Mohon tunggu...
Syintia Ivoni
Syintia Ivoni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka novel fiksi dan hujan sore hari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Pesan Pidato dengan Teori Pierce

8 Januari 2025   21:08 Diperbarui: 8 Januari 2025   21:08 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Beberapa waktu lalu, Indonesia telah usai menyelenggarakan pemilihan presiden, dan dengan terpilihnya Pak Prabowo sebagai presiden, menandakan dimulainya era baru kepemimpinan Indonesia. Pun beberapa waktu lalu, tepatnya 2 bulan lalu, Pak Prabowo telah melakukan pidatonya.

Didalam artikel ini, penulis tidak akan membahas tentang perhelatan politik yang tengah panas terjadi. Namun, penulis tertarik untuk sedikit menganalisis isi pidato dari Pak Prabowo, yang akan ditabrakkan dengan Teori Linguistik, terkhusus Teori dalam Semiotika.

Dalam pidato ini, terselip banyak pesan yang kuat tentang demokrasi, kepemimpinan, juga harapn untuk bangsa. Jika kita telaah dari kacamata Teori Tanda dari Charles Sanders Peirce, pidato ini memiliki cara unik dalam penyampaiannya.

Pidato dibuka dengan pepatah: "Kalau ikan menjadi busuk, busuknya mulai dari kepala." Kalimat ini sederhana, tapi maknanya dalam. Analoginya jelas: pemimpin adalah kepala dari sebuah sistem. Kalau pemimpin tidak becus, maka seluruh sistem yang ia pimpin akan rusak. Frasa ini mudah diingat karena menggambarkan situasi dengan visual yang kuat, membuat pendengar langsung paham pentingnya pemimpin yang bersih dan bertanggung jawab. Ini adalah contoh bagaimana representamen, yaitu pepatah tentang ikan, mengarahkan kita pada objek, yaitu kepemimpinan, dan menghasilkan interpretant berupa makna bahwa pemimpin harus memberi teladan.

Pesan lain yang kuat adalah tentang pemimpin yang berani menghadapi hal yang tampak mustahil. Di sini, pidato ini mengingatkan kita bahwa tantangan besar seperti kemiskinan dan ketidakadilan bukanlah alasan untuk menyerah. Sebaliknya, pemimpin yang baik harus mencari jalan keluar, bukan alasan. Pesan ini menanamkan optimisme bahwa sebuah bangsa bisa mengubah "tidak mungkin" menjadi "mungkin" dengan keberanian dan kerja keras. Lagi-lagi, tanda di sini sederhana tetapi sangat bermakna, menghubungkan representasi keberanian dengan tugas besar seorang pemimpin.

Pidato ini juga menyentuh soal demokrasi. "Demokrasi kita harus demokrasi yang santun," katanya. Bukan demokrasi yang penuh caci maki atau adu domba. Pesan ini sangat relevan, terutama di zaman sekarang di mana perbedaan pendapat sering kali menjadi alasan untuk saling menyerang. Demokrasi yang diinginkan dalam pidato ini adalah demokrasi khas Indonesia, yang mengakar pada budaya kita: menghormati, bekerja sama, dan menjaga persatuan. Ini mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak hanya soal kebebasan berbicara, tetapi juga soal tanggung jawab menjaga harmoni.

Ada satu bagian yang sangat emosional dalam pidato ini: "Wong cilik iso gemuyu" atau "orang kecil bisa tersenyum." Frasa ini sederhana, tetapi langsung menyentuh hati. Ia menggambarkan visi sebuah bangsa di mana rakyat kecil, mereka yang selama ini sering terlupakan, bisa hidup bahagia tanpa beban. Maknanya jelas: kesejahteraan rakyat adalah tujuan akhir dari semua upaya pemerintahan. Pesan ini menghubungkan harapan dengan kenyataan sehari-hari yang dialami masyarakat.

Pidato ini juga menegaskan pentingnya kebebasan rakyat: bebas dari ketakutan, kemiskinan, dan penderitaan. Ini bukan hanya sekadar cita-cita, tetapi sebuah tolok ukur apakah sebuah bangsa benar-benar sudah merdeka. Kebebasan dalam arti yang luas ini menunjukkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar status politik, tetapi kondisi di mana rakyat merasa aman dan sejahtera.

Lewat tanda-tanda yang sederhana tetapi kaya makna, pidato ini mengajak kita untuk merenung tentang apa yang sebenarnya kita butuhkan sebagai bangsa. Dengan menggunakan teori tanda Peirce, kita bisa melihat bagaimana pesan dalam pidato ini disampaikan dengan cara yang efektif. Pesannya tidak hanya menggugah, tetapi juga menginspirasi. Bahwa pemimpin harus menjadi teladan, demokrasi harus dijalankan dengan santun, dan rakyat kecil harus menjadi prioritas. Semua ini menjadi pengingat bahwa cita-cita besar hanya bisa dicapai dengan kerja sama, keberanian, dan kepemimpinan yang tulus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun