Tadi malam aku melihat kakek mengaji, tapi bukanlah kakek sudah meninggal kemarin? Pertanyaan itu menguasai pikiranku saat ini, kesadaranku bahkan belum penuh terisi. Baru saja aku membuka mata dari mimpi yang panjang, tidakkah pikiran ini terlalu rumit untuk kuteliti.
________________________________
Ribuan kenangan tidak pernah berhenti menayangkan potret masa kecil yang masih terekam utuh di kepala. Rasanya seperti membuka album tua ketika kakiku mulai memasuki pekarangan rumah pria paruh baya yang hidupnya dipenuhi rasa sepi, ia kakekku.
Senang rasanya bisa menghirup udara segar yang dikeluarkan pohon rimbun yang tersusun rapi berkat kerajinan tangan kakek. Di kota, tidak bisa kudapati rasa nyaman ini. Bisingnya suara kendaraan dan janji para petinggi sungguh membuat tubuh merasakan lelah, meski tanpa keringat.
Setelah hampir sepuluh tahun tak kupijakkan kaki ini berkunjung ke desa, akhirnya hari ini aku mendapatkan kesempatan luar biasa. Tidak, ini bukanlah perkara yang harus dijadikan kebahagiaan, mungkin ini akan menjadi duka yang berkepanjangan. Seluruh keluarga besar, baik yang datangnya dari kota ataupun dari desa tetangga, kami berkumpul bersama. Bukan, ini bukan acara keluarga untuk merayakan sesuatu dengan sukacita, mungkin ini akan menjadi perpisahan penuh duka.
Sudah sejak seminggu yang lalu kakek meminta seluruh keluarga bersua. Namun, kami terlalu jahat, kami datang di penghujung minggu. Dengan berbagai alasan, semua orang merasa pinta itu bukanlah suatu hal yang harus didahulukan.
Sampainya aku di sini, rumah kakek terasa begitu hening dan dingin, seperti ada angin yang akan membawa kabar duka. Tubuh kakek lemah tak berdaya, suaranya tak dapat aku dengar, terlampau lirih. Bibirnya mengecap tanpa terbuka lebar. Entah pesan apa yang ingin disampaikan, intinya aku menyesal datang terlambat.
Suara tangis semua orang di rumah ini memecahkan keheningan dan rasa dingin yang sedari tadi menemani kami. Tidak ada rasa yang memenuhi perasaan kami, selain penyesalan. Tubuh kakek yang sepuluh tahun lalu terlihat kuat, kini benar-benar lemah tak berdaya, semuanya berbeda, kecuali senyumannya, masih sama bahkan saat menutup mata.
"Kek, aku baru saja datang. Mengapa tidak menyambutku sambil memeluk seperti sepuluh tahun yang lalu?"
Aku menangis tanpa air mata. Aku tak mampu mengeluarkan air mata karena tenagaku sudah habis dilahap rasa perih yang sedari tadi menguasai hati. Rasa kehilangan ini sungguh terasa seperti luka tajam akibat goresan pisau, bahkan lebih dari itu. Sebanyak apapun aku kehilangan rasa cinta dari seorang wanita, ini yang lebih parah. Bayangkan saja, sepuluh tahun tak kutatap wajah tenangnya, dan sekarang aku hanya bisa melihat wajah pucatnya.