Sumber Gambar: facebook.com (Silivester Kiik)
TANPA disadari, bahwa gelombang globalisasi secara perlahan memunculkan kekhawatiran berbagai pihak akan musnahnya nilai-nilai lokal yang selama ini menjadi tatanan kehidupan bagi masyarakat tertentu. Kekhawatiran tersebut timbul akibat hilangnya kesadaran kita akan nilai-nilai keharmonisan yang terkandung dalam setiap tradisi budaya yang dianutnya.
Kita percaya dan berpegang teguh pada relasi keharmonisan yang selalu terjalin erat dan tidak dapat dipisahkan antara manusia dengan sang pencipta (Tuhan), manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alamnya. Setiap kelompok masyarakat tertentu memiliki keunikan tersendiri dalam tradisi budayanya untuk mendekatkan diri dengan sang penciptanya. Ajaran yang terbentuk secara turun temurun melalui tradisi upacara adat istiadat menanamkan nilai kasih sayang antar sesama, mengajarkan kekeluargaan dan kegotongroyongan, mencintai lingkungan alamnya sebagai penyedia sumber kebutuhan, dan nilai-nilai lainnya yang terkandung pada setiap tradisi upacara adat masyarakat tertentu. Nilai-nilai tersebut senantiasa diwariskan, ditafsirkan, dan dilaksanakan seiring dengan proses perubahan sosial masyarakat.
Tradisi budaya lokal selama ini selalu dilekatkan dengan anggapan kuno yang bukan zamannya lagi sehingga mulai dilupakan, dan budaya modern yang diterapkan dan selalu dibanggakan agar tidak dikatakan ketinggalan. Hal ini yang mendasari adanya berbagai macam pertikaian yang terjadi. Gencarnya dengan membeda-bedakan suku, agama, ras, dan antar golongan untuk memecah belah negeri ini karena kekuasaan akan budaya modernisasi semata, musibah terjadi dimana-mana, perebutan warisan yang berujung dengan pembunuhan, perdagangan manusia (human trafficking), Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), narkoba, pemerkosaan, penyelundupan barang/BBM, politik uang, pembelian suara pada saat pilkada, dan lain sebagainya yang selalu menghiasi keseharian kita di berbagai media membuat hati miris dan bertanya-tanya “mengapa itu bisa terjadi?; bagaimana dan apa yang salah?; faktor apa yang menyebabkannya?”. Apakah saat ini kita sedang amnesia?
Indonesia semakin hari semakin kehilangan identitas di tengah-tengah kebhinekaan dan kebesaran budaya nusantaranya. Kearifan lokal terbengkalai bagaikan pakaian kusut di gantungan yang terus menerus mengalami intrusi budaya global. Di saat kekuatan kebangsaan sedang tidak sehat, gempuran budaya global tidak terelakkan, semangat sukuisme, provinsialisme semakin menguat, bahkan terkadang keluar dari konteks ke-Indonesiaan, maka integritas dan identitas nasional menjadi semakin terancam.
Kearifan lokal (local wisdom) berperan penting dalam mendukung kemajuan bangsa. Kearifan lokal sebagai pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan. Kearifan lokal dapat dimaknai sebagai sebuah sistem dalam tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lingkungan yang hidup di dalam masyarakat lokal dengan berlandaskan nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal yang positif. Sehingga kita dapat memilah antara kebudayaan lokal dan kebudayaan modern.
Kebudayaan modern (yang mungkin dinilai lebih praktis dibandingkan dengan kebudayaan lokal) boleh diadopsi tanpa menghilangkan keasliannya, dan kebudayaan lokal tetap menjadi dasar untuk dilestarikan tanpa mengubah bentuk keasliannya (tanpa campur tangan kebudayaan modern). Dengan kata lain, kita sedang dihadapkan pada fenomena paradoks, yakni berdiri pada pijakan kaki yang berbeda. Kaki kanan terikat erat pada kekuatan tradisi (nilai-nilai lokal), sedangkan kaki kiri menganut sistem nilai dari luar (nilai-nilai modern). Sentuhan budaya luar secara langsung akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan, sehingga masyarakat kehilangan orientasi (disorientasi) dan dislokasi hampir pada setiap aspek kehidupan. Sudahkah kita berdiri pada pijakan kaki yang berbeda?
Dalam zaman globalisasi manusia dituntut untuk selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi. Oleh karena itu, manusia terus dituntut mengisi diri agar mampu bersaing dalam tataran global. Karena meskipun sampah habis, tetapi debunya masih ada. Bagian ini memberi amanat bahwa sukses seseorang hanyalah sukses yang bersifat sementara, karena kemudian akan muncul masalah-masalah yang bisa jadi semakin kompleks. Karena itu manusia diharapkan mampu mencari terobosan-terobosan baru (innovation) dalam memecahkan masalah kehidupan.
Potensi kearifan lokal perlu diteruskan pada generasi muda melalui pendidikan karakter, sehingga jatidiri mereka sebagai pedoman utama semakin kuat di tengah gempuran budaya global. Untuk mewariskan nilai-nilai lokal melalui pendidikan dalam konteks globalisasi, Cheng (2005) menyarankan menggunakan tiga teori , yaitu (1) teori pohon, (2) teori kristal, dan (3) teori sangkar burung.
Teori pohon memiliki karakteristik dasar bahwa pendidikan harus mengakar pada nilai-nilai lokal dan tradisi lokal tetapi menyerap sumber dari luar yang relevan. Dengan teori ini diharapkan setiap person atau individu berpandangan internasional, bertindak lokal dan tumbuh secara global (act locally and develop globally). Kelebihan teori ini adalah masyarakat lokal dapat memelihara nilai-nilai tradisi dan identitas budaya lokal yang dimiliki lalu berkembang menjadi pengetahuan dan nilai budaya yang bermanfaat bagi masyarakat global.
Teori kristal dengan karakteristik dasarnya adalah dimilikinya bibit atau benih yang dapat dikristalisasikan dan diakumulasikan pada pengetahuan global persis seperti bentuk lokalnya. Dampak dari aplikasi teori ini dalam penerusan nilai-nilai kearifan lokal melalui pendidikan, adalah dimiliknya pribadi lokal yang utuh dengan beberapa pengetahuan budaya global, namun bertindak dan berpikir lokal dengan menggunakan cara-cara global (act locally and think locally with increasing global techniques).
Teori sangkar burung bercirikan keterbukaan terhadap pengetahuan dan budaya luar tetapi dibatasi dengan framework (kerangka kerja) yang jelas. Pengembangan budaya lokal dalam globalisasi membutuhkan framework lokal sebagai proteksi dan penyaring. Dampak yang diinginkan dari penerapan teori ini dalam pewarisan nilai-nilai budaya lokal atau kearifan lokal melalui pendidikan, adalah pribadi lokal dengan pandangan global yang dapat bertindak lokal dengan pengetahuan global yang terfilter/terdeteksi (act locally with filtered knowledge). Ini berarti bahwa penanaman nilai-nilai lokal dalam situasi global memerlukan kerangka kerja lokal (seperti sangkar burung) untuk menyaring pengaruh negatif globalisasi.
Jika filosofi kearifan lokal dapat diwariskan melalui pendidikan berbasis kearifan lokal dengan menggunakan teori seperti disarankan Cheng, maka kita akan mampu memproteksi pengaruh-pengaruh negatif modernisasi akibat gelombang globalisasi. Sebagai harapan adalah terjadinya act locally develop globally secara utuh dan benar sesuai tahapan-tahapan kehidupannya. Dalam setiap jengkal hidup manusia selalu ada kearifan lokal. Paling tidak, kearifan dapat muncul pada: (a) pemikiran, (b) sikap, dan (c) perilaku. Ketiganya hampir sulit dipisahkan. Jika ketiganya itu ada yang timpang, maka kearifan lokal tersebut semakin pudar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H