Mohon tunggu...
Syifa Nurwahdah Arif
Syifa Nurwahdah Arif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi - UPN Veteran Jakarta

Hallo! Saya Syifa mahasiswa akhir semester 8 yang memiliki hobi menulis dengan berbagai proses untuk memaksimalkan potensi saya. Melalui platform Kompasiana, saya sangat berharap dapat menjadi wadah menyebarkan informasi fakta kepada masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Proxy War: Strategi Adu Domba oleh Si Paling Kuat

4 April 2023   07:30 Diperbarui: 19 Juni 2023   17:11 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang Proksi atau Proxy War merupakan konfrontasi antar dua kekuatan besar yang menggunakan pihak lain sebagai pelaku perang secara langsung dengan alasan untuk terhindar dari kekacauan fatal. Perang ini memiliki tujuan kepentingan tertentu dari kekuatan besar yang mendorong terjadinya perang. Dampak perang proksi berakibat pada segala bidang kehidupan manusia.

Jika ditelisik dari sisi historis, proksi war sudah dilakukan sejak masa perang dingin yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pada masa itu kejadian perang dingin memporak-porandakan banyak negara yang menjadi boneka mainan dari dua kekuatan besar tersebut. Salah satu contoh nyata adalah Perang Korea yang terjadi pada masa Perang Dingin.

Tidak hanya Korea, ada beberapa negara lain yang menjadi dampak perang proksi sehingga negara mereka terbelah dua seakan-akan saling bermusuhan karena perbedaan ideologi. Akan tetapi, adapula sebagian negara lain dengan faktor kesatuan yang kuat sehingga mereka dapat melawan perang proksi demia persatuan bangsa.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara terluas dengan penduduk terbanyak ke-4 di bumi. Luas tanah air mencapai 5.193.250 km dengan sepertiganya adalah lautan. Selain geografinya yang luas, penduduk bumi nusantara ini juga dihidupi makhluk hidup yang beraneka ragam. Sumber daya melimpah dari sabang sampai merauke membuat bangsa-bangsa lain tergoda untuk memiliki Indonesia.

Keanekaragaman penduduk bumi Nusantara selain menjadi keunggulan, hal ini juga menjadi suatu peluang ancaman. Perbedaan budaya, bangsa, ras, suku, agama, dan lain sebagainya menjadi faktor retaknya suatu negara. Salah satu sejarah tercatat pada Yugoslavia, negara tersebut terpecah-belah akibat keanekaragaman yang ada dalam internal daerah tersebut. Selain itu, faktor eksternal akibat campur tangan ideologi lain yang masuk ikut meruntuhkan Yugoslavia pada masa perang dingin.

Melihat dari kacamata sejarah, peluang Indonesia terjerumus ke dalam perang proksi cukup besar.

Bagaimana tidak?

Saat ini, globalisasi yang masif mengakibatkan adanya budaya asing masuk ke dalam Tanah Air. Secara tidak langsung, budaya mereka menerobos masuk untuk mengasingkan budaya dalam negeri. Ketertarikan massa terhadap budaya asing dapat membuat pihak-pihak tertentu tersenyum untuk dapat menyerang Indonesia dari dalam. Adanya pihak ketiga yang memiliki kekuasaan penuh dapat menjadi ancaman bagi Indonesia. Merekalah yang disebut Si Paling Kuat sehingga dapat merusak Indonesia dari dalam tanpa harus ada kekuatan senjata api.

Ada beberapa individu yang belum sadar akan dampak terbuainya dalam obsesi pada budaya asing. Maka dari itu, marilah kita bertindak secukupnya terhadap beberapa budaya, ideologi, dan prinsip yang tidak sesuai dengan norma-norma bumi Nusantara. Pentingnya menjaga jati diri bangsa adalah menjadi pondasi kekuatan kita untuk saling merangkul dari serangan luar. Senjata api adalah cara kuno meruntuhkan bangsa, namun serangan nonmiliter adalah taktik unik meruntuhkan bangsa dari dalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun