bayi dan balita yang baik akan mempengaruhi status gizi. Status gizi kurang atau lebih akan menentukan derajat kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan balita. Status gizi buruk akan memberikan dampak bayi dan balita menjadi cepat lelah, lemas, letih, lesu, terjadi gangguan perkembangan otak, tingkat kecerdasan berkurang, kondisi fisik lemah, rentan menderita berbagai penyakit seperti ISPA, diare, TBC, hepatitis, dan jika tidak ditangani akan menyebabkan kematian, begitu pula dengan status gizi lebih jika tidak ditangani akan menyebabkan obesitas serta mengganggu pertumbuhan dan perkembangan.
Tercatat 1 dari 3 anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas gizi. Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal setiap tahun karena masalah kekurangan gizi dan buruknya kualitas makanan, didukung pula oleh kekurangan gizi selama masih di dalam kandungan. Pemberian nutrisi padaStatus gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dari makanan dengan kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk metabolisme tubuh. Bayi yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif memiliki resiko kematian yang jauh lebih besar akibat diare dan pneumonia, sehingga pemberian ASI eksklusif sangat penting karena ASI merupakan sumber energi dan nutrisi terpenting untuk anak pada usia 0 - 6 bulan dan tetap dilanjutkan hingga 24 bulan dengan makanan pendamping (Adjdjibiyan. S et al 2023). Faktor penyebab masalah gizi dibagi menjadi dua yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi gizi balita adalah salah satunya asupan makan atau minum balita, sedangkan faktor tidak langsung yang mempengaruhi gizi balita diantaranya ketersediaan pangan dan lain-lain.Â
Susu formula disebut-sebut bisa menjadi alternatif nutrisi bayi yang efektif. Meskipun tidak mungkin menghasilkan produk yang identik dengan ASI, segala upaya telah dilakukan untuk meniru profil nutrisi ASI untuk pertumbuhan dan perkembangan normal bayi. Susu adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar (mammae) binatang dan ibu. Menurut Roesli (2004), susu formula adalah cairan yang mengandung zat yang mati. Tidak mengandung sel yang hidup seperti sel darah putih, zat pembunuh bakteri, atau antibodi, dan juga tidak mengandung enzim atau hormon yang mengandung faktor pertumbuhan. Raspy (2007), juga menyatakan bahwa susu formula adalah cairan atau bubuk dengan formula tertentu yang diberikan kepada bayi dan anak-anak sebagai pengganti ASI. Susu formula terbagi menjadi beberapa jenis, antara lain susu sapi, susu kedelai, dan susu hidrolisa atau elemental. Komposisi susu formula terdiri dari lemak, protein, karbohidrat, protein, mineral, vitamin, dan energi.
Untuk pertumbuhan bayi, susu adalah makanan dan minuman yang baik, baik ASI maupun susu formula. Sangat penting untuk berhati-hati saat memilih susu formula untuk bayi karena susu formula dapat mengandung bakteri sakazakii yang dapat membahayakan kesehatan bayi. Susu formula berbakteri menyebabkan radang selaput otak dan radang usus, yang mungkin terjadi pada sebagian besar orang, tetapi sangat berdampak pada bayi. Banyak orang, terutama ibu-ibu, khawatir tentang temuan peneliti dari Institut Pertanian Bogor tentang adanya kontaminasi pada makanan bayi dan produk susu formula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Enterobacter Sakazakii terkontaminasi pada 22,73% dari 22 sampel susu formula dan 40% dari 15 sampel makanan bayi yang dijual dari April hingga Juni 2006.Â
Susu formula tidak terdapat sel-sel pembunuh kuman seperti yang terdapat pada air susu ibu. Bayi yang tidak mendapat air susu ibu zat besinya bebas dan kuman membutuhkan zat besi yang bebas. Alhasil, kuman dapat tumbuh bebas di dalamnya. Banyaknya kuman dalam tubuh meningkatkan risiko leukemia dan kanker kelenjar yang disebabkan oleh virus pada anak. Kandungan natrium pada susu formula tinggi, yaitu 58 dan air susu ibu hanya 15. Kandungan protein kasein dalam susu formula dapat menyebabkan gangguan kejiwaan dan beberapa bayi tidak dapat mengonsumsi kasein yang berat atomnya.
Hubertin mengatakan bahwa air susu ibu memiliki lebih banyak nutrisi daripada susu formula. Dia memberikan contoh taurin, asam amino rantai panjang yang diperlukan untuk maturasi otak, yang banyak ditemukan dalam ASI dan hanya sedikit ditemukan dalam susu sapi. Ternyata ada beberapa risiko yang terkait dengan memberi susu formula pada bayi baru lahir. Terlalu banyak susu formula dapat mengganggu perkembangan otak bayi, 20% risiko sistem jaringan otak tidak terbangun. Bayi mengalami serangan radang otak, kejang, necroenterocolitis, atau infeksi pencernaan yang serius, menurut dokter yang bekerja di unit perawatan intensif bayi rumah sakit swasta. Bayi-bayi ini biasanya mendapatkan susu formula dan tidak mendapat air susu dari ibunya.Â
Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2004 oleh badan makanan dunia (FAO) dan badan kesehatan sejagat (WHO), Enterobacteriaceae menyusup dan bergerilya dalam susu formula bubuk menyebabkan sakit pada bayi, terutama infeksi sistemik seperti batuk-batuk, pilek, radang paru-paru, necroenterolitis, dan diare parah. Menurut dokter spesialis anak di Rumah Sakit St. Carolus Jakarta, gangguan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh konsumsi susu formula dapat mengganggu perkembangan dan pertumbuhan anak serta memperburuk gangguan perilaku. Hal tersebut terjadi karena adanya reaksi simpang dalam tubuh dapat menyebabkan ketidakcocokan. Bahan-bahan dalam susu formula seperti kasein (protein susu sapi), laktosa, gluten, atau jenis lemak tertentu dapat menyebabkan reaksi ini, bahkan kandungan minyak jagung, minyak kelapa sawit, DHA, dan rasa seperti madu, vanila, coklat, dll. Ketidakcocokan terhadap susu formula dapat muncul cepat atau lambat, bahkan dalam waktu kurang dari delapan jam. Ketidakcocokan susu formula atau alergi susu hampir sama dengan gejala dan tanda alergi makanan. Semua organ tubuh dapat terkena dampak gangguan tersebut, terutama pencernaan, kulit, dan saluran nafas.
Penelitian yang dilakukan oleh Noermawati dan Tri Nur mengenai berat badan bayi usia 6 bulan yang mengkonsumsi ASI dan konsumsi susu formula bahwa pemberian susu formula dengan volume lebih tinggi (840 ml / hari) pada usia 3 bulan dikaitkan dengan peningkatan berat badan dan resiko kelebihan berat badan pada usia 6 - 12 bulan dibandingkan dengan pemberian ASI, kemungkinan besar terkait dengan perbedaan komposisi dan volume asupan antara susu formula dan ASI, terdapat sebuah tinjauan sistematis menyimpulkan bahwa bayi yang diberi susu formula memiliki asupan energy 1,2 hingga 9,5 kali lipat lebih tinggi dan asupan protein 1,2 hingga 4,8 kali lipat lebih tinggi dari pada bayi yang disusui pada minggu pertama kehidupannya.
Nuriza Astari mengatakan pemberian susu formula pada bayi usia 0 hingga 6 bulan dikaitkan dengan peningkatan kejadian diare, dan bayi yang menggunakan susu formula 14,1 kali lebih besar kemungkinannya terkena diare dibandingkan bayi yang tidak menggunakan susu formula. Berdasarkan analisis penelitian Nuriza Astari, terlihat bahwa responden yang memberikan bayinya susu formula mempunyai risiko lebih tinggi terkena diare. Diare yang terjadi pada bayi yang diberi susu formula disebabkan karena bayi di bawah 6 bulan belum matang sistem pencernaannya  dan usia bayi berperan dalam penurunan frekuensi buang air besar. Sebuah rekomendasi menyatakan bahwa bayi dari usia enam bulan hingga satu tahun hanya harus diberikan ASI eksklusif karena ASI sudah memenuhi semua kebutuhan bayi sepenuhnya. Pada usia enam bulan hingga satu tahun, ASI masih diperlukan untuk memenuhi 60 hingga 70 persen kebutuhan bayi, dan pada usia satu tahun hingga dua tahun, ASI masih memenuhi 30% kebutuhan bayi.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pemberian ASI lebih baik daripada susu formula pada bayi. Hal tersebut dikarenakan banyak zat gizi dari ASI yang tidak ditemukan di susu formula seperti sel darah putih, zat pembunuh bakteri atau antibodi, dan susu formula juga tidak mengandung enzim atau hormon yang mengandung faktor pertumbuhan. Bahkan, beberapa kasus seperti diare, alergi, dan obesitas pada bayi dapat disebabkan karena mengonsumsi susu formula. Walaupun susu formula sudah diproses agar bisa memiliki kandungan gizi yang mirip dengan ASI, tetap saja ASI alami jauh lebih baik bagi kesehatan dan pertumbuhan bayi.
Referensi
Dewi, Noermawati (2016) Perbedaan Peningkatan Berat Badan Bayi Usia 6 Bulan Antara Bayi yang Mendapat ASI Eksklusif dan Susu Formula Di Wilayah Kerja Puskesmas Kartasura. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hanum, Y., & Tukiman, T. DAMPAK SUSU FORMULA TERHADAP KESEHATAN BAYI. JURNAL KELUARGA SEHAT SEJAHTERA, 11(2).
Nuriza Astari, A. C. K., 2013. HUBUNGAN PEMBERIAN SUSU FORMULA DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI USIA 0-6 BULAN. Journal of Nutrition College, 2(4), pp. 419-424.
Tim Penyusun: Nurfina Anis Warastri, Shelfani Eka Putri , Syifa Nurannisa Febriany. Mahasiswa Ilmu Gizi 2023 Universitas Jenderal Soedirman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H