Mohon tunggu...
Sy Rosmien
Sy Rosmien Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis adalah obat jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Diari Santri: #4 Mahkamah Bahasa

9 September 2014   00:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:16 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

17 Oktober 1986

Kegiatan pondok dari pukul empat subuh ke pukul empat subuh berputar cepat seperti gasing. Beberapa santri baru yang tidak tahan dengan metode belajar seperti itu, mulai terdegradasi. Satu bulan pertama, lima orang santri kawanku mengundurkan diri. Homesick adalah penyakit dan virus membahayakan yang melanda ke lima santri tersebut. Masuk ke bulan ke dua, grafik yang mengundurkan diri semakin naik. Kali ini tujuh orang santri yang mengundurkan diri. Penyebabnya kali ini bermacam-macam. Dua orang santri mengundurkan diri masih karena homesick, dua orang lagi karena tidak tahan menjalani hukuman yang diterapkan oleh qismul amni, dan tiga orang dijemput oleh orang tuanya. Yang tiga orang ini justru orang tuanyalah yang tidak tahan berpisah dengan anaknya.

Kebahagiaan tinggal di asrama Ibnu Khaldun II mulai terasa. Kakak pembina kami jumlahnya empat orang. Kak Umar dan kak Usman dari kelas VI, Kak Yadi dan kak Jenal dari kelas V. Ke empat kakak pembina ini semuanya brilyan, penyayang, dan pandai menegakkan disiplin di dalam asrama. Secara bergantian ke empatnya mengajari kami bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Mengajari kami bagaimana mencuci pakaian yang bersih, bagaimana menjemur pakaian supaya tidak mudah terjatuh karena ditiup angin, mengajari kami bagaimana menggunakan sarung shalat dengan benar, mengajari bagaimana merapikan tempat tidur, merapikan pakaian di dalam lemari, dan banyak lagi hal-hal kecil yang remeh temeh tak luput dari pengajaran mereka, intinya mereka menjadi pengganti orang tua kami. Dan asrama Ibnu Khaldun II adalah rumah kami saat ini.

Tidak terasa sudah tiga bulan aku menjadi santri. Peraturan untuk menggunakan hanya dua bahasa yaitu bahasa Arab dan bahasa Inggris mulai diberlakukan untuk kelas I.

Santri hanya boleh menggunakan bahasa Indonesia jika disertai kata-kata sebelumnya; ‘Maza naquwlu billugatil Arabiyyah :Mandi’ atau ‘What do we say in English: Mencuci.’ Selain dari pada itu santri sebaiknya diam. Olehnya itu, ungkapan silent is golden di tempat ini ada benarnya juga.

Mata-mata atau Al-juzus bahasa berkeliaran dimana-mana. Mereka tidak diketahui siapa orangnya. Bisa dari santri Kelas I, II, III, IV, V, atau VI, bisa dari guru pembina, bisa dari tukang masak di dapur. Yang jelas jika santri berbahasa Indonesia apalagi berbahasa daerah, namanya akan tercatat dengan jelas. Lengkap dengan lawan bicaranya, lengkap dengan hari, jam dan menitnya, lengkap dengan kata apa yang diucapkannya. Dan namanya akan diumumkan oleh seksi penerangan setiap selepas shalat Isya di mesjid. Dan ritual itulah yang selalu mendebarkan jantung setiap santri, termasuk saya.

Aqum amamakum liuqaddima lakum al-I’laen. Al-I’lanul awwal min qismil amni wal I’lanuts tsani min Mahkamatil lugah:” Seorang anggota dari seksi penerangan berdiri di hadapan para santri sehabis shalat Isya untuk membacakan daftar nama-nama santri yang namanya tercatat dalam daftrar qismul amni dan mahkamah bahasa.

Dan seperti berada di dalam bioskop dengan musik pembuka film yang diiringi tabuhan drum, para penonton mulai terdiam. Sama dengan situasi di dalam mesjid malam ini. Seluruh santri terdiam menunggu namanya tidak diumumkan. Tidak seorang santri pun yang merasa bebas dari pelanggaran kalau urusannya sudah soal bahasa. Kadang seorang santri yang menjalani puasa bicara selama sehari, tapi tiba-tiba namanya ada dalam daftar pelanggaran bahasa. Kalau mencoba mengelak, anggota mahkamah bahasa selalu saja punya bukti. Misalnya,

“Hari Rabu Jam 2:30 siang, kamu mengucapkan kata, Jangan ganggu Aku!”.

“Tapi jam 2:30 siang kan saya sedang tidur Kak!” Alibi…

“Ya, Kamu memang sedang tidur, tapi kamu mengigau dalam bahasa Indonesia. Ingat ya! Mengigau pun harus menggunakan bahasa yang sudah ditentukan.”

Kalau sudah begitu, santri pun tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa pasrah menerima hukuman yang diberikan.

Soal hukuman pelanggaran bahasa, tidak ada hukuman yang jelas, tidak seperti pelanggaran-pelanggaran disiplin yang berhubungan dengan qismul amni. Hukumannya tergantung anggota mahkamah bahasa yang sedang mengadili malam itu. Kalau lagi apes, seorang pelanggar bahasa bisa saja menjalani hukuman seperti para pelanggar disiplin, santri biasa menyebutnya dengan istilah Tokka’. Tokka adalah istilah hukuman dengan cara mencukur rambut santri yang melanggar secara tidak beraturan. Bagian atas dipotong, sedangkan bagian samping dan bagian belakang dibiarkan. Atau kadang bagian samping yang dipotong, sementara bagian lainnya yang dibiarkan. Jadi kalau ada santri yang kemana-kemana pakai peci, bisa ditebak kalau rambut bagian atas kepalanya sudah tidak beraturan seperti habis dimangsa tikus.

Dan malam ini, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Saya sudah merasa plong karena setelah seksi penerangan itu mengucapkan assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh untuk menutup pengumumannya, nama saya tidak ada dalam daftar pelanggar bahasa. Dan untuk malam ini saya bisa bernafas dengan lega. Tetapi setelah keluar dari mesjid dan berjalan beriringan dengan santri lainnya kembali ke asrama, tiba-tiba mikrofon pengumuman mesjid mendengung. Seperti biasa, santri santri yang sudah berjalan pulang berhenti dengan tiba-tiba. Suara suara yang sebelumnya riuh mendadak senyap menunggu apa yang hendak disuarakan mikrofon itu. Mereka seperti dipotret, yang melangkahkan kaki kanannya masih terangkat. Yang mulutnya menganga masih mempertunjukkan giginya. Dan yang sedang meludah, ludahnya masih tertahan di udara. Dan berteriaklah mikrofon itu. Mengaung-ngaung seperti sirene:

“Tambahan dari Mahkamah bahasa: Ahmad kelas I, Andi kelas I, Rudi Kelas I, Bahtiar Kelas II…..” Dan nama-nama yang disebutkan termasuk saya sudah pasti berjalan pulang ke asrama dengan lemas. Bayangan hukuman terus melayang-layang di depan mata. WC mana yang akan kubersihkan besok pagi.

Jam 21:00, wajah-wajah tegang berbaris di luar kantor mahkamah bahasa, menunggupanggilan untuk menghadapi tuntutan. Para anggota mahkamah bahasa sudah berada di dalam ruangan. Malam itu, jumlah pelanggar bahasa sebanyak 50 orang. 10 orang santri kelas I, 40 orang lainnya santri dari kelas II dan III. Santri yang sudah menjadi langganan mahkamah bahasa, biasanya sudah tidak terlalu tegang. Karena resiko dari pelanggarannya, paling-paling hanya disuruh kenkreng 100 kali,atau menyita 10 menit waktunya di pagi hari untuk membersihkan WC. Tapi bagi pelanggar perdana seperti Aku, malam ini begitu menegangkan sekaligus mengerikan. Hukuman apa yang bakal ditimpakan kepadaku? Sementara dari dalam ruangan suara-suara bentakan riuh terdengar. Ya Allah, kenapa soal bahasa saja, jadinya bisa seperti ini?

Dan namaku pun dipanggil. 9 orang santri kelas I lainnya juga dipersilahkan memasuki ruangan mahkamah bahasa. Ya ampun tidak ada senyum sama sekali yang ada di ruangan ini. Anggota mahkamah bahasa yang rata-rata dari kelas V berdiri berjajar dengan wajah-wajah sangar. Di antaranya ada yang memegang sajadah, memegang kayu, memegang mistar, memegang raket tennis, memegang gunting dan ada juga yang memegang kamus. Kemudian Kami diabsen satu-satu. Semuanya hadir.

Pengadilan dimulai. Tidak ada penasehat hukum, tidak ada pembela dan tidak ada kursi terdakwa. Ruangan itu kosong seperti aula. Hanya ada sebuah meja yang digunakan untuk mencatat nama-nama pelanggar beserta lokasi WC dimana harus dibersihkan.

Seorang anggota mahkamah bahasa mulai membacakan pelanggaran kami, “Ahmad, kamu mengucapkan kata ‘Ambil semua saja’ di kantin pada hari Senin jam 17:13. Kamu tahu kata apa yang harus kamu ucapkan?

“Take it all, Kak.”

“Good. Get out from here!”

“Pardon?”

“Go back to your room!”

“Thank you, Older Brother.”

Saya menghampiri meja pendataan. Untuk menanyakan WC mana yang harus aku bersihkan. Namun petugas itu menunjuk keluar. “Langsung keluar saja.”

Di luar ruangan mahkamah bahasa, telah menunggu Jenal Amin dengan muka berseri-seri. “Kamu tidak diapa-apakan bukan?”

“Kak Jenal bilang apa kepada mereka? Kenapa Saya tidak diberi hukuman sedikit pun?”

“Tidak ada. Bukankah rasa tegang sudah cukup sebagai hukuman?”

“Tapi kak, ini kan tidak adil, masa yang lainnya diberi hukuman sementara Aku bebas?”

“Kamu bebas karena Kamu bisa menjawab pertanyaan dengan benar. So what? Atau bisa saja karena malam ini kamu pertama kali melanggar, jadi hukumannya hanya Tanya jawab saja.”

Akhirnya saya merasa bangga. Karena kemampuanku menerjemahkan ‘Ambil semua saja’ ke dalam bahasa Inggris dengan benar telah membebaskanku dari hukuman malam ini.

Malam berikutnya, kembali menjadi malam-malam panjang bagiku. Namaku kembali beradadi list nomor 1 untuk pelanggaran bahasa. Ya Allah, mata-mata ada dimana-mana, kali ini kata apa yang telah saya ucapkan? Bukankah sepanjang hari saya telah mengirit-irit kata. Saya hanya bicara sedikit-sedikit. Misalnya; Ok, Yes, No, Look at that, thank you, I want to take a bath, when, where. Siapa sih mata-matanya? Saya kembali mengingat-ingat kata bahasa Indonesia yang telah saya ucapkan. Dan siapa-siapa orang yang berada di sekeliling saya ketika mengucapkan kata itu. Pastilah salah satu di antara mereka adalah mata-matanya.

Ketegangan menghadapi pengadilan bahasa malam ini sudah mulai berkurang. Paling tidak saya sudah mengetahui suasana di dalamnya, Dan saya juga sudah tahu, hukumannya pasti hanya tanya jawab. Mereka bertanya, dan saya menjawab. Mudah sekali bukan?

Dan nama saya pun dipanggil. Kali ini jumlah pelanggar dari kelas I hanya 7 orang. Seperti biasa, nama-nama kami diabsen. “Ahmad, maju ke depan!”

Deg!, suara itu menggetarkan hatiku. Tuhan, mengapa hidup di sini membuat kami selalu diliputi ketegangan. 5 bulan lagi mungkin jantungku sudah copot Apakah hukuman malam ini akan berbeda dengan malam sebelumnya? Tidak ada yang tahu.

“Mengucapkan kata ‘baju tidur’ pada hari Selasa jam 22:15. Apakah kamu mengakui ucapanmu?”

“Saya tidak ingat kak. Tapi bisa saja Saya mengucapkannya.”

“Saya ulangi, mengucapkan kata ‘baju tidur’ pada hari Selasa jam 22:15. Apakah kamu mengakui ucapanmu?”

“Tidak Kak, setahu saya, saya mengucapkan kata ‘Mau tidur’.”

Dalam hati sebenarnya saya mengakui telah mengatakan baju tidur, ketika Muri tetangga ranjang saya menanyakan apa isi bungkusan plastik di bawah bantal saya tadi malam. Tapi saya yakin tidak tahu apa terjemahan baju tidur ke dalam bahasa Inggris. Baju: shirt, tidur: sleep kalau digabung secara MD sleep shirt, kedengarannya rancu. Tidak mungkin. Baju tidur tidak mungkin bahasa Inggrisnya sleep shirt. Lagipula baju tidurbelum pernah diajarkan. Tapi kata ‘Mau tidur’ saya sudah hafal mati. ‘I want to sleep

Tapi, petugas mahkamah bahasa itu yakin dengan kata-kata yang saya langgar dengan pasti, “Saya ulangi sekali lagi, mengucapkan kata ‘baju tidur’ pada hari Selasa jam 22:15. Apakah kamu mengakui ucapanmu?”

Apa boleh buat, kali ini saya harus mengakui, “Iya Kak, Saya mengakui.”

“Kamu tahu, kata apa yang seharusnya Kamu ucapkan?”

“Tidak kak, kosa kata itu belum pernah diajarkan.”

Tiba-tiba petugas mahkamah bahasa itu melirik keluar.Di luar pintu, nampak Jenal Amin sedang mondar mandir.

“Yah sudah, kalau memang belum pernah diajarkan, berarti itu bukan kesalahan kamu. Lain kali ucapkan dulu,’what do we say in English: baju tidur. Silahkan keluar!”

Sebelum keluar kembali saya menghampiri meja pendataan. Tetapi petugas tersebut mempersilahkan aku langsung keluar.

Dalam perjalanan menuju asrama, kembali saya bertanya pada kak Jenal. “Kak, kok malam ini Saya kembali bebas dari hukuman? Bukankah Saya tidak mampu menjawab pertanyaan ‘baju tidur’ ke dalam bahasa Inggris?”

Jenal tersenyum. Kemudian dia menjawab, “Seseorang yang belum mengetahui hukum akan sesuatu, terbebas dari hukum dan kewajibannya. Mau lihat contohnya? Anak kecil yang belum baligh tidak diwajibkan puasa dan shalat. Karena mereka belum mengetahui apa itu hukum dari puasa dan shalat. Nah sama dengan yang terjadi terhadap diri kamu malam ini. Kamu belum pernah diajarkan apa terjemahan baju tidur ke dalam bahasa Inggris. Nah jika kamu memang tidak tahu, kenapa mesti dihukum? Saya pikir orang Mahkamah bahasa itu cukup bijaksana.

Dalam hati saya bertanya, kok kemarin malam saya bisa menjawab ‘take it all’ dengan benar bisa terbebas dari hukuman, dan malam ini saya tidak mampu menjawab ‘baju tidur’ juga bisa terbebas dari hukuman? Lantas salah dan benar itu sebenarnya berdasarkan kaca mata siapa?

“Ahmad, kakak tahu sebenarnya apa yang menjadi pertanyaan dalam benakmu. Sebenarnya hukum yang diciptakan manusia masih bisa dibantah dengan banyak dalil ataupun pendapat. Itulah gunanya pada setiap sidang pengadilan selalu ada pembela, penasehat hukum, jaksa penuntut, hakim, supaya mereka bisa saling berbantah-bantahan mencari kebenaran berdasarkan dalil-dalil mereka. Akan tetapi hukum yang berasal dari Tuhan, tak satupun dalil manusia yang bisa membantahnya, Alhaqqu min rabbika fala takunanna minal mumtarin. Jadi kalau mau melihat kebenaran atau Al-Haq, bukalah kitab suci Al-Qur’an di sana tidak ada keraguan lagi di dalamnya.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun