Atau dalam ungkapan Brian Harrison, perang yang dipamori oleh Portugis adalah "perang dagang dan perang antar agama". Bagi portugis, ekspansi ke Timur tidak hanya sebuah penyerbuan demi meraih komoditas ekonomi melainkan sebuah gerakan besar untuk membalas kekalahan dalam perang suci antara Kristen dan Islam (hlm. 16).Â
Begitupun praktik dan dukungan terhadap missi dan zending yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda protestan hingga awal abad ke-20, dimana penyebaran agama kristen selalu disponsori dan dilindungi. Rupanya upaya kristenisasi tak berhenti ketika para penjajah kafir portugis, spanyol hingga Belanda itu hengkang dari Indonesia. Karena gerakan missi kembali mencuat pasca peristiwa G30S/PKI. Pasca tahun 1965, terjadi lonjakan besar jumlah pemeluk agama kristen di Indonesia hingga hampir 700% dalam waktu 3 tahun saja (hlm. 38-39).
Berikutnya, Sekularisme. Pendek kata buku ini menjabarkan Sekulerisme sebagai satu paham yang memisahkan kehidupan dunia dan kehidupan agama. Tentunya dalam paradigma Islam, hal ini merupakan upaya pendangkalan aqidah, karena sejatinya Islam adalah agama yang syumuliyyah (sempurna) dan tidak parsial. Islam adalah sistem kepercayaan dan sistem kehidupan.
Sekularisme adalah salah satu produk dari invasi pemikiran Barat yang hari ini baik secara sadar ataupun tidak sadar, banyak dianut oleh kaum muslimin. Bahkan pada tahun 1970-an oleh sebagian kalangan yang mengaku dirinya intelektual muslim, arus sekulerisme ini dipropagandakan dalam bentuk yang lebih halus dibalik istilah-istilah pembaharuan islam yang liberal (pen.), seperti "reaktualisasi", "kontekstualisasi", dst.
Adapun nativisme, merupakan akar kebudayaan lama yang hendak dihidup-hidupkan kembali baik secara alamiah maupun secara terorganisir dan dilembagakan. Dan disaat yang sama hendak menghilangkan ataupun menghapuskan spirit Islam. Seperti misalnya kembali menghidupkan kepercayaan kepada nenek moyang, aliran kebatinan, memasyarakatkan kembali tradisi-tradisi jawa pra-islam, gerakan Javanolog, menggencarkan penelitian orientalis yang menghubung-hubungkan identitas Indonesia pada kebudayaan lama dan berusaha mendistorsi spirit islam, dst.
Hemat saya, buku ini sangat perlu diarifi oleh para pemuda Islam juga para pengemban dakwah di Indonesia. Guna memberikan penerangan dan pemahaman yang lebih baik mengenai tantangan dakwah yang akan dihadapi, khususnya dalam perspektif ghazwul fikri.Â
Karena, di tengah era kemajuan teknologi informasi, ghazwul fikri merupakan strategi alternatif yang digunakan para mustakbirun (orang yang sombong lagi melampaui batas seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Musyrikin, Munafikin, Atheis, dan orang kafir lainnya), dalam bermanuver 'cantik' secara kasat mata untuk terus menggeser ummat Islam menuju kepada kerusakan pemikiran, kebinasaan identitas Islam hingga menjadikan kaum muslimin terperangkap dalam sistem kejahiliyahan, bahkan keluar dari aqidah Islamiyah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H