Dalam beberapa hari terakhir, dunia ketenagakerjaan pelaut Indonesia diwarnai dengan "perang surat edaran" antara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
 Cerita  bermula dari  terbitnya surat edaran terkait peralihan Surat Izin Usaha Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) ke Surat Izin Usaha Keagenan Awak Kapal (SIUKAK) yang diterbitkan oleh Kemenhub. Di sisi lain, Kemnaker juga mengeluarkan surat edaran terkait habisnya masa transisi dari SIUPPAK ke Surat Izin Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI).
Kedua surat edaran ini memicu kebingungan di kalangan pengusaha pelayaran dan awak kapal. SIUKAK diterbitkan berdasarkan Undang-Undang Pelayaran jo Peraturan Pemerintah (PP) 31 Tahun 2021 jo Peraturan Menteri Perhubungan 59 Tahun 2021, dan diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung No. 67 P/HUM/2022/.
Sedangkan SIP3MI adalah mandat dari Undang-Undang Penempatan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) jo PP 22 Tahun 2022.
Awalnya, UU PPMI diharapkan dapat mengakhiri konflik antara Kemenhub dan Kemnaker. Namun, lalainya pemerintah dalam menerbitkan peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan turunan dari UU PPMI yang semestinya diterbitkan pada tahun 2019, justru memperpanjang masalah. PP baru diterbitkan pada tahun 2022, yaitu yang kita kenal dengan PP 22 tahun 2022.
Ironisnya, dalam masa penantian PP 22 tersebut, pemerintah malah menerbitkan PP 31 tahun 2021 yang merupakan aturan turunan dari UU Pelayaran sebagaimana telah diubah sebagian dalam UU Cipta Kerja. PP 31 juga mengatur perizinan penempatan awak kapal di dalam dan luar negeri.
Sementara PP 22/2022 juga mengatur tentang perizinan untuk penempatan awak kapal migran (kapal asing).
Sayangnya, pemerintah tidak menyelaraskan peraturan-peraturan tersebut. Seharusnya, sebelum menerbitkan PP 31 tahun 2021, pemerintah perlu mempertimbangkan adanya mandat UU PPMI. Demikian juga, saat menerbitkan PP 22 tahun 2022 Â , pemerintah harus memperhatikan PP 31 Â tahun 2021 yang telah ada.
Kisruh ini dipicu oleh kelalaian pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo, dalam menandatangani kedua PP tersebut.
Presiden seharusnya memastikan bahwa tidak ada  2  Peraturan pemerintah  yang mengatur objek yang sama sebelum menerbitkannya. PP tersebut
Gaya kepemimpinan Presiden " I did not read what I signed memperparah situasi dan memicu ego sektoral antara  kedua kementerian.
Akibatnya, konflik antara dua kementerian ini tidak kunjung usai dan menghasilkan "perang surat edaran" yang membingungkan pengusaha pelayaran dan awak kapal.
Perlu solusi yang jelas dan tegas dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini dan memastikan kepastian hukum bagi para pemangku kepentingan di sektor maritim.
Berikut beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan:
- Pemerintah harus segera menyelesaikan "Kebingungan " ini  dengan menerbitkan PP yang mengatur secara komprehensif dan jelas tentang perizinan penempatan dan pelindungan awak kapal.
- Koordinasi antar kementerian harus diperkuat untuk menghindari tumpang tindih regulasi dan kebingungan di lapangan.
- Kepentingan pengusaha pelayaran dan awak kapal harus menjadi prioritas utama dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
- Pemerintah perlu melakukan sosialisasi yang masif kepada para pemangku kepentingan untuk memastikan pemahaman yang sama tentang regulasi yang berlaku.
Kisruh ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk lebih cermat dan hati-hati dalam menerbitkan regulasi.
Kepastian hukum dan regulasi yang jelas merupakan kunci untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan mendorong kemajuan sektor maritim Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H