kekurangan.\r\n^____^"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meretas Cinta di Gazebo Part-YYY (Aku Pergi)

1 Mei 2012   10:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:53 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tok..tok..tok..tok… Den…. Bangun!!! Udah siang. Ndoro Putri nyuruh aden cepet bangun, nanti aden bisa ketinggalan pesawat.” Suara heboh Mbah Ngatiem dalam usahanya membangunkanku, mengawali pagi hariku. Suara Mbah Ngatiem dengan logat jawanya yang kental, cukup mengganggu tidurku. Alih-alih beranjak dari tempat tidur dan bersiap diri, dengan menggeliat malas tubuhku kian terbenam di balik selimut. Mataku mencoba melirik jam weker berbentuk ayam jago yang berada di samping tempat tidurku. Pukul 05.00. Hah? Ini masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas. Ada-ada saja Mbah Ngatiem menggangguku sepagi buta ini.

Saat aku mencoba mencari posisi yang enak untuk melanjutkan tidurku, tiba-tiba terdengar suara pintu yang didobrak paksa. “Braaaakkkkkk!!!!”. Sontak diriku terperanjat kaget. Hampir-hampir tubuhku terpelanting dari tempat tidur, akibat setengah meloncat dari balik selimut karena kaget. Kemudian kulihat Mbah Ngatiem telah berada di dalam kamarku dengan atribut perangnya yang lengkap. Gagang sapu di tangan kanannya, sedangkan serok sampah berada di tangan kirinya yang seolah-olah dia pergunakan sebagai tameng. Lengkap dengan serbet melingkar di atas dahinya, yang dia ikat kebelakang dengan posisi miring, sehingga sebelah matanya tertutupi serbet. Mungkin dia merasa sedang berada dalam misi penting menyelamatkan dunia. Kontan diriku tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku Mbah Ngatiem yang super heboh. Ini mungkin akibat film-film action yang sering dia tonton di dvd, begitulah pikirku.

Selagi Mbah Ngatiem menyapu pandangannya ke sekeliling kamarku dalam posisi yang siap menyergap musuh, diriku teringat akan sesuatu. Ah…. Sial, ternyata aku lupa mengunci pintu kamar semalam. Dan akupun menepuk dahiku sendiri karena kesal. Mungkin karena aku terlalu lelah, sehingga aku terlupa. Ya… semalam aku memang pulang larut sekali. Seharian aku bertiga bersama Boni dan Ridho menyelesaikan misi kami dan melepas penat dengan mengisi acara musik di Kafe Oden’s. Boni dan Ridho minum begitu banyak malam itu, sehingga mereka terkapar tak sadarkan diri. Bahkan aku harus dibantu oleh security kafe untuk memapah mereka keluar, karena hampir saja Ridho mengamuk akibat mabuk. Dan aku tiba mengunjungi tempat tidurku yang hangat pukul 03.03 dini hari. Ya.. mungkin karena terlalu lelah malam itu mengurusi mereka sehingga tanpa sadar pintu kamarku belum dikunci.

Saat aku masih berada dalam posisi tangan yang masih menempel di dahi, tiba-tiba Mbah Ngatiem menyeretku keluar dari selimut. “Ayo den, di sini berbahaya. Aden harus segera keluar dan mandi. Kalau tidak, Ndoro Putri akan sangat marah melihat den Rasya masih malas-malasan di balik selimut”, Mbah Nagtiem berbicara tanpa memandangku. Tangannya sibuk menyeret tubuhku untuk keluar dari selimut, sedangkan pandangannya masih terlihat siaga akan sekitar.

“Aduh mbah, aku masih ngantuk. Aku baru tidur dua jam hari ini. Badanku lemas sekali. Biar urusan Ibu, aku yang tanggung jawab. Jadi mbah nggak bakal kena marah Ibu,” tubuhku menahan seretan mbah dan berusaha untuk masuk kembali ke dalam selimut.

Oh ya, mungkin aku harus mengenalkan Mbah Ngatiem kepada kalian. Mbah Ngatiem adalah seorang wanita tua yang berumur enam puluh tahunan, namun masih memiliki jiwa yang super muda –hehehe-. Dia sudah mengabdi di keluarga kami kurang lebih sembilan belas tahun. Tepat pada saat masa awal pernikahan ayah dan ibuku. Mbah Ngatiem diajak oleh ibuku dari Purwokerto. Kebetulan Mbah masih memiliki hubungan family dengan ibu, walaupun cukup jauh. Di usianya yang tidak lagi muda, mbah memiliki selera yang unik. Dia suka lagu-lagu dari band U2 yang terkenal di Inggris dan mbah juga suka menonton film action –ckckckckck- unik bukan? Mbahlah yang mengurusku dan Regi semenjak kami lahir. Namun akulah yang lebih memiliki kedekatan emosional dengan Mbah Ngatiem ketimbang Regi. Bahkan aku lebih nyaman bercengkrama dengan Mbah ketimbang dengan Regi atau orang tuaku. Sosok sederhana dan lugu, namun dialah yang lebih banyak mengajarkanku tentang hidup dan kearifan.

“Braaakkkk!!! Aduuuuhhh!!” aku mengerang kesakitan. Kini tubuhku berada di atas lantai. Usaha yang gigih ditambah tenaga Mbah yang cukup besar untuk orang seusianya dan mungkin juga karena aku sudah terlalu lemas, menyudahi perlawananku.

“Ya Mbah, aku nyerah. Aku mandi deh.” Jawabku menggerutu.

Akhirnya Mbah Ngatiem tersenyum puas. Dia segera menyiapkan handuk dan mengisi bathtube dengan air hangat. Setelah dirasa cukup, dia mempersilakanku mandi. Akupun melangkah dengan gontai.

“Haruskah air menjamah tubuhku sepagi ini? Seharusnya aku masih bermesraan dengan bantal dan gulingku di atas kasur dan di balik selimut yang hangat,” aku berguman menggerutu.

Ternyata Mbah mendengarnya,”Masih males mandi? Apa Mbah aja yang mandiin kamu den?”

“Nggaaaak!!!” sontak aku berlari menuju kamar mandi.

***

Dooooooooooonggg!!!

Suara jam bandul besar menggema di seisi ruang baca. Aku baru saja menuruni anak tangga setelah selesai mandi. Aku lihat mereka semua telah berkumpul di sana. Ada Ayah, Ibu, Regi dan juga Mbah Ngatiem. Seperti biasa, wajah-wajah kaku terpampang sebagai mimik wajib keluarga yang kurasa aneh ini. Kok bisa aku berada di dalam keluarga yang menjadikan senyuman sebagai sesuatu fenomena langka? Haduh… tapi inilah keluargaku.

“Cepat kesini.” Ayah menyuruhku untuk mempercepat langkahku. Tapi aku sama sekali tidak menggubrisnya dan ayah tampak semakin jengkel. Ibu mengusap punggungnya untuk menenangkan Ayah.

“Mana barang-barangmu?” hardik Ayah.

Regi menatapku dan memberi isyarat gerakan mata, yang seolah juga mempertanyakan hal yang sama. Aku hanya diam.

“Bukankah kamu tahu, kalau hari ini kamu dan Regi akan berangkat ke Australia? Bukannya cepat-cepat bersiap, malah dengan santainya kamu membiarkan semua orang menunggu. Kalian akan menjadi penegak hukum yang handal. Aku sudah memilihkan universitas terbaik untuk kalian.”

“Untung saja pesawat kalian delay, jadi semua rencana yang sudah Ayah siapkan buat kalian tidak menjadi rusak dan hancur karena kamu!” suara Ayah meninggi. Dia geram dengan sikapku.

“Aku tidak ikut,” akhirnya aku membuka suara.

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak ingin berangkat ke Australia.” Jawabku datar.

“Itu bukan inginku. Jangan paksakan obsesi ayah kepadaku. Aku tidak berminat.” Aku berkata seraya beranjak pergi menuju tangga.

“Kembali kamu!!”

“Aku tak mengerti denganmu Rasya. Kau anakku, tapi sepertinya aku tidak mengenalimu sama sekali.”

“Sejak kapan Ayah peduli denganku? Bahkan Ayah tidak pernah sekalipun menanyakan kegiatanku. Apakah aku dapat mengerjakan soal-soal ujian? Apakah aku sakit? Apakah aku butuh dekapan hangat seorang Ayah saat aku galau? Apakah aku ingin pergi bersama, menghabiskan waktu bercengkrama dan bercanda dengan sosok seorang Ayah? Apa Ayah pernah peduli dengan itu semua? Jawabannya adalah tidak!!” kataku setengah berteriak.

“Apakah Ayah pikir dengan uang jajan berlimpah dan kartu kredit tanpa limit adalah hal yang aku butuhkan dan membuatku bahagia? Sekali lagi, tidak Ayah!!”

“Yang aku butuhkan itu hanya kamu. Sosokmu Ayah. Kasih sayangmu. Perhatianmu. Namun aku tak pernah sekalipun merasakan itu!!” mataku mulai berkaca-kaca.

“Kau sangat berbeda dengan Regi. Kau pembangkang. Mau jadi apa kamu?” emosi ayah semakin bergejolak.

“Yang pasti aku tidak ingin mengikuti jejak ayah.”

“Memang ada apa dengan ayah?” tanyanya.

“Bagiku ayah adalah seseorang yang munafik.”

“Apa maksudmu?” mata Ayah mulai berkaca-kaca.

“Rasya!! Jaga ucapanmu!!” Regi ikut bicara.

“Ayah hanya berpura-pura peduli dengan kaum marginal, tapi nyatanya? Ayah masih saja setia menjadi tangan kanan dari orang yang paling menjijikkan di muka bumi ini. Orang yang memerah darah dan keringat bangsanya sendiri demi memperkaya diri dan keluarganya. Orang yang lebih buruk dari anjing. Dan Ayah tidak jauh berbeda dengannya.” Aku larut dalam emosi.

“Kau ini-,“ suara Ayah tertahan. Tangannya memegang dada, sepertinya sakit jantungnya mulai kumat. Ibu panik dan mencoba menenangkan Ayah. Bersama Mbah Ngatiem, Ibu mendudukkan Ayah di atas kursi. Dengan cekatan Mbah Ngatiem segera menyiapkan obat dan air minum untuk Ayah.

“Kamu keterlaluan Rasya. Kamu mau membunuh ayahmu?!” akhirnya Ibu mengeluarkan suara setelah sekian lama diam dan isak tangisnya semakin menjadi.

“Pergi kau dari rumah ini!!” Ayah mengusirku.

Ibu hanya dapat menangis menatapku dan Regi tertunduk, sekilas air matanya tampak terjatuh.

“Baik, jika itu memang mau Ayah. Aku pergi. Semoga suatu hari kelak Ayah tersadar, bahwa setiap anak memiliki jalannya sendiri. Dan seharusnya sebagai orang tua, mendukung jalan anaknya selama dia benar.” Air mataku berderai. Tangisku mulai tak terbendung.

Sungguh berat bagiku meninggalkan keluarga dan tempat di mana aku lahir dan tumbuh. Namun sudah tidak ada lagi alasan untukku bertahan. Mereka sendiri menganggapku asing. Tak ada satu orangpun yang dapat memahamiku. Air mataku semakin berderai seiring langkahku.

“Den- jangan pergi.” Satu-satunya suara yang mencoba menahanku pergi, suara Mbah Ngatiem. Aku pasti akan merindukan sosoknya.

***

Tik.. tik.. tik.. detik suara jam dinding di basecamp terdengar begitu kencang memantul di antara tembok-tembok dalam ruangan yang kosong. Ya… aku hanya seorang diri. Ridho dan Boni tidak akan ke sini hari ini. Karena mereka sedang sibuk membantu keluarganya masing-masing. Ini juga bukan jadwal kami untuk berkumpul. Aku duduk di atas sofa merah kebanggaan kami, menatap ke sekitar. Rumah ini, ruangan ini pastinya kelak akan sangat kurindukan.

Aku beranjak menuju rak televisi yang kosong, mengambil sebuah album foto lusuh yang berada di dalamnya. Sebuah album berwarna biru tua yang kini sudah mulai memudar. Di bagian depannya terdapat sebuah kertas yang bertuliskan kata-kata yang kami kutip dari dialog tokoh three musketeer yang terkenal,“Satu untuk semua. Semua untuk satu”. Aku tersenyum saat membacanya kembali.

Aku membuka lembaran demi lembaran foto yang terpajang di sana. Pandanganku terhenti pada satu lembar foto yang sangat aku kenali. Ada sebuah foto saat kami sama-sama berumur 5 tahun. Aku, Ridho dan Boni yang saat itu masih kurus, begitu riangnya bermain hujan, hanya dengan mengenakan celana dalam. “Tak terasa sudah dua belas tahun kami bersama” gumamku.

Itulah momen pertama kali kami bertemu. Saat itu aku mendapatkan hukuman dari ayah, karena telah mengacak-acak seluruh dokumen pentingnya di ruang baca. Aku dihukum untuk terus berada di halaman belakang rumah, tanpa menggunakan sehelai bajupun, kecuali celana dalamku. Saat itu hujan turun deras. Alih-alih menangis dan menyesal, aku malah bermain hujan dengan riang. Mbah Ngatiem sibuk menyuruhku berteduh, sedangkan Regi sedang asyik menonton lanjutan film ultraman.

Ridholah yang pertama kali aku lihat. Dia sibuk memanjat tembok pagar belakang rumahku. Sambil berteriak dia berkata, “Gw dapet benangnya Bon-.” Raut wajahnya terlihat begitu kegirangan. Ternyata dia sedang mengejar layangan yang putus yang terbawa angin menuju halaman belakang rumahku. Tak disangka dia terpeleset jatuh di atas tumpukan rumput kering di belakang halamanku, yang belum dibuang oleh bang Soleh tadi pagi. Dia mengerang kesakitan. Boni menyusul dengan ikut memanjat tembok.

“Loe nggak apa-apa Dho-?” Tanya Boni yang saat itu masih cadel.

Aku terkekeh-kekeh mengingatnya. Terlebih jika melihat sosok Boni yang sekarang. Sungguh jauh berbeda.

Saat itu aku terpukau oleh tingkah mereka, terlebih Boni. Dia begitu cekatan dan terampil memanjat tembok. Tanpa ada satu gerakanpun yang salah, dia mendarat dengan sukses di halaman belakangku. Hebat… begitulah pikirku saat itu. Mengingat kami saat itu baru berumur lima tahun, bagiku itu adalah sesuatu yang keren.

Setelah membantu Ridho berdiri, mereka memandangku dengan heran. Ridholah yang bertanya kepadaku, “Heh anak kota, loe sarap ya? Lagi ujan begini, loe malah telanjang cuma pake kolor doank.”

“Loe itu apaan?” tanyaku polos.

“Jiah… gw tanya, bukannya jawab malah nanya balik. Loe bloon apa bego?” tanya Ridho kesal.

Memang itulah momen pertama kali untukku mengenal bahasa-bahasa prokem atau gaul. Karena selama ini aku dididik untuk menggunakan bahasa baku dan formal.

“Oh… nama kamu Gw toh?” tanyaku keheranan.

Boni kesal melihat tingkahku, “Gw itu ya gw, Loe itu ya loe, masak nggak ngelti sih loe? Aneh.”

“Ooooohhhhh….” Jawabku takjub.

“Ya udah, nama gw Ridho, yang cadel namanya Boni. Loe siapa?” tanya Ridho untuk menengahi. Tangannya terjulur mengajakku berkenalan.

“G- Gw Rasya,” jawabku terbata-bata karena tidak terbiasa. Namun aku sungguh senang karena mendapatkan pengalaman dan teman baru bersama mereka.

Setelah itu, aku mengajak mereka untuk ikut bermain hujan denganku. Mereka menurutinya. Dengan cepat mereka menanggalkan seluruh pakaiannya dan menyisakan sebuah celana dalam di tubuh mereka dan kamipun larut dalam kegembiraan bermain hujan.

Mbah Ngatiemlah yang mengabadikan kekonyolan kami itu.

“Suatu hari aden pasti akan tersenyum geli kalau melihat foto ini lagi,” dia tersenyum seraya memberikan foto itu kepadaku. Akupun ikut tersenyum. Sambil memeluknya, aku berkata, “Terima kasih Mbah.”

Aku mengeluarkan foto itu dari plastic album yang membungkusnya. Di baliknya terdapat sebuah tulisan, “Kalian lebih dari seorang teman bagiku, kalian adalah saudara bagiku.”

Itulah tulisan yang dibuat oleh boni, saat itu hanya dia yang sudah mahir menuliskan huruf dan kata. Walau dengan tulisan yang jauh dari rapi, setidaknya sudah dapat terbaca oleh kami –akupun terkekeh-kekeh melihat tulisannya-.

Aku mencari secarik kertas, kemudian menuliskan pesanku untuk mereka di atasnya.

Boni, loe cocoknya jadi atlet pemanjat pohon kelapa, soalnya loe jago banget buat urusan panjat-memanjat.hehehe. Kalo bisa loe berhenti jadi tukang pukul, suatu saat lukisan loe bakal diakuin oleh dunia, gw yakin itu.

Ridho, kalo bisa loe kurangin rokok loe. Nggak bagus buat kesehatan. Lanjutin impian loe nyari sumber daya tenaga listrik alternative. Loe hebat. Loe yang ngajarin gw ngomong loe-gw pertama kali.hehehe. Jangan lagi terjebak di dunia narkoba. Itu cuma ngancurin hidup loe.

Boni, jaga Ridho. Kalo dia masih ngeyel dan ngebandel, loe tonjok aja dia biar sadar. Loe udah dapet izin dari gw.hehehe.

Kalian lebih dari sekedar temen buat gw, kalian adalah saudara gw. Sama kaya tulisan Boni di belakang foto ini. Kalian pasti jadi orang yang sukses di kemudian hari. Gw percaya itu.

Gw pergi nglanjutin hidup gw sendiri. Suatu saat gw bakal balik nemuin loe semua di keadaan yang berbeda. Saat kita semua udah jadi orang yang sukses. Gw pasti kangen sama loe semua.

Banyak hal yang kita lewatin bersama. Hal gokil, memalukan, membanggakan, menyenangkan, menyedihkan, pokoknya semuanya deh.hahaha.

Good luck my friend, I’ll miss you all.

Rasya Dwi Andika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun