Mohon tunggu...
Syifaur Rohmatin
Syifaur Rohmatin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Mitos Dewi Kilisuci: Pesan Moral dalam Legenda dan Pengaruhnya terhadap Perilaku Masyarakat"

16 Desember 2024   17:32 Diperbarui: 16 Desember 2024   17:31 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan mitos, tradisi, dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang. Mitos merupakan cerita yang disampaikan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan dan diyakini oleh sebagian masyarakat sebagai kisah sakral. Mitos sering kali dilestarikan melalui berbagai ritual dan tradisi unik di setiap daerah. Secara esensial, mitos berfungsi sebagai media untuk menyampaikan pesan moral yang bertujuan memperbaiki perilaku masyarakat yang menyimpang dari norma. Dengan bentuk cerita yang menarik dan simbolik, nilai-nilai moral dalam mitos menjadi lebih mudah diterima dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Kata mitos sendiri berasal dari kata Yunani mythos yang awalnya merupakan cerita-cerita yang diterima sebagai anugerah dewa-dewa dan menyajikan model kepahlawanan dan keberanian (Adi, 2011:214) dalam (viora, 2017). Hal ini sejalan dengan pendapat Atmazaki (2007:66) dalam (viora, 2017) yang menyatakan bahwa “Mitos adalah sesuatu yang diyakini keberadaannya dan telah berakar kuat di dalam masyarakat sehingga berpengaruh terhadap perilaku masyarakat tersebut.”

Salah satu contoh mitos yang sarat dengan pesan moral adalah Legenda Dewi Kilisuci, yang terkenal di Kediri, Jawa Timur. Cerita ini mengajarkan tentang dampak buruk dari sikap ingkar janji. Dewi Kilisuci adalah putri Raja Airlangga yang dihormati masyarakat sebagai wanita suci karena konon ia tidak mengalami menstruasi. Suatu hari, Dewi Kilisuci menerima lamaran dari Lembu Sura, seorang pemuda dengan tubuh manusia tetapi berkepala lembu. Karena tidak ingin menerima lamaran itu, Dewi Kilisuci mengajukan syarat yang tampaknya mustahil: Lembu Sura diminta membuat dua sumur di puncak Gunung Kelud. Satu harus berbau wangi dan yang lain berbau amis. Tak disangka, Lembu Sura berhasil memenuhi permintaan tersebut.

Dewi Kilisuci, yang terkejut dengan keberhasilan itu, menyusun siasat untuk menyingkirkan Lembu Sura. Ia meminta Lembu Sura memeriksa sumur yang telah dibuat dengan masuk ke dalamnya. Ketika Lembu Sura berada di dalam sumur, Dewi Kilisuci memerintahkan pasukan kerajaan untuk menutup sumur itu dengan batu, hingga akhirnya Lembu Sura tewas. Sebelum meninggal, Lembu Sura mengucapkan sumpah yang hingga kini dikenang masyarakat Kediri:

"Yoh, wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yoiku. Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung."

Artinya: "Orang Kediri kelak akan menerima balasan dariku. Kediri akan menjadi sungai, Blitar akan menjadi hamparan, dan Tulungagung akan menjadi danau."

Sumpah ini menjadi pengingat akan dampak buruk dari sikap tidak menepati janji. Mitos Dewi Kilisuci mengajarkan pentingnya kejujuran dan integritas dalam kehidupan. Hal ini membuktikan bahwa mitos berfungsi sebagai petuah dengan makna moral yang mendalam. Karena dianggap sakral, mitos menarik simpati masyarakat agar senantiasa menjaga perilaku demi mencegah terulangnya hal-hal buruk yang digambarkan dalam cerita tersebut.

Sehingga, penyampaian pesan moral melalui mitos dianggap cenderung lebih efektif. Mitos diekspresikan oleh masyarakat dengan kesan tersendiri yang membuat nilai-nilai di dalamnya lebih mudah diterima, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, seiring berkembangnya zaman, mitos kini mulai tergerus oleh arus modernisasi. Generasi muda Indonesia tampaknya tidak lagi peduli dan menunjukkan ketertarikan terhadap mitos ini sebagai sarana penyampaian pesan moral. Jika hal ini terus berlangsung, kekayaan budaya yang mengandung banyak nilai luhur berpotensi hilang dan hanya menjadi cerita masa lalu tanpa makna bagi generasi mendatang.

Meskipun begitu, mitos memang tidak perlu terlalu diimani dan dijadikan pijakan dalam menghadapi segala sesuatu. Namun, mitos tetap perlu dilestarikan sebagai salah satu warisan leluhur yang mengandung pesan moral yang baik. Keberadaan mitos bukan hanya untuk menjaga tradisi, tetapi juga menjadi jembatan bagi generasi muda untuk memahami nilai-nilai kehidupan yang luhur melalui budaya yang diwariskan secara turun-temurun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun