Jangan pernah meremehkan makalah karena ada teman saya yang sakit tipus satu minggu gara-gara memikirkan dan menyelesaikan makalah. Jangan meremehkan makalah, sebab jika ia tidak dikerjakan, resikonya adalah tidak punya nilai atau mengulang mata kuliah di semester depan yang berarti menambah masalah.
Mengapa makalah sering menjadi masalah?
Bisa karena tidak bisa dan biasa menulis, sibuk, tidak punya waktu, tidak menguasai materi dan seabrek alasan lainnya. Malangnya, dosen juga tidak mau tahu urusan itu. "Pokoknya makalah harus selesai", Kata Prof. Djakfar. "Tidak ada yang nyuruh anda kuliah. Itu memang pilihan anda sendiri. Beginilah kuliah. Repot, susah, sibuk dan melelahkan. Itu resiko. Jika tidak ingin mengalami penderitaan tersebut, jangan kuliah", begitu kurang lebih statemen ekonom beken tersebut.
Tidak ada kompromi untuk urusan makalah. Harus selesai. Bagaimana jika dipolitisir, misalnya tidak masuk kuliah saja? Itu ide bagus untuk menambah makalah. Ya begitulah. Siapapun yang tidak masuk dengan alasan apapun berhak membuat makalah tambahan sebagai kompensasi absensinya. Bagaimana jika bikin makalah asal-asalan? sebenarnya tidak masalah, asalkan si dosen tidak tahu. Jika tahu, itu nambah masalah. Revisi total dan korban nilai.
Sebab itu, masalah harus dihadapi dan harus diselesaikan. Lalu saya berpikir mengapa makalah tidak menarik untuk digarap. Aha..., saya tahu penyebabnya. Makalah tidak menarik ditulis karena apa yang ditulis dalam makalah sama sekali bukan murni pikiran kita. Kita menulis pikiran orang lain dengan meminimalisir pikiran kita sendiri. Andaikata makalah adalah lembar diary tempat kita mencurahkan seluruh masalah kita, betapa senangnya menulis makalah.
Misalnya, makalah ekonomi, maka kita curahkan masalah keuangan kita: mengapa kita tidak punya uang, dapat dari mana pinjaman, sketsa kredit masa depan dan lain sebagainya.Â
Makalah studi peradaban Islam, kita kaitkan perang salib dengan film yang kita pernah lihat. Kalau perlu kita hubungkan dengan pertengkaran tetangga kita. Makalah psikologi, kita kaitakan dengan kejombloan kita. Kita eksplorasi penderitaan kita lengkap dengan kajian psikologis mengapa kita tidak segera menikah.
Intinya semua makalah digarap seolah-olah kita sedang mencurhatkan masalah kita sendiri, dengan pikiran kita sendiri, kita cari solusinya sendiri, tentu berdasarkan beberapa refrensi yang kita baca dan pahami.
Lalu saya betul-betul melakukan itu. Misalnya, saya menjelaskan tentang Perang Salib. Saya kaitkan dengan film Assasin dan juga Batman yang pernah saya tonton. Saya juga menjelaskan tentang double movement Fazlur Rahman dengan gaya bercerita seolah Fazlur Rahman itu paman saya. Saya kaitkan dengan apapun yang saya anggap ada kaitannya. Saya bikin makalah itu hanya tiga jam sebelum dipresentasikan.
Saya gandakan dan saya berikan makalah itu kepada dosen dan teman-teman. Dengan meyakinkan saya sajikan makalah genre saya itu di depan kelas. Salah satu teman bertanya,"Maaf, ini makalah atau novel?" dosen juga bertanya,"Di mana refrensi tulisan yang ada dalam makalah ini, kok sedikit?"
Saya berpikir menulis makalah dengan gaya tersebut, saya bisa lepas dari masalah. Nyatanya, nambah masalah. Itulah takdir makalah. Makalah harus banyak refrensi dengan beragam kutipan, dan menggunakan kata-kata ilmiah yang jarang dipakai dalam bahasa sehari-hari. Semakin banyak refrensinya, semakin bagus makalahnya. Semakin banyak pendapat orang dan sedikit pendapat pribadi, maka makalahnya semakin bermutu.
Lho, memangnya kenapa dengan pendapat-pendapat saya jika saya masukkan dalam ke dalam makalah?
"Kamu bukan ahli. Kamu hanya mahasiswa. Pendapat kamu tidak ilmiah", katanya.
Apa, tidak ilmiah?
Ini orang mau cari masalah rupanya.
Wallahu A'lam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H