Mohon tunggu...
Syofyan el Comandante
Syofyan el Comandante Mohon Tunggu... Pelaut - Sekretaris Jenderal SP.SAKTI

Mantan awak kapal yang ingin mendedikasikan sisa hidup untuk pelindungan hak - hak pekerja maritim

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tumpang Tindih Kewenangan Ketenagakerjaan Awak Kapal: Urgensi Pembentukan Pengadilan Maritim

28 Juli 2024   07:19 Diperbarui: 28 Juli 2024   07:20 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki berbagai peraturan yang mengatur ketenagakerjaan di bidang pelayaran. Namun, terdapat tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan terkait pengaturan ketenagakerjaan awak kapal. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan status ketenagakerjaan bagi awak kapal.

Kementerian Perhubungan merasa memiliki wewenang untuk mengatur ketenagakerjaan awak kapal berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan juga merasa berwenang mengatur ketenagakerjaan awak kapal karena adanya Pasal 337 UU Pelayaran yang menyatakan bahwa ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Sayangnya, sejak Pasal 337 UU Pelayaran diterbitkan, belum ada satupun peraturan turunan yang dibuat oleh Kementerian Ketenagakerjaan terkait ketenagakerjaan awak kapal. Hal ini semakin memperumit status ketenagakerjaan awak kapal. Sementara itu, jika ketenagakerjaan awak kapal diatur oleh Kementerian Perhubungan, aturan yang ada dinilai tidak sesuai dengan dinamika kehidupan saat ini. KUHD, UU Pelayaran, dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tidak mengatur secara jelas mengenai hubungan kerja awak kapal, standart upah minimum,  hak pesangon, hak jaminan sosial, kompensasi sisa kontrak  dan hak Tunjangan Hari Raya (THR).

Lebih lanjut, jika terjadi perselisihan antara pengusaha pelayaran dan pelaut, penyelesaiannya melalui Syahbandar. Namun, ketika dalam mediasi tidak ada kesepakatan, Syahbandar hanya dapat membuat berita acara tanpa dapat menerbitkan surat anjuran sebagai alat untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial. Hal ini berbeda dengan penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan pada umumnya.

Oleh karena itu, sudah saatnya dibentuk Pengadilan Maritim atau Maritime Court yang khusus menangani segala permasalahan maritim, termasuk sengketa ketenagakerjaan awak kapal. Pengadilan ini diharapkan dapat menyelesaikan berbagai masalah maritim, termasuk perselisihan antara pengusaha pelayaran dan pelaut, dengan mempertimbangkan aspek hukum maritim dan hukum ketenagakerjaan secara komprehensif. dengan diadili oleh orang-orang yang memahami hukum maritim dan hukum ketenagakerjaan. Dengan demikian, status ketenagakerjaan awak kapal dapat menjadi lebih jelas dan terlindungi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun