Mohon tunggu...
Syifa Maulida Hajiri
Syifa Maulida Hajiri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada

Syifa tertarik dengan dunia jurnalistik dan media kreatif, terutama dalam serba-serbi perfilman.

Selanjutnya

Tutup

New World Artikel Utama

AI dan Seni (Kontemporer): Kawan atau Lawan Seniman?

12 April 2023   09:08 Diperbarui: 13 April 2023   01:09 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karya instalasi "Comedian" karya Marcel Duchamp, Gambar: Instagram Artsy di Kompas.com

Sejak artificial intelligence mulai mendisrupsi berbagai lini kehidupan, pro kontra terhadap kehadiran teknologi ini mengundang perbincangan (bahkan perdebatan) yang cukup hangat.

Mungkin banyak orang di dunia sudah tahu soal teknologi AI yang bisa melakukan berbagai pekerjaan manusia, salah satu yang paling populer saat ini adalah ChatGPT.

Sebelumnya, saya tidak pernah berpikir bahwa AI benar-benar bisa menggantikan berbagai pekerjaan manusia yang variatif, terutama dalam bidang pekerjaan kreatif. Namun, nyatanya AI sudah membuktikan yang sebaliknya.

AI, tidak hanya dapat mengerjakan pekerjaan yang terkait hitung-hitungan matematis saja, teknologi ini juga bisa melakukan kerja kreatif, salah satunya menghasilkan karya seni. 

DALL-E, merupakan AI yang disa memproduksi gambar sesuai entry deskripsi karya yang ingin Anda buat. Tidak hanya DALL-E, masih banyak AI lainnya yang memiliki kemampuan serupa.

Melihat kemampuannya ini, apakah kita dapat langsung menyimpulkan bahwa kerja seniman dapat tergantikan oleh AI?

Mari mundur sejenak 1 tahun, ketika kontoversi besar AI dan seni menjadi perdebatan panas. "Thtre D'opra Spatial", karya Jason M. Allen yang dibuat dengan bantuan program AI bernama Midjourney, memenangkan Colorado State Fair's Annual Art Competition pada tahun 2022. Tentu saja kemenangannya mendapat banyak hujatan, salah satunya melalui media sosial. 

Perbincangan soal kontroversi ini merebak ke seluruh dunia. Saya sendiri melihat bagaimana beberapa seniman merasakan amarah. Saya mempunyai beberapa relasi dengan orang-orang yang cukup berdedikasi dengan seni. Meskipun bukan seniman besar, tetapi gagasan mereka soal kontroversi AI dan seni patut diperhitungkan.

Satu hari saya membuka Instagram, menonton stories dari orang-orang yang saya ikuti, sampai akhirnya saya berhenti sejenak mengamati unggahan story tentang kontroversi AI dan seni. 

IG Story itu diunggah oleh salah satu relasi saya yang merupakan seorang seniman, lebih spesifiknya ia menghasilkan karya-karya ilustrasi. 

Membaca dan mengamati story itu, saya merasakan amarah dan kekesalan yang ia ungkapkan atas penciptaan karya seni menggunakan AI. 

Ia menceritakan seberapa kerja keras yang ia berikan untuk menghasilkan karya, dan itu membutuhkan tenaga, waktu, kreativitas, dan dedikasi yang besar. Kemudian, AI membuat semua itu seakan sia-sia.

Disamping itu, amarahnya ini juga muncul karena alasan lain yang valid. AI diduga mencuri karya dari para seniman yang telah ada, dan menggunakannya dalam proggram untuk menghasilkan karya yang baru. Inilah yang kemudian membuat banyak seniman melayangkan tuntutan pada berbagai program AI.

AI dan Perspektif Seni Kontemporer

Kembali pada pertanyaan, apakah pekerjaan seniman tergantikan oleh AI?

Jawabannya, tergantung. Ini sangat tergantung pada jenis seni yang dihasilkan serta perspektif yang digunakan para seniman dalam memandang AI.

Sekarang jika kita berbicara tentang seni digital, tentu saja kita dapat mengkategorisasikan karya AI sebagai salah satu bentuk karya seni digital. Jika berbicara tentang seni modern, seperti lukisan, mungkin AI juga masih dapat dikategorisasikan di dalamnya. Kemudian menjadi cukup adil untuk mengomparasikan hasil karya seniman digital dan seniman modern dengan seni yang dihasilkan AI. Dalam konteks ini, jelas,  penggunaan AI dapat dikatakan sebagai kecurangan dalam produksi karya.

Sekarang mari kita memandang AI dari perspektif seni kontemporer, seni yang lebih bebas, terutama jika berbicara soal bagaimana karya itu dibuat, serta apa yang digunakan seniman dalam pembuatan karya itu.

Seni kontemporer sangatlah eksperimental. Seniman dapat menggunakan apa saja yang diinginkannya untuk membuat karya. Kita berbicara tentang urinoir porselin yang digunakan dalam karya "Fountain" milik Marcel Duchamp yang menjadi legenda dan ikon untuk seni abad ke-20. 

Kita berbicara tentang pisang dan lakban dalam karya "Comedian" milik Maurizio Cattelan yang menggemparkan dunia seni hingga terjual seharga miliaran. Literally, medium apapun bisa menjadi karya seni dalam perspektif seni kontemporer. 

Karya instalasi
Karya instalasi "Comedian" karya Marcel Duchamp, Gambar: Instagram Artsy di Kompas.com

Bagaimana dengan AI?

Dalam perspektif seni kontemporer, AI dapat menjadi bagian dari karya seni itu. AI dapat digunakan sebagai medium karya yang menjembatani seniman untuk menyampaikan gagasan di balik karyanya. 

Di sini, AI bisa tidak dipandang sebagai musuh seniman serta suatu kecurangan. Seniman dapat menggunakan AI sebagai bagian dari gagasannya. 

AI merupakan salah satu simbol perkembangan dan disrupsi teknologi yang sangat berkaitan erat dengan konteks perkembangan sosial politik dalam peradaban manusia. Mengabadikan perkembangan itu dengan medium AI dalam karya seni dapat dipandang sebagai cara yang sah, terutama dalam perspektif seni kontemporer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun