Mohon tunggu...
Syska La Veggie
Syska La Veggie Mohon Tunggu... -

Live is art. Art is alive.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

“Pentingnya Pameran bagi Perupa Muda”

24 November 2015   14:51 Diperbarui: 25 November 2015   06:50 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pentingnya Pameran bagi Perupa Muda

"Catatan atas Pemuda Binal dan Biennale Jatim 6"

Oleh: Syska La Veggie

Pameran seni rupa bertajuk "Pemuda Binal" yang digelar sejak tanggal 9-16 November 2015 di Galeri DKS, sesungguhnya, menarik. Hanya saja, sayangnya, pameran tersebut tidak konsisten dengan konsep yang diangkat. Jika ingin mengangkat perupa-perupa muda Jawa Timur yang tidak terakomodasi di ajang Biennale Jatim 6 yang dihelat di Gedung Balai Pemuda, 11-24 November 2015, mengapa ada beberapa perupa yang ikut pada kedua pameran tersebut? Konyolnya lagi pameran tersebut berada dalam satu komplek Balai Pemuda.

Apakah tidak ada perupa muda Jatim lain yang layak ikut di pameran Pemuda Binal? Sama halnya dengan Biennale Jatim 6 yang didominasi oleh perupa tua dan sedikit sekali dari kalangan perupa muda. Apakah para perupa muda Jatim yang telah berproses dan menghasilkan karya meskipun masih berkuliah di semester awal di berbagai sekolah seni di Jatim tidak layak ikut?

Salvador Dalí, adalah salah satu pelukis terpenting dari Spanyol, yang dikenal lewat karya-karyanya yang surealis. Dali pertama kali melakukan pameran pada umur 14 tahun di sebuah museum yang dikemudian hari diberi nama “Dali Museum-Theater”. Ia pernah belajar di Royal Academy of Art pada tahun 1921 (17 tahun) dan berhasil dikeluarkan dua kali dari sana dan tidak pernah mengikuti ujian karena menurutnya ia lebih pintar dari para pengujinya.

Ada pula perupa dari Indonesia seperti Raden Saleh yang mendapatkan kesempatan berpameran di Den Haag dan Amsterdam saat masa dirinya belajar di Belanda (abad ke-18). Melihat lukisan Raden Saleh, masyarakat Belanda terperangah. Mereka tidak menyangka seorang pelukis muda dari Hindia dapat menguasai teknik dan menangkap watak seni lukis Barat.

Ya, mungkin saja masih banyak perupa tersohor yang telah melakukan debut pameran saat mereka masih muda dan masih belajar. Sekalipun sudah menjadi perupa hebat, proses belajar juga terus berlangsung. Perubahan-perubahan karakter karya untuk menemukan jati diri kerap dilakukan, dan itu merupakan hal wajar. Itu sama halnya dengan Pablo Picasso yang berubah-ubah gaya lukisannya, hingga akhirnya menelurkan aliran kubisme yang mendunia.

Para calon perupa atau perupa muda bisa saja mengikuti pameran meskipun belum menemukan karakter karyanya. Pameran merupakan salah satu bentuk proses kreatif sehingga dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam memamerkan kekaryaannya. Mengikuti ajang pameran, baik dalam pameran bersama maupun pameran tunggal, berarti perupa tersebut siap untuk dikritisi oleh publik dalam hal kekaryaan.

Pameran bersama dengan sesama generasi perupa muda juga sama hal pentingnya, sehingga dapat berlomba-lomba untuk menunjukkan karya terbaiknya. Karena untuk menuju ke ruang pameran, maka perupa akan berupaya untuk memamerkan karya yang terbaik, bukan hanya sekedar turut serta. Selain itu, para perupa juga bisa bekerja bersama serta saling guyub dalam mempersiapkan pameran.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa perupa muda juga butuh pameran. Hal tersebut disebabkan oleh kebutuhan untuk melakukan proses kreatif. Apabila bercermin dari Dali dan Raden Saleh, bukankah proses kreatif harus sudah mulai dilakukan sejak dini? Bukankah dalam proses kreatif dialektika kritis yang dapat mengasah mentalitas perupa sebagai kreator perlu juga dilakukan? Oleh karena itu, apakah salah jika perupa muda pun ikut berpameran, meski (mungkin) perupa tersebut masih berusia dini, baik secara usia atau akademik?

Pada sebuah lukisan ataupun karya seni, tidak sekedar membutuhkan teknik yang baik saja. Namun juga harus memiliki beberapa hal. Pertama, memiliki konstruksi estetik dan komposisi artistiknya kuat, sehingga enak dilihat dalam jangka waktu yang lama. Kedua, teknis membuatnya memenuhi unsur tingkat kesulitan yang tinggi. Ketiga, karya dibuat dengan konsep pemikiran yang menarik dan bermuatan sesuatu yang baru. Keempat, dari kejauhan sudah tampak karya itu adalah karyanya seniman itu, karena seniman bersangkutan telah memiliki ciri khas dan mendapat pengakuan dari passionet collector, pemain pasar senirupa dan kalangan akademik. Kelima, mengusung sosialitas, politik dan kemasyarakatan dalam negeri, unsur lokalitasnya kuat.

Mari kita telaah lebih lanjut uraian kalimat di atas. Apakah art theory if knowledge tersebut menjadi tolok ukur utama untuk membuat karya yang baik dan layak masuk dalam galeri pameran? Apakah fakta yang kita lihat seperti itu? Apakah seni bisa diatur dengan aturan-aturan pasti dan mengikat?

Nilai estetik pada karya seni rupa dapat bersifat objektif dan subjektif. Nilai estetis obyektif memandang keindahan karya seni rupa berada pada wujud karya seni itu sendiri artinya keindahan tampak kasat mata. Sesungguhnya keindahan sebuah karya seni rupa tersusun dari komposisi yang baik, perpaduan warna yang sesuai, penempatan objek yang membentuk kesatuan dan sebagainya. Keselarasan dalam menata unsur-unsur visual inilah yang mewujudkan karya seni rupa.

Berbeda halnya dengan nilai estetis yang bersifat subjektif, keindahan tidak hanya pada unsur-unsur fisik yang diserap oleh mata secara visual, tetapi ditentukan oleh selera penikmatnya atau orang yang melihatnya. Ketika melihat sebuah karya seni lukis atau seni patung abstrak, kita dapat menentukan nilai estetis dari pentaan unsur rupa pada karya tersebut. Contohnya pada lukisan "Untitled" (1968) karya Cy Twombly yang terlihat amburadul seperti coretan itu, laku terjual USD 70,5 juta pada sebuah lelang yang berlangsung di Balai Sotheby, New York, AS, 11 November 2015.

Paradigma setiap orang dalam menginterpretasi nilai estetik, tentunya berbeda-beda misalnya tergantung dari pengalaman. Pengalaman berkualitas estetis seperti perasaan mempesona, keindahan, rasa kesempurnaan, sublime, dan lain sebagainya. Noel Carroll (filsuf kontemporer seni dari Amerika) menganalisa bahwa, interpretasi adalah bentuk interaksi non-estetis pada suatu karya seni.

Interpretasi ini ada karena, seorang seniman pastilah memberikan makna terhadap karyanya secara langsung maupun tidak langsung dalam karya seni. Lantas, apabila makna itu ditaruh secara tidak langsung dalam permukaan karya seni, melainkan disembunyikan didalam suatu karya seni, maka hal itulah yang dicari secara aktif oleh para spectator. Itulah permainan interpretasi. Interpretasi ternyata juga mempunyai active discovery.

Saat ini banyak wadah untuk ruang pameran, baik itu art space seperti galeri seni dan museum, maupun ruang publik seperti taman perkotaan serta kafe-kafe yang menyediakan tempat untuk pameran. Hal tersebut merupakan peluang bagi perupa muda agar bisa unjuk gigi menunjukkan karyanya agar mendapat apresiasi dari publik.

Ruang-ruang yang tersedia bisa sebagai tempat untuk latihan pameran sampai kelak bisa menuju galeri pameran bergengsi. Para perupa muda secara personal maupun membentuk komunitas, bisa sama-sama belajar membuat kegiatan pameran. Sehingga perupa muda juga melek akan proses sebuah pameran, dan tidak melulu protes terhadap pameran yang didominasi oleh perupa senior.

Setiap zaman memiliki gaya, khas/ciri, artistik, dan gaya seninya tersendiri. Menurut Carroll, memilih gaya seni merupakan langkah awal untuk suatu penolakan terhadap gaya lain, yang akan menjadi dialektika juga nantinya. Seni di zaman modern memiliki standartnya tersendiri, kemudian dibantah oleh post-modern, tetapi kemudian dicoba untuk dibantah kembali. Semuanya dapat memiliki kebenarannya masing-masing, jadi kebenaran ialah plural.

Maka dari itu, perupa muda, jangan lagi takut untuk mengikuti ajang pameran seni. Berlaku pula untuk perupa muda semester awal, perupa muda setara Sekolah Menengah Atas ataupun non akademis yang belajar secara otodidak maupun di sanggar-sanggar seni. Tidak menjadi jaminan mutlak lamanya dalam berproses, serta menguasai semua teknik yang baik menjadi faktor penting layak atau tidaknya memulai berpameran. Toh, nyatanya masih banyak perupa yang meski telah lama berproses, namun tidak menguasai seluruh teknik dengan baik.

Justru dengan memulai berpameran menjadi proses kreatif seorang perupa untuk merintis dirinya agar menjadi perupa yang handal. Terima ajakan berpameran, ikut seleksi pameran, atau buat pameran sendiri. Tunjukkan bahwa perupa muda juga layak ikut pameran!


Mari ciptakan gaya sendiri, mari berkarya, mari berproses kreatif. Perupa Muda, AYO PAMERAN!

Sabtu, 14 November 2015
*Perupa muda Surabaya
Mahasiswa STIKOSA AWS dan STKW Surabaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun