Indonesia merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi adanya hak asasi manusia (HAM) seiring dengan berbagai keanekaragaman yang dimiliki, seperti suku, bahasa, ras, agama, dan lain-lain. Hak asasi manusia adalah hak dasar manusia yang penerapannya diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang kesehatan. Hak asasi manusia bersifat general atau umum, artinya HAM bersifat menyeluruh dan berlaku bagi setiap manusia tanpa memandang usia, latar belakang, ras, kedudukan, dan sebagainya. Hak ini tidak diberikan atau dipengaruhi oleh pihak luar karena hak asasi manusia merupakan suatu hak yang sudah menjadi kodrat atau kewajiban yang melekat pada diri setiap manusia sejak kelahirannya (Bahaj M., 2023). Dalam hak asasi manusia inilah, hak atas kesehatan dicakup. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar yang berlaku. Berikut adalah beberapa pasal yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan yang berkaitan dengan hak-hak BPJS.
    1) Pasal 58 yang mengatur hak atas informasi menyebutkan bahwa pasien berhak mendapatkan informasi yang jelas mengenai kondisi kesehatannya, diagnosis, dan tindakan medis yang diperlukan, termasuk cakupan layanan BPJS.
    2) Pasal 63 yang mengatur hak atas pelayanan bermutu dengan memastikan bahwa setiap peserta BPJS berhak atas pelayanan kesehatan bermutu sesuai standar medis, baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun tingkat lanjutan.Â
    3) Pasal 64 mengatur hak atas keterjangkauan biaya, yang berarti peserta BPJS tidak boleh dikenakan biaya tambahan di luar ketentuan sistem JKN sertaÂ
    4) Pasal 65 yang mengatur hak untuk mengajukan keluhan, yaitu memberikan hak kepada pasien untuk mengajukan keluhan terhadap layanan yang diterima, guna melindungi hak mereka dan meningkatkan akuntabilitas fasilitas kesehatan.
   Namun kenyataannya, masih ada ketimpangan atau diskriminasi dalam pelayanan kesehatan yang diberikan, terutama antara pasien yang menggunakan BPJS dan yang membayar secara langsung (non-BPJS). Adanya diskriminasi pelayanan antara pasien yang non-BPJS dan pengguna BPJS tentunya memiliki dampak pada banyak hal, baik kepada pasien, pihak rumah sakit, maupun tenaga kesehatan dan medis. Berikut adalah beberapa faktor serta dampak yang muncul dari kasus diskriminasi ini.
Beban tenaga kerja tinggi karena di beberapa rumah sakit yang menyediakan layanan BPJS cenderung lebih ramai atau banyak pasien yang datang. Hal tersebut membuat tenaga kesehatan dan medis harus bekerja dengan beban kerja yang ekstra yang mana menyebabkan kelelahan sehingga tidak menutup kemungkinan bersikap acuh tak acuh.Â
Keterbatasan fasilitas. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kurangnya dana yang diberikan oleh pihak BPJS kepada rumah sakit sehingga pembaruan fasilitas dan pembelian obat-obatan yang dibutuhkan menjadi terhambat. Ini akan menyebabkan pasien tidak mendapatkan perawatan optimal ketika menjalani rangkaian kegiatan medis.Â
Ketidakseimbangan sosial-ekonomi yang mana masih ada stereotip bahwa pasien BPJS berasal dari kalangan ekonomi rendah sehingga, terkadang, tenaga kesehatan dan medis tidak memberikan pelayanan yang sama seperti pasien non-BPJS.
   Untuk mengatasi hal tersebut dan menegakkan hukum yang berlaku, tentu diperlukan upaya. Tidak hanya dari pihak pemerintah, tetapi juga pihak rumah sakit (tenaga kesehatan dan medis) harus turut berpartisipasi agar upaya yang dilakukan bisa terwujud. Berikut adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan guna menegakkan hak-hak pasien BPJS.Â