Pada sebuah lukisan ataupun karya seni, tidak sekedar membutuhkan teknik yang baik saja. Namun juga harus memiliki beberapa hal. Pertama, memiliki konstruksi estetik dan komposisi artistiknya kuat, sehingga enak dilihat dalam jangka waktu yang lama. Kedua, teknis membuatnya memenuhi unsur tingkat kesulitan yang tinggi. Ketiga, karya dibuat dengan konsep pemikiran yang menarik dan bermuatan sesuatu yang baru. Keempat, dari kejauhan sudah tampak karya itu adalah karyanya seniman itu, karena seniman bersangkutan telah memiliki ciri khas dan mendapat pengakuan dari passionet collector, pemain pasar senirupa dan kalangan akademik. Kelima, mengusung sosialitas, politik dan kemasyarakatan dalam negeri, unsur lokalitasnya kuat.
Mari kita telaah lebih lanjut uraian kalimat di atas. Apakah art theory if knowledge tersebut menjadi tolok ukur utama untuk membuat karya yang baik dan layak masuk dalam galeri pameran? Apakah fakta yang kita lihat seperti itu? Apakah seni bisa diatur dengan aturan-aturan pasti dan mengikat?
Nilai estetik pada karya seni rupa dapat bersifat objektif dan subjektif. Nilai estetis obyektif memandang keindahan karya seni rupa berada pada wujud karya seni itu sendiri artinya keindahan tampak kasat mata. Sesungguhnya keindahan sebuah karya seni rupa tersusun dari komposisi yang baik, perpaduan warna yang sesuai, penempatan objek yang membentuk kesatuan dan sebagainya. Keselarasan dalam menata unsur-unsur visual inilah yang mewujudkan karya seni rupa.
Berbeda halnya dengan nilai estetis yang bersifat subjektif, keindahan tidak hanya pada unsur-unsur fisik yang diserap oleh mata secara visual, tetapi ditentukan oleh selera penikmatnya atau orang yang melihatnya. Ketika melihat sebuah karya seni lukis atau seni patung abstrak, kita dapat menentukan nilai estetis dari pentaan unsur rupa pada karya tersebut. Contohnya pada lukisan "Untitled" (1968) karya Cy Twombly yang terlihat amburadul seperti coretan itu, laku terjual USD 70,5 juta pada sebuah lelang yang berlangsung di Balai Sotheby, New York, AS, 11 November 2015.
Paradigma setiap orang dalam menginterpretasi nilai estetik, tentunya berbeda-beda misalnya tergantung dari pengalaman. Pengalaman berkualitas estetis seperti perasaan mempesona, keindahan, rasa kesempurnaan, sublime, dan lain sebagainya. Noel Carroll (filsuf kontemporer seni dari Amerika) menganalisa bahwa, interpretasi adalah bentuk interaksi non-estetis pada suatu karya seni.
Interpretasi ini ada karena, seorang seniman pastilah memberikan makna terhadap karyanya secara langsung maupun tidak langsung dalam karya seni. Lantas, apabila makna itu ditaruh secara tidak langsung dalam permukaan karya seni, melainkan disembunyikan didalam suatu karya seni, maka hal itulah yang dicari secara aktif oleh para spectator. Itulah permainan interpretasi. Interpretasi ternyata juga mempunyai active discovery.
Saat ini banyak wadah untuk ruang pameran, baik itu art space seperti galeri seni dan museum, maupun ruang publik seperti taman perkotaan serta kafe-kafe yang menyediakan tempat untuk pameran. Hal tersebut merupakan peluang bagi perupa muda agar bisa unjuk gigi menunjukkan karyanya agar mendapat apresiasi dari publik.
Ruang-ruang yang tersedia bisa sebagai tempat untuk latihan pameran sampai kelak bisa menuju galeri pameran bergengsi. Para perupa muda secara personal maupun membentuk komunitas, bisa sama-sama belajar membuat kegiatan pameran. Sehingga perupa muda juga melek akan proses sebuah pameran, dan tidak melulu protes terhadap pameran yang didominasi oleh perupa senior.
Setiap zaman memiliki gaya, khas/ciri, artistik, dan gaya seninya tersendiri. Menurut Carroll, memilih gaya seni merupakan langkah awal untuk suatu penolakan terhadap gaya lain, yang akan menjadi dialektika juga nantinya. Seni di zaman modern memiliki standartnya tersendiri, kemudian dibantah oleh post-modern, tetapi kemudian dicoba untuk dibantah kembali. Semuanya dapat memiliki kebenarannya masing-masing, jadi kebenaran ialah plural.
Maka dari itu, perupa muda, jangan lagi takut untuk mengikuti ajang pameran seni. Berlaku pula untuk perupa muda semester awal, perupa muda setara Sekolah Menengah Atas ataupun non akademis yang belajar secara otodidak maupun di sanggar-sanggar seni. Tidak menjadi jaminan mutlak lamanya dalam berproses, serta menguasai semua teknik yang baik menjadi faktor penting layak atau tidaknya memulai berpameran. Toh, nyatanya masih banyak perupa yang meski telah lama berproses, namun tidak menguasai seluruh teknik dengan baik.
Justru dengan memulai berpameran menjadi proses kreatif seorang perupa untuk merintis dirinya agar menjadi perupa yang handal. Terima ajakan berpameran, ikut seleksi pameran, atau buat pameran sendiri. Tunjukkan bahwa perupa muda juga layak ikut pameran!