Mohon tunggu...
Sy Rosmien
Sy Rosmien Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis adalah obat jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Diari Santri #31: Miriam Coto

15 Mei 2015   08:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:02 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Jika air hujan yang mengguyur kau biarkan jatuh tidak kau tampung ke dalam tempayan, maka jangan bersedih hati jika kemarau panjang yang menjelang akan menertawakanmu dalam dahaga yang menyiksa.

Petiklah buah pada waktu panen tiba, jangan kau petik sebelum dia masak, karena tiadalah guna dan akan sia-sia, jangan pula kau tunggu sampai dia membusuk di atas pohon, karena codot akan mendahuluimu dan terbang berlalu bersama buahnya di malam yang kelam.

Mata Pak Ilyas nyaris meloncat dari kaca matanya yang tebal mirip kaca nako itu. Dengan frame kayu warna coklat muda, kaca mata itu selalu dan senantiasa menemaninya di depan papan tulis menuliskan rumus-rumus matematika yang mulai membuatku makin membenci pelajaran itu. Sewaktu di SD yang aku kenal mengenai matematika hanyalah tanda tambah, kurang, bagi, kali dan pecahan-pecahan. Tetapi memasuki kelas II SMP, rumus-rumusnya mulai merumit ditambah lagi guru nya yang killer dan tanpa memiliki sedikitpun sense of humor.

Dan hari ini Mustafa kawan sebangku denganku menjadi korban kebiadabannya, pak Ilyas berdiri di depan meja kami, merebut mug milik Mustafa dan melemparkannya ke luar jendela. Mug naas itu beradu dengan bebatuan dan menimbulkan suara centang perenang berguling-gulingan di luar kelas.

“Di saat Saya mengajar, tidak boleh ada properti semacam itu di atas meja!” Belum reda amarah pak Ilyas, mata di balik kaca mata tebalnya menangkap tulisan-tulisan bernada sastra, di atas buku coretan-coretan Mustafa, tulisan entah beraliran pujangga lama, pujangga baru, Shakespeare atau Kahlil Gibran, yang jelas pak Ilyas sangat merasa dilecehkan; Jam ini pelajaran Matematika milik Saya, bukan pelajaran Sastra! Begitulah kira-kira tulisan berjalan di balik otak pak Ilyas. Saya jadi cemas membayangkan nasib Mustafa kawan sebangkuku. Ia bakal menerima tuduhan pasal berlipat.

Betul saja, rambut keriting pak Ilyas seperti terkena aliran listrik ratusan mega watt. Wajah nya memerah seperti kepiting rebus, dan kaca matanya sekali lagi bergerak-gerak mengambil ancang-ancang untuk melakukan lompatan indah. Habis sudah Sutardji kecil, Mustafa kawanku. Gerangan apa hukuman yang bakal diterimanya dari pak Ilyas. Saya bahkan sudah menjamin nilai matematikanya di raport nanti tidak bakalan lebih dari angka lima.

Namun apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaanku. Setelah pak Ilyas membaca bait demi bait tulisan itu, rambutnya mengusut seperti semula, wajahnya merona mirip seorang pemuda lajang yang pinangannya diterima seorang anak perawan, secercah harapan tentang perubahan cuaca yang sangat cepat menggelayut di balik kantung mata pak Ilyas. Mendung dengan kilat yang menyambar-nyambar sesaat sebelumnya kini berubah menjadi cerah, lalu seberkas wajah yang seumur hidup kami di pondok tidak pernah melihat senyum barang sedetikpun dari bibir tebalnya kini tersungging sumringah. Magic! Sungguh luar biasa. Mustafa kawan sebangkuku baru saja menyihir gunung es itu.

Pak Ilyas seketika keluar dari kelas, sebentar kemudian dia kembali memasuki kelas dengan mug yang baru saja dilemparkannya. Mug yangnyaris kehilangan bentuk itu dielusnya penuh ketulusan, dibersihkan dari debu dan pasir yang mengotorinya lalu diletakkan kembali di atas meja tepat di hadapan Mustafa. Ruangan kelas nyaris tanpa suara. Drama beberapa menit menghipnotis kami. Mustafa dan pak Ilyaslah pemeran utamanya.

“Siapa yang menulis ini?” tanya pak Ilyas lembut kepada Mustafa. Kelembutan suaranya berbanding terbalik dengan amarahnya soal mug properti Mustafa.

“Saya ustaz!” Jawab Mustafa gugup.

“Kapan Kamu menulisnya?” tanya pak Ilyas dengan suara yang maha lembut.

“Tadi pagi Pak, sebelum pelajaran Matematika berlangsung.”

Cerdik benar Mustafa, walaupun tidak ada tanda bakal ada amarah dari nada tanya pak Ilyas, dia tetap berusaha menghindar dari tuduhan bersalah dengan mengatakan menulis tulisan itu sebelum pelajaran pak Ilyas dimulai. Padahal Aku melihatnya menulis sepanjang pak Ilyas menerangkan rumus Matematika di depan kelas.

“Benarkah demikian?” tanya pak Ilyas masih dengan nada lembut.

Bohong Pak!! Teriak aku dalam hati.

“BenarPak!” Sutardji kecil berbohong demi satu alasan; Ia adalah sastrawan yang menghargai guru Matematika. Dia tidak mau mengecewakan pak Ilyas yang sepertinya sudah terlanjur mengagumi tulisannya.

“Mmhh.. Sebenarnya saat ini, Kita tidak sedang belajar sastra. Tapi Saya sebagai guru pada pelajaran ini mau berfikir positif, bisa saja saudara Kalian Mustafa lupa memasukkan buku sastranya sebelum pelajaran Matematika dimulai. Tapi lain kali jangan ada yang melakukan kesalahan seperti ini.” Pak Ilyas menyerahkan kembali tulisan Mustafa dan melanjutkan pelajarannya yang sempat tertunda.

Lepas dari pelajaran pak Ilyas, kehebohan menyeruak ke pelosok pondok. ‘Mustafa berhasil membuat pak Ilyas tersenyum’. Itulah isu utamanya. Dan yang lebih menghebohkan lagi adalah, bagaimana pak Ilyas rela merendahkan hatinya keluar kelas mengambil kembali mug Mustafa yang telah dilemparkannya melalui jendela.

Ternyata, tulisan bisa menyihir. Tulisan Mustafa baru saja mencairkan gunung es. Tulisan Mustafa mampu membuat pak Ilyas guru matematika killer itu tersenyum, bahkan pak Ilyas berkata-kata dengan nada lembut dan tidak pernah mengeluarkan amarah sepanjang jam mengajarnya.

Diam-diam aku berusaha cari tahu asal muasal tulisan Mustafa. Meskipun aku adalah teman sebangkunya yang sering menertawakan tulisan-tulisannya yang saya pikir hanyalah picisan dan tidak memiliki nilai seni, ternyata memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Maka seharian itu aku mengikuti ke mana Mustafa pergi.

Di sore hari, Mustafa mengajak aku ke warung coto yang ada di belakang pondok. Kami berdua saja duduk di pojok warung. Warung coto itu diasuh oleh seorang istri pegawai negeri sipil yang sehari-hari bertugas di kantor pemda. Warung itu sangat ramai dikunjungi pelanggan bukan hanya karena racikan bumbunya yang khas dan orisinil, akan tetapi daya tarik lainnya adalah pelayanannya yang istimewa karena para pelanggan langsung dilayani oleh tiga orang puteri mereka yang cantik-cantik, segar, enerjik dan murah senyum. Yang menjadi perhatian aku dan Mustafa sore itu tentu saja yang paling bungsu dari ketiga puteri itu. Miriam centil yang baru masuk SMP.

“Temannya Alan ya?..” tanya si centil tiba-tiba.

Mataku dan Mustafa langsung bertemu, “What???”

Oh, rupanya Rambo penumpas Perak Laju, namanya pun sudah santer ke seanteo bumi. Aku tertegun membayangkan sahabatku yang baik itu.

“Ya, Kami berdua teman Rambo, eh Alan. Hanya saja, asrama kami beda.”

Si centil tersenyum riang, senyum itu sangatlah bermakna. “Kalau mau pulang nanti, Aku mau titip sesuatu ke Alan ya!”

“Iya, dengan senang hati.” Jawabku tangkas. Namun sebuah injakan mendarat manis di atas jempol kakiku. Aku nyaris berteriak, namun Mustafa terlanjur mengatupkan kedua bibirku dengan tangannya. Injakan kaki di jempol kiriku sebuah isyarat bahwa biar dirinya saja yang memegang kendali permainan ini. Dan aku diharapkan diam seperti obat nyamuk yang berputar menunggu ujungnya habis. Permainan apa pula yang akan dimainkan Mustafa, sanggupkah penyihir ini menaklukkan Miriam centil seperti ia baru pagi tadi mencairkan gunung es?

Miriam centil kaget. Mustafa tersenyum.

“Kenalkan, Mustafa!”, tangannya disodorkan ke arah Miriam yang masih dalam keadaan shock.

“Miriam!” si centil menyambutnya dengan hangat. Keduanya bersalaman.

“Kenalkan ini Ahmad, tapi tidak usah bersalaman. Dia tidak mau menyentuh selain muhrimnya.” Mustafa menepuk bahuku. Aku tersenyum ke arah Miriam sambil memberi hormat dengan kedua tangan di dada. Miriam melakukan hal yang sama dengan cara yang sangat terpuji. Ia menunduk dengan ujung jari menggantung di dagunya yang terbelah.

Sejak kapan aku tidak mau bersalaman dengan wanita yang bukan muhrim? Akal Mustafa memang sangat licik.

“Kalau boleh tahu, mau nitip apa pada Alan?”. Tanya Mustafa kepada Miriam.

Miriam tersenyum penuh arti, “Ada decchhh.. mau tau’ aja.” Si centil berlalu dan berlari ke belakang. Tidak lama kemudian gadis itu muncul kembali, “Eh lupa, kalian mau pesan apa?”

“Coto Dua!”. Seru Mustafa mantap. “Campur.” Lebih mantap. “Kuahnya yang banyak!”. Semakin mantap.

“Selama Kamu diam tak bersuara, Kita akan makan gratis hari ini.” Bisik Mustafa pelan ke telingaku. Kamu tidak bawa uang kan? Aku juga!” Aku mengangguk tercucuk oleh pujangga licik ini. Tadi sore selepas shalat Ashar, aku yang senantiasa mengikutiMustafa karena ingin menyelidiki sumber tulisannya yang menghebohkan itu, mengajakku makan coto, katanya dia akan mentraktir aku karena dia sedang berulang tahun. Tapi kenyataannya dia tidak membawa uang. Sungguh tidak dapat diandalkan.

Tidak lama kemudian, Miriam muncul dengan dua mangkuk coto yang mengepul. Baunya sedap menyengat hidung. Aku deg-degan. Was-was. Sementara Mustafa nampak tenang, santai tanpa beban. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.

Dua mangkuk coto beraroma rempah-rempah lada dan kacang tumbuk diletakkan Miriam gadis centil itu di atas meja kami. Hidangan yang sangat istimewa untuk sore ini. Sejenak aku melupakan kantong celana kami yang kosong, melupakan menu pondok yang membosankan, melupakan segala-galanya. Kami sangat fokus pada hidangan maha lezat ini. Tapi sejenak kemudian aku terhenyak, di saat aku siap-siap hendak menaburkan bawang goreng ke atas mangkuk coto, tiba-tiba Mustafa beranjak pergi dan menghilang entah kemana. Tinggallah aku sendiri terpekur di atas meja bingung hendak menikmati hidangan lezat ini atau pergi mencari kemana Mustafa hilang lenyap.

Mustafa pujangga licik nan misterius telah membawaku pada ayunan perasaan tak menentu. Sutardji cilik telah menjebakku di tempat ini. Aku bakal dipermalukannya di depan Miriam, di depan dua saudari-saudarinya, di depan para pelanggan warung makan ini pada sore ini. Pada waktu kawan-kawanku yang lainnya sedang asyik berolah raga, pada saat tim basket pondok ini melumat tim SMA 89 yang datang melawat di pondok. Aku tidak akan memaafkan kawan sebangkuku ini. Dia sangat mengecewakan aku. Setidaknya pada sore hari ini, di warung makan ini.

Nafsu makanku lenyap. Coto mulai dingin. Aku duduk gelisah. Tiba-tiba Mustafa datang dengan senyumnya yang memuakkan, “Maafkan Aku Kawan, inspirasi datang tak terbendung. Inspirasi yang akan membuat kita makan gratis. Ayo dimakan, tidak usah pusing-pusing. Selama Kamu diam, semuanya akan baik-baik saja.” Kata-katanya menyihirku. Dan aku tidak menyiakan-nyiakan hidangan lezat yang ada di depanku.

Mustafa meletakkan dua lembar kertas di ujung meja. Inspirasinya yang datang mendadak ada di dalam kertas itu. Skenario Mustafa berjalan mulus, Miriam datang dan rasa penasarannya tidak bisa membendung hasratnya meraih kertas di atas meja.

“Ini apa Mustafa?” tanya gadis centil itu.

“Untuk Kamu. Ambil dan bacalah!” Kata Mustafa seraya memasukkan ketupat ke dalam mulutnya.

“Sungguh? Ini untukku?” Tanpa menunggu jawaban, Miriam menghilang di balik gorden. Mustafa tersenyum sambil mengerling kepadaku. “Tambah semangkok lagi?”

“Oh tidak, Kamu saja.”

Rupanya skenario tidak berjalan mulus seperti yang kami kira, setengah jam berlalu, namun hidung Miriam tidak kunjung kelihatan. Sebahagian langganan sudah meninggalkan kursinya. Kasir warung sudah melihat ke arah kami berkali-kali seolah mengisyaratkan waktu pembayaran sudah saatnya dilaksanakan.

“Mus, gimana nih?” Aku menyodok pinggang Mustafa dengan lenganku. “Waktu mandi sore tiba.”

“Sabar, sebentar lagi Kawan.”

Maria kakak Miriam muncul. Dia tidak kalah cantik dengan adiknya hanya saja penampilannya sangat dewasa. Maria datang menghampiri kami, wajahnya yang cantik nan riang berubah judes diliputi amarah, “Kalian apakan adikku? Ha!!! Kalian apakan Miriam???”

Selanjutnya Merry si sulung berhambur dari balik gorden. Wajahnya merah membungkus paras cantiknya, “Apa-apaan Sih? Hei, Kalian apakan adik kami? Pergi.. Ayo keluar!! Pergi….. sana!”

Sepasang suami istri pemilik warung tidak tinggal diam. Mereka muncul dari balik gorden mengusir aku dan Mustafa.

Sebelum dikeroyok sekampung, aku memilih meloncat dari kursi lalu berlari sekencang-kencangnya. Mustafa juga demikian, anak itu tunggang langang meloncati setiap batu yang menghalangi langkahnya. Mustafa berhasil meraihku di tikungan jalan. “Ahmad tidak usah berlari, toh mereka tidak mengejar kita.”

Aku berhenti berlari. Nafasku ngos-ngosan, coto di perutku teraduk-aduk, sambalnya seperti naik ke kerongkongan. Makanan haram ini sepertinya mendesak mau keluar, namun Mustafa tersenyum puas. “Gratis kan?”

Tidak dapat aku mengerti apa yang telah diperbuat Mustafa terhadap Miriam, apa yang terjadi dengan gadis centil itu hingga seluruh sanak familinya begitu murka kepada kami. Sekali lagi aku mengagumi pujangga kecil ini, tukang sihir ini. Begitu mudahnya ia menyihir Miriam beserta seluruh keluarganya dengan tulisan yang aku sendiri belum tahu apa isinya.

“Sory Kawan, ini di luar dugaan. Tapi yang penting tujuan kita untuk makan gratis tercapai.” Mustafa mengusap-usap belekang leherku yang hendak muntah.

“Sebenarnya Kamu apakan si centilMiriam? Kenapa keluarganya memarahi Kita?” Tanyaku pada Mustafa, dan aku hendak memuntahkan seluruh isi perutku. Aku kesal pada makhluk ini.

“Itu dia yang Aku tidak mengerti. Aku juga bingung.” Sahut Mustafa.

“Apa sih isi kertas yang Kamu berikan padanya?”

“Itu dia, aku juga lupa. Soalnya inspirasinya datang mendadak.”

Karena kesal, aku berlari meninggalkan Mustafa untuk sejenak bergabung dengan tim basket pondok merayakan euforia kemanangan atas tim SMA 89. Sungguh menyenangkan menyaksikan perayaan keberhasilan mereka. Tim basket yang dihuni jago adzan, jago pidato, jago Matematika, anggota hafidz dan beberapa orang anggota Sangar Bhakti. Mereka idola, merekalah juara sesunggunya. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Di dalam jiwa yang sehat terdapat pikiran yang sehat. Di dalam pikiran yang sehat, terdapat prilaku terpuji. Membanggakan menjadi bagian dari pondok ini. Dan satu hal yang mengganggu pikiranku: tubuh yang sehat jika didapatkan dari makanan yang haram adakah pada ujungnya melahirkan prilaku terpuji?

Aku teringat coto yang ada di dalam perutku. Aku teringat Mustafa, dan bayangan amarah keluarga Miriam terus menari-nari. Aku harus secepatnya pulang mandi, shalat Maghrib, dan selepas shalat aku akan berdoa memohon ampunan Allah. Aku akan memohon diampuni dari dosa makanan haram sore ini, aku juga akan berdoa supaya Mustafa tidak menyalah gunakan bakatnya. Dan segera setelah mendapat kiriman uang di awal bulan aku akan membayar makanan dua mangkok coto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun