Mohon tunggu...
Sy Rosmien
Sy Rosmien Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis adalah obat jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Diari Santri #25: Nasruddin Bukan Maling

12 April 2015   08:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:14 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naik kelas II berjuta rasanya. Tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Mengenang satu tahun jatuh bangun, resah, gundah dan gulana, tegang dan bahagia, Tidur malam, bangun subuh dan belajar bahasa di mesjid adalah rangkaian intro nada yang membangun harmonisasi lagu kehidupan yang coba aku nyanyikan. Meski baru intro, namun semangat untuk melanjutkan lagu itu tidak surut sampai di situ.

Namun begitu, naik kelas II belum seberapa jika membayangkan masih harus makan 5 karung mairo (ikan teri yang dikeringkan menyerupai paku berkarat) lagi untuk bisa lepas dari penjara suci ini. Kalau berfikir ke depan bisa-bisa aku frustasi dan berkemas-kemas pulang kampung, berfikir ke belakang adalah jalan terbaik, karena mengenang apa yang telah aku lalui selama setahun, riak-riak bangga dan kagum pada diri sendiri hingga bisa bertahan sejauh ini di pondok ini menampar-nampar relung-relung jiwaku terdalam.

Tiba saatnya bagiku meninggalkan asrama Ibnu Khaldun II, asrama yang terlalu banyak meninggalkan kenangan manis. Asrama yang kutuju berikutnya adalah asrama Diponegoro I. Mendapati pembina baru yang kualitasnya jauh lebih rendah dari pembina-pembinaku sebelumnya. Perpisahan dengan kak Muhtar dan kak Usman yang baru saja di wisudah adalah hal sedih yang pernah aku alami, dan yang lebih menyedihkan lagi ketika kak Jenal Amin harus membina santri-santri yang baru masuk.

Asrama Diponegoro berdekatan dengan sumur qibar, sumur yang menyimpan banyak misteri. Di depan asrama tersebut berdiri kokoh laboratorium Fisika dan Biologi. Jika melewati beranda depan laboratorium tersebut bisa dilihat tembus pandang melalui kaca jendela kerangka tengkorak tubuh manusia yang dipakai sebagai alat peraga praktikum Biologi. Namun lama kelamaan pemandangan tersebut sedikit mengganggu, apalagi jika melewati laboratorium tersebut pada malam hari. Konon ada yang pernah membual kalau pada malam Jumat kerangka tangannya bisa bergerak-gerak sendiri dan tengkorak kepalanya menggeleng-geleng konon pula seperti gelengan pengunjung diskotik di bawah remang lampu nyala mati.

Aku merasa sangat kehilangan suasana asrama Ibnu Khaldun, pemandangan danau di belakang asrama yang memukau di sore hari, dan pemandangan yang membangkitkan semangat hidup di pagi hari. Akupun merasa sangat kehilangan lagu kebangsaan milik Franky and Jane yang sering diputar kak Usman di pagi hari. Suasana-suasana yang syahdu itu kini menguap begitu saja berganti dengan asramaku yang baru yang berselimut misteri. Kawan-kawan seperjuangan di asrama Ibnu Khaldun dulu kini berpencar, kami dipisah dan menemukan kawan-kawan asrama yang baru.

Tak habis fikir mengapa aku ditempatkan di asrama ini. Penderitaanku serasa makin lengkap ketika menemukan pembina asrama yang aneh dan cuek. 3 orang pembina yang di tempatkan di setiap sudut asrama asyik dengan dirinya sendiri. Zulham kakak kelas V yang ditempatkan di sudut depan kanan adalah seorang penikmat seni. Dia begitu mencintai group musik pop barat yang sebahagian aku ingat bernama alphavile dan duran-duran. Laci lemarinya bagian bawah dipenuhi kaset-kaset yang aku sendiri tidak bisa menghitung berapa jumlahnya. Terkadang saking asyiknya dia menikmati musik kesayangannya sampai ia lupa kewajibannya sebagai pembina asrama yang harus mengajarkan kami berdisiplin dan berbahasa. Kami sebagai santri binaannya sampai tidak bisa mengerti apa yang harus kami perbuat, ketika kami bertanya, “Bahasa apa yang harus kami pelajari malam ini?” Dia cuek saja menyodorkan kami sampul kaset barat lalu menyuruh salah seorang di antara kami menulis lirik-lirik lagu yang ada di sampul kaset itu di papan tulis. Lalu kami disuruh menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Pembina yang ada di sudut kanan belakang bernama Ramali, berkaca mata tebal, sensitif dan juga kurang peduli terhadap pembinaan. Ia fans berat Mike Tyson si leher beton meski dirinya sendiri bertubuh kurus dan beratnya tidak lebih dari 47 kg. Artikel-artikel dan berita mengenai petinju pujaannya itu dikumpulkan lalu dirangkumnya menjadi sebuah klipping tebal jauh lebih tebal dari kacamatanya.

Satu-satunya pembina yang memiliki sedikit kepedulian soal pembinaan adalah Nasruddin kakak kelas VI. Namun kak Nas, kami biasa memanggilnya begitu, adalah seorang santri yang di usianya masih 17 tahun sudah menghafal Al Qur’an 30 juz. Menjadi seorang santri kelas VI, hafidz Al Qur’an sekaligus memiliki anak binaan sebanyak 16 orang membuatnya sulit mengatur waktu kapan harus belajar, mengulang hafalan Al Qur’an dan membina santri binaannya. Tapi saya melihatnya sebagai seorang pembina yang berdisiplin tinggi. Dia memiliki semacam daily schedule yang dia tulis besar-besar di papan tulis kamarnya. Dan dia tunduk dengan schedule yang dibuatnya sendiri.

Meski sedikit bicara, kami melihat kak Nas sebagai pembina yang mengutamakan model. Dia membina kami dengan caranya sendiri, kak Nas lebih banyak memberikan contoh daripada nasehat. Dia menulis besar-besar di dinding kamarnya tulisan yang berbunyi: Banyak belajar banyak lupa, sedikit belajar sedikit lupa, tidak belajar tidak lupa. Waktu itu aku belum mengerti makna tulisan itu, namun lama kelamaan aku mengerti bahwa manusia adalah mahallul khata’ wannisyaan. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Dalam bahasa arab kata manusia diambil dari kata Insan, dan insan berasal dari kata ‘Nasiya’ yang artinya lupa. Menjadi insan karena sifatnya yang pelupa. Tidak mungkin manusia bisa mengingat semua hal yang dipelajarinya, namun begitu, jika tidak belajar tidak ada yang dia lupakan, artinya tidak ada juga yang pernah dia ingat.

Pernah aku merenung dalam-dalam, sejernih apa fikiran dan hati kak Nas hingga bisa menampung 6666 ayat Al-Qur’an yang tersusun dan terstrukur rapi di dalamotaknya itu. Pastilah seumur hidupnya pandangannya terjaga, lisannya terkontrol dan hatinya sejernih tetes embun. Sebab jika tidak demikian, mana mungkin cahaya Tuhan bisa masuk ke dalam dirinya. Wa nurullahi la yuhda’ lil aadzi. Dan cahaya Allah tidak akan masuk ke dalam hati orang yang berbuat maksiat. Kak Nas adalah Kitab berjalan, firman-firman Allah bersemayam di dalam hatinya sekaligus menancap di dalam otaknya. Baru aku tahu jika menjadi seorang penghafal Al Qur’an juga harus memiliki semacam pengakuan berupa sertifikat dari departemen agama. Untuk mendapatkan sertifikat itu tidaklah mudah, Kak Nas harus menjalani beberapa tes yang dilakukan oleh tim dari depag. Kak Nas didudukkan di tengah mesjid, tim depag melingkar setengah lingkaran di depannya. Seorang dari tim membacakan sebuah ayat yang dipilih secara acak dari kitab suci Al Qur’an kemudian Kak Nas disuruh melanjutkan membaca sambungan ayatnya. Dan Kak Nas bisa melanjutkannya dengan lancar. Seorang tim lagi memerintahkan untuk membacakan ayat sesuai dengan nama surah dan nomor urut ayat, dan sekali lagi Kak Nas melahapnya. Hadirin berulang-ulang mengumandangkan kata-kata tayyib jiddan-tayyib jiddan. Tim penguji mengangguk-angguk. Pak Hasnawi sebagai pembimbing Kak Nas tak henti-henti berdoa dari dalam hati, usahanya selama ini menjadi pembimbing Kak Nas semoga saja tidak sia-sia dan Kak Nas bisa menjadi santri binaannya yang pertama kali khatam menghafal 30 juz.

Tim penguji tidak mau gegabah dalam memberikan sertifikat, karena pertanggung jawabannya langsung kepada Allah. Tesnya dilakukan berkali-kali, ujiannya dilakukan berulang-ulang. Setiap dilakukan pengujian, para santri, guru-guru berdesakan hendak menyaksikan langsung. Dada mereka berdebar-debar setiap Kak Nas terhenti sejenak, tertunduk khusyuk ketika hendak melanjutkan sambungan ayat yang dilontarkan tim penguji. Lalu Kak Nas seperti mendapat tuntunan malaikat dia sanggup melanjutkan sambungan ayat tersebut dengan lancar dan sempurna. Hadirin mengucapkan subhanallah berulang-ulang, dan hari itu tanpa keraguan sama sekali, tim penguji menyatakan bahwa Kak Nas layak mendapatkan sertifikat itu.

Kak Nas telah membayar tuntas missi pondok ini, melahirkan santri ulama intelek, intelek ulama. Siapapun tahu jika selain sanggup menghafal Al Qur’an, di dalam kelas formal Kak Nas juga selalu tampil sebagai rangking 1. Meskipun dia memilih kelas sosial (A3) namun cita-citanya adalah menjadi seorang ekonom. Bukan hanya seorang ahli ibadah yang setiap malam berada di mesjid, berkalung sorban, sujud hingga dahinya hitam lebam. Tetapi lebih dari itu, dia akan berbaur di tengah masyarakat mendedikasikan ilmunya dan menyebarkan keutamaan agama.

Aku merasa bangga menjadi salah seorang santri binaannya, aku kemudian tidak peduli dengan kak Zulham dan kak Ramali yang cuek, sebab satu Kak Nas adalah seratus pembina yang memiliki cara membina yang baik.

Diam-diam di sela berbagai macam kesibukannya, Kak Nas juga memiliki sedikit sense of humor. Di suatu malam Jumat ketika sebahagian kawanku pulang ke kota menikmati libur mingguan, Kak Nas mengumpulkan kami di tengah ruangan asrama. Wajahnya yang kusut masai seolah menggambarkan keresahan. Namun dia tetap berdiri di tempatnya memandangi kami yang sedang menunggu reaksi darinya.

Kami bertanya-tanya dalam hati, apa maksud Kak Nas mengumpulkan kami pada malam Jumat? Bukankah malam Jumat adalah malam bebas dari segala kegiatan pondok? Tidak boleh ada pelajaran bahasa, tidak wejangan akhlak, tidak PR. Ada apa gerangan? Kami menunggu dan terus menunggu apa yang bakal disampaikannya.

“Begini adek-adek. Kak Nas sengaja mengumpulkan kalian hanya ingin sedikit curhat masalah pribadi. Sebenarnya ini tidak terlalu penting, kalau ada di antara kalian yang memiliki keperluan yang lebih penting, boleh-boleh saja tidak duduk dalam ruangan ini.”

Curhat? Soal asmara? Keluraga? Ah, Kak Nas juga rupanya memiliki masalah pribadi. Kami penasaran juga hendak mendengar masalah apa yang dihadapi orang macam Kak Nas seorang tahfidz itu. Sekarang justru kami makin merapatkan duduk mendekati tempat Kak Nas berdiri. Kami ingin tahu lebih jauh, kira-kira masalah apa yang dihadapi seorang hafidz nan jenius ini.

“Begini adek-adek, Minggu lalu ketika kakak ke Kota, Kakak bermaksud membeli sarung. Lalu kakak menemukan sebuah toko di pinggir jalan yang menjual berbagai macam busana perlengkapan sehari-hari. Toko itu cukup besar dan ramai dikunjungi pembeli. Penjaga tokonya banyak sekali, ada yang laki-laki dan ada pula yang perempuan. Ada yang tua banyak pula yang muda. Semua karyawan toko sibuk mengurusi pembeli. kakak masuk ke toko itu lalu berkeliling mencari-cari tempat pemajangan sarung. Saking ramainya pembeli kakak tidak bisa menyusup ke sela-sela kerumunan manusia yang berjejalan di dalam toko. Lalu tiba-tiba seorang ibu menghampiriku lalu meminta tolong kepadaku untuk memegang belanjaannya. Karena ibu itu bermaksud membeli beberapa barang lagi biar tidak kerepotan jika dia harus membawa keranjang belanjaannya di dalam kerumunan toko. Singkat kata, kakak tidak sanggup menolak permintaan tolong ibu tersebut. Tapi salahnya, kakak tidak memperhatikan dengan jelas ciri-ciri ibu tersebut. Yang aku ingat, Ibu itu bertubuh gemuk, berkerudung, dan berkaca mata. Dan ciri-ciri ibu tersebut sangat umum di dalam toko tersebut.” Kak Nas semakin menampakkan wajah resah, seolah inti cerita ujung-ujungnya adalah cerita sedih diakibatkan kesalahannya dalam mengingat ciri-ciri sang peminta tolong.

Cerita mulai menarik. Kami serius menyimak, kini kami mulai sadar bahwa seorang hafidz macam Kak Nas pun tidak bisa mengingat dengan baik wajah-wajah orang yang selintas dikenalnya.

Waktu itu kira-kira pukul 4 sore. Namun hingga menjelang pukul 5 sore, Ibu yang meminta tolong tidak kunjung datang mengambil belanjaan titipannya. Satu jam kakak sabar menunggu di tempat itu hingga kakak sendiri lupa niat semula yang hendak membeli sarung. Kakak terus memperhatikan wajah ibu-ibu yang lalu lalang. Kakak berusaha mengingat-ingat ciri-ciri Ibu tersebut. Namun sia-sia, ciri-ciri yang kakak ingat sungguh umum. Kakak lupa memperhatikan ciri-ciri khusus misalnya apakah ibu itu punya tahi lalat di dagu, di dahi, di bibir atau di tempat lainnya yang mudah dikenali. Akhirnya kakak memutuskan untuk berkeliling toko mencarinya namun usaha kakak tetap saja sia-sia. Hampir pukul 6 sore, kakak harus segera pulang karena waktu shalat Maghrib sudah hampir tiba.”

Cerita semakin menarik. Santri yang berada di dalam suatu dilema, menolong orang tua menjaga belanjaan atau memenuhi panggilan shalat.

“Karena toko sudah mulai sepi dan suara shalawat dari mesjid sudah terdengar, maka kakak akhirnya memilih keluar dari toko tersebut untuk menuju ke mesjid dengan keranjang belanjaan di tangan. Namun apa yang terjadi? Ketika kakak keluar melewati pintu toko, tiba-tiba alarm toko berbunyi dengan nyaring, dengan wajah garang tiga orang petugas keamanan toko yang berpakaian biasa menghadang langkahku. Dua orang memegang lenganku dan satu orang merebut keranjang belanjaan dari tanganku. Kakak kaget diperlakukan begitu rupa. Kakak diperlakukan seperti seorang maling dan digiring ke dalam kantor yang berada di ruang dalam toko tersebut. Seluruh mata yang ada di sekitar tempat itu terpana menyaksikan kejadian tersebut. Beberapa orang malah langsung reflek mendekatiku dan hendak melayangkan tinju ke wajahku. Kalau saja ke tiga petugas keamanan itu tidak menghalangi, kakak yakin bakal babak belur dihakimi massa.” Sejenak Kak Nas mendesah, menarik nafas lalu menghembuskan nafas sekeras-kerasnya seraya mengusap sekujur tubuhnya yang masih utuh hingga saat ini.

Kami merasa prihatin. Perasaan iba tiba-tiba mendera kami. Kami memandangi wajah Kak Nas dalam-dalam pertanda memberi simpati dan dukungan yang mendalam atas peristiwa tragis yang dialaminya. Kalau saja petugas kemanan itu tahu, kalau tas belanjaan itu titipan orang, kalau saja petugas keamanan itu tahu kalau Kak Nas hanya bermaksud keluar sebentar untuk melakukan shalat Maghrib, kalau saja petugas keamanan itu tahu kalau Kak Nas hanyalah seorang santri dan penghafal Al Qur’an pula.

“Tapi ketiga petugas itu tidak mau percaya atas alasan yang kakak ucapkan. Mereka tidak mau tahu soal ibu-ibu itu, tidak mau tahu bahwa kakak hanya bermaksud keluar sebentar untuk shalat Maghrib. Bagi ketiga petugas itu adalah adanya barang bukti kejahatan. Kakak lalu diminta oleh ketiga petugas itu untuk membeli barang tersebut dua kali harga resmi. Kakak meraba dompet, kakak tidak pernah lupa bahwa isi dompet kakak hanya cukup untuk membeli sarung dan ongkos pulang ke pondok. Kakak tidak pernah membawa uang banyak, apalagi jika disuruh membeli barang-barang yang tidak kakak perlukan. Uang itu tidak ada. Jadi kakak menolak membeli barang sekeranjang itu dua kali lipat”

“Salah seorang membentak dan memaksa kakak mengakui bahwa kakak sudah sering melakukan pekerjaan mengutil ini. Berhubung karena memang kakak belum pernah melakukannya, jadi Kakak bersikeras tidak mau mengakuinya. Akhirnya mereka memutuskan untuk menyerahkan kakak ke kantor polisi.”

Kami menarik nafas. Seorang hafidz berurusan dengan polisi? Malang benar nasibmu hari itu Kak. Sebahagian di antara kami yang mendengarkan, lalumengutuk ibu-ibu pelupa yang menitipkan belanjaannya. Sebab gara-gara dia nasib Kak Nas jadi naas betul. Simpati kian mendalam, dan wajah Kak Nas semakin menampakkan kegundahan.

“Selanjutnya kakak digiring ke kantor polisi terdekat. Tiga orang anggota kepolisian yang berjaga malam itu lantas berdiri tegak, memberi hormat dan berteriak, Oe… bangun oe…… sahalat subuh… Oe…. Ternyata kak Nas Cuma mimpi adek-adek.”

Wajah sedu sedan itu kini tersenyum riang. Ia merasa telah mengerjai kami. Gigi-gigi putihnya menyeruak. Merasa dikerjai Kak Nas, kami bukannya marah, kami malah senang, bagai terbangun dari mimpi buruk, kami berdesah senang, syukurlah hanya sebuah mimpi. Sebab kalau tidak, hancurlah reputasi seorang hafidz.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun