Mohon tunggu...
Lulu Syifa F.
Lulu Syifa F. Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

http://lulusyifa.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menulis Itu Seperti Pisau

6 Februari 2012   20:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:58 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Jika kamu gemar menulis, teruslah menulis. Karena menulis itu seperti pisau jika didiamkan terlalu lama maka kemampuan menulismu akan tumpul nantinya”

Begitu kata guru bahasa Indonesia saya. Bapak Bagja Syamsudiana, saat istirahat sekolah tadi. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba saja, saya ditanya oleh beliau “Lulu suka nulis di Kompasiana yah?” tanyanya sambil membakar rokok lalu menghisap asapnya.

“Hehe kok tahu Pak?” jawaban saya begitu konyol, bukannya menjawab “Iya” saya malah balik bertanya.

“Ya tahu, dari Pak Ahmad kemarin. Itu dipublikasikan kemana aja Lu? Udah berapa banyak?” tanya beliau lagi.

“Hehe paling saya nge-publish tulisan cuma di blog atau di Kompasiana belum banyak kok tulisan saya hehe” jawab saya sambil tersenyum.

Teeeeeeeng...!

Bunyi bel pertanda jam masuk mengagetkan saya membuat saya harus menyudahi perbincangan dengan Pak Bagja.

***

Berbicara tentang tulisan, sebenarnya saya sudah menulis cerpen sejak masih SD. Hanya saja menulisnya masih asal. Lalu saat masuk SMP saya sempat belajar Jurnalistik dan sering mempublikasikan karya dimading sekolah. Bangga rasanya saat ada teman berkomentar “Itu yang dimading tulisan kamu Lu? Keren!” Wah terbang rasanya dipuji seperti itu. Padahal jika dibandingkan dengan karya teman yang lain jelas tulisan saya masih kalah bagus. Tapi dukungan dari teman pembaca belum membuat saya “jatuh cinta” untuk terus menulis. Saya justru berhenti dan mengembangkan diri di pelajaran Bahasa Inggris selama dua tahun, terhitung dari kelas 8 sampai kelas 9 SMP.

Lagi-lagi saya bertemu dengan rasa jenuh. Setelah meninggalkan dunia  Jurnalistik, saya juga berhenti mengembangkan diri di pelajaran Bahasa Inggris. Apalagi saat masuk sekolah dijurusan Farmasi tentu saja tidak sejalan dan membuat saya lupa akan menulis. Awalnya saya kaget juga saat saya lulus masuk sekolah jurusan Farmasi. Entah ini sial atau keberuntungan seorang yang tidak pernah bersahabat dengan angka seperti saya "terjebak" disekolahkan di SMK Kesehatan jurusan Farmasi yang banyak pelajaran menghitungnya.

Nilai pelajaran Matematika, Kimia, dan Ilmu Resep saya selalu pas-pasan. Banyak rintangan yang membuat saya bosan tapi kata orang tua saya yang harus saya lakukan adalah berhenti mengeluh. Suatu kebodohan kalau saya pindah sekolah hanya karena pelajaran “Ilmu Resep” yang bagi saya itu kadang menegangkan.

Sedikit cerita tentang teman sekelas saya, namanya Ira Rahayu dia anaknya ramah dan suka bercanda. Hanya saja dia juga seperti saya, kalau diperhatikan sepertinya dia juga tidak pandai berhitung. Malah pernah waktu itu Ira menangis saat pelajaran Ilmu Resep karena merasa tidak mampu mengerjakan resep obat yang diberikan guru saya saat itu. Tentu saja saya kaget, aneh juga kalau anak ceria seperti Ira menangis gara-gara pelajaran Ilmu Resep.

Tapi ada satu hal yang membuat saya iri pada Ira. Biarpun kemampuan berhitungnya tidak begitu baik, kemampuan menghapalnya patut diacungi jempol. Dipelajaran-pelajaran teori, Ira sering mendapat nilai sempurna alias 100. Lalu saya merasa percikan-percikan semangat untuk menulis tergugah, saya menulis untuk menutupi kelemahan otak  yang memang tidak pandai berhitung.

Dari situ saya menulis lagi. Sejak saat itu juga saya mulai aktif untuk mengikuti lomba-lomba menulis cerpen, dengan tujuan untuk mengukir prestasi bukan terobsesi untuk memenangkan hadiahnya. Selagi saya bisa saya akan terus menulis saya tidak mau kemampuan saya tumpul karena berhenti diasah. Tulisan-tulisan saya masih banyak kekurangannya, tetapi saya belajar dari komentar teman-teman pembaca agar kekurangan tulisan saya bisa diperbaiki.

“Disetiap bagian dari kehidupan Anda pasti akan ditemui sisi gelap. Tiada lain bagi Anda untuk menanggulanginya, kecuali dengan menyalakan pelita dalam diri Anda sendiri” – DR. Aidh AL-Qarni.

***



Lulu Syifa, Kota Intan 06 Februari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun