Berkat kemajuan teknologi informasi yang semakin mapan beberapa dekade ini, perubahan budaya masyarakat, dari taraf modernist society menuju masyarakat post modernist-post society tidak dapat dihindari. Semua berlangsung seakan memiliki ekulibrium menuju kemajuan yang tidak terbatas.
Masyarakat secara umum, khususnya kalangan mahasiswa yang lekat dengan aktifitas-aktifitas penelitian, aktifitas intelektual, maupun aktifitas personal lainnya sebagai seorang bagian dari masyarakat itu sendiri, tentunya mengalami transformasi mengenai praktik budaya menerima informasi dari yang semula dilakukan melalui cara yang serba konvensional menuju dunia digitalisasi.
Disamping segala kemudahan yang ada, dari semakin berkembang pesatnya teknologi informasi ini, ternyata kenyataan demikian pula seakan menjelma menjadi pedang bermata dua. Di era post-truth, kecepatan adalah segalanya. Singkatnya, post-truth ialah suatu fenomena yang lahir di zaman post-modern yang menunjukkan bahwa fakta objektif akhirnya kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik, dibandingkan 'fakta' yang lahir dari emosinal dan kepercayaan pribadi. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Oxford Dictionary (Oxford University Press, 2022).Â
Sejarawan, Timothy Synder menulis mengenai hal ini, Ia menyatakan bahwa era post truth adalah pra-fasisme, saat kita menyerah pada kebenaran (objektif), artinya kita tengah menyerahkan kekuasaan kepada mereka para pemilik kuasa untuk menciptakan kebenaran lain yang menggantikannya.Â
Maka, kita akhirnya akan kehilangan institusi kebenaran berdasarkan fakta objektif dan argumentative yang relevan, dan hasil akhirnya adalah, kecenderungan terhadap apa yang kita anggap sebagai kebenaran hanya sampai pada sebuah kubangan abstraksi dan dunia fiksi yang pragmatis. Dalam dunia intelektual tentulah hal ini merupakan bagian dari bencana yang serius. (Snyder, 2021)
Mahasiswa yang diagung-agungkan sebagai agent of change, saat ini menemui sebuah narasi skeptis yang barangkali wajar untuk dinyatakan. Dalam statistic Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, presentasenya menunjukkan bahwa Jumlah Strata 1 (sarjana) hingga Strata 3 (doctoral) di Indonesia ialah 17,06 juta, jumlah yang tidak sedikit (Dialeksis, 2021).Â
Namun faktanya keseimbangan dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara masih belum mampu mencapai taraf kesejahteraan bersama dalam arti seluas-luasnya. Yang ada, permasalahan-permasalahan yang hadir semakin tidak masuk akal dan kompleks. Jumlah sarjana yang sekian banyaknya ternyata belum mampu membawa Indonesia ke arah bangsa yang semakin berkesadaran dan berdaya.Â
Dan justru fakta-fakta social menunjukkan kenyataan pahit. Kalangan yang menyumbangkan virus kerusakan bangsa Indonesia sendiri, ialah mereka yang pernah mengenyam Pendidikan perguruan tinggi.
Dalam hal ini, misalnya pelaku koruptor. Mereka tidaklah lahir dari dunia gelap yang tidak mengenali ilmu pengetahuan, tidak lahir dari dunia yang tidak diajarkan arti kebenaran. Mereka lahir dari dunia akademis yang menempatkan mentalitas kebenaran sebagai pijakan dalam berfikir dan bertindak. Namun nyatanya, hal ini akhirnya menjadi kenyataan yang menyakitkan.Â
Barangkali bisa diartikan pula, bahwa Indonesia sebenarnya tidaklah kekurangan orang-orang cerdas. Tapi Indonesia kekurangan orang-orang yang jujur, peduli dan mau menantang zaman.
Sejak tahun 2004 hingga 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat telah menangani 1.194 kasus tindak pidana korupsi. dan pelaku tindak pidana korupsi ini mayoritas dilakukan di instansi pemerintah kabupaten/kota sebanyak 455 kasus sejak 2004 hingga 2021. Diikuti oleh instansi kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi masing-masing sebanyak 395 kasus dan 158 kasus.