Bersanding denganmu, adalah hal terindah, yang selalu kita banggakan, yang menjadi tujuan utama. Juga karenanya, aku yakin, kau benar dalam bersungguh-sungguh.
***
Gemerincing air hujan masih terus terdengar, sepertinya aku butuh lebih banyak waktu dari beberapa hal yang harus di kerjakan. Aku bahkan tidak bisa menyisakan waktu untukku merebah, memeluk lembut setiap bantalan dalam kasur busa besar itu. Ah, aku cinta menjadi Wartawan!
Keluh kesahku tidak akan mengubah apapun, termasuk memberhentikan jarum pada alat waktu yang terpasang tepat di sebrang meja kerjaku. Nampaknya, malam ini Kota Hujan benar-benar sedang menunjukkan dengan bangga, julukannya, tanpa henti bersuara.
Tengah malam lewat dua jam. Bagi sebagian orang, ini waktu yang tepat untuk mengambil kembali nyawa yang sedang mengambang, membuka mata dan seraya berdoa. Bagi sebagian sisanya, masih ada rangkaian kata yang harus dikejar menjadi sebuah berita. Untuk kemudian terbit dengan dua hari semasa libur lebaran itu tiba. Artinya, aku, yang dalam keadaan ini, membuat 3 berita dalam satu malam. Untuk hari-hari setelah lebaran pertama dan kedua. Setidaknya, aku dapat berbagi sisa semangatku di kampung halaman. Aku rindu, bahkan kepada semua kenangan pahitku.
***
Merapuh perlahan, mengumpulkan sisa tenaga selepas sahur terlaksana, menatap bayangan langkah yang terpantul dari atas lampu jalan. Aku perlu mengganti setiap lembar bagian tulang-belulang. Oh…
Jalan Malabar, di Kota Hujan, masih nyenyak di dalam mimpi. Perlahan membuka gembok indekos berpagar tinggi , khawatir membangunkan mereka yang baru saja terlelap kembali. Hidupku mungkin akan normal dalam beberapa hari, di momen-momen libur. Mengingat, malamku jadi siang dan begitupun sebaliknya. Bau khas aspal bekas tersiram air hujan, angin shubuh yang menyambut lembut, aku bahkan mulai lupa dengan jingga kekuningan akhir fajar. Ambrukku kasar, ke atas busa persegi panjang yang aku lapisi sprei kuning bergambar bintang.
Ah, tak sabarku berteriak untuk hari lebaran!
***
Cerita indahku menghilang seiring jerit telepon yang tak jua berhenti. Tolong lah! Ini hari pertama ku berhibernasi… mengumpulkan tenaga untuk berpikir nanti, kalau-kalau pertanyaan tentang kekasih dan keluarga datang bertubi-tubi, tahu lah ketika kumpul keluarga apa yang akan terjadi. Apalagi, semua itu akan mulai dikait-kait kan dari segala hal, umur, jabatan, kebiasaan, bahkan untuk hal kecil dengan bagaimana caramu makan…
“Coba kalau udah jadi istri, kan makan gak sendirian lagi…”
Comon’ kalau suaminya pergi dinas keluar kota, masa harus menunggu ia kembali supaya makan tidak sendirian lagi? Keburu mati. Gerutuku hampir 3 tahun berturut-turut ini.
“Ar, udah pulang belum?”, seru suara sebrang tanpa ucap salam.
“Udah…”, balasku setengah malas.
“Haish, ada paket buatmu ini di kantor. Kayaknya penting deh, soalnya pakai pengiriman cepat.”
“Iya nanti aku ke kantor dulu sebelum pulang.”
“Lho? Tadi kamu bilang udah balik ke kampung?”, nadanya terasa bingung.
“Iya udah lima menit yang lalu, sebelum kamu bangunin aku…”
“Ye, mimpi itu mah! Udah ah buruan kesini, nanti makin lama makin macet jalanmu pulang.”
“Hu’um…”, akhirku tanpa basa basi lain.
Kiriman apa yang sudah membangunkan waktu hibernasiku? Aku bahkan tidak belanja apapun secara online. Apa surat-surat tagihanku? Atau mungkin ada bonus lain? Hahaha hal terakhir pemikiranku, membuat badan ini terasa ringan loncat ke dalam toilet.
Aku mencari-cari ia yang menjadi informan, tidak juga ku temukan. Tadinya hendak pamit sekalian, pikirku. Tapi yang kudapat hanya selembar amplop coklat diatas meja, kantor lumayan sepi rupanya. Hanya masih bertahan beberapa editor layout yang menyelesaikan sisa tanggungan. Amplop ini tipis, tidak seperti berisi barang atau setumpuk uang, mungkin memang hanya sebuah surat tunggakan. Ah, sedikit menyesal aku terburu-buru dengan semangat. Tulisannya memang benar, untukku, Arsy Azizah Maurie.
Ada dua hal di dalamnya…
Mungkin lebih baik aku baca dulu suratnya,
Assalamualaikum, ii
Wah, sepertinya ini dari teman lamaku.
Maaf kalau ini terlalu cepat rasanya. Tapi, sebelumnya, terimakasih karena berhasil membuat aku bangkit, hingga kembali di tempat asalku, di keadaan sekarang. Aku memang seperti apa yang kamu katakan sebelumnya, bodoh, dan aku setuju akan hal itu. Aku tidak bisa menahanmu yang terus-menerus menuntut terlepas. Padahal, aku masih sangat mencintamu, saat itu, teramat sangat. Aku bahkan berusaha merelakanmu, dengan apa yang sedang kau kejar. Aku terlalu malu untuk kembali kepadamu. Aku tidak cukup baik untukmu, yang dahulu, ketika kita bersama, tidak pernah sekalipun lelah untuk tetap mendampingiku. Aku takut, kesalahanku akan terulang lagi, dan akhirnya kembali menyakitimu. Maaf, karena baru saat ini, aku bisa mengabarimu…
Kemudian, sebenarnya, bukan itu maksudku. Mengembalikan secara semena-mena kenangan pahitmu, ketika bersamaku, bukan. Maafkan aku i. Aku hanya merasa, kamu perlu tahu kebenarannya, bahwa aku pun sama tersiksanya, dari setelah kehilanganmu.
Sekali lagi, Maaf. Aku tidak akan lebih panjang untuk membahas yang lalu. Dengan surat ini, aku meminta maaf. Sekaligus memberikan kabar bahagia (untukku dan keluargaku) yang aku harap juga bagimu. Bahwa aku yakin kau pulang setelah lebaran, dan aku berharap kau bisa datang di acara akad nikah ku. Hari ke-3 setelah lebaran.
Aku harap, hal-hal yang belum kita bicarakan, dapat dengan segera tersampaikan. Undangan Pernikahan aku lampirkan. Jangan lupa bawa pasanganmu!(:
Salam sukses,
Galang.
…….
***
Bersanding denganmu, adalah hal terindah, yang selalu kita banggakan, yang menjadi tujuan utama. Juga karenanya, aku yakin, kau benar dalam bersungguh-sungguh. Melihatmu lebih rapi dari biasanya, merekam setiap detik indah yang dirasakan sekali seumur hidup. Ternyata, kau benar-benar mewujudkannya. Walau diakhir cerita, bukan aku yang bersanding tepat disebelahmu…
Setelan jas hitam, nuansa ruangan yang klasik, bau khas prasmanan dengan musik kegembiraan. Aku bahkan tidak sabar mengenal ia yang beruntung mendapatkanmu… polesannya cantik, sepertinya ia memang benar-benar baik. Aku turut bersyukur atas kebahagiaanmu.
Aku memilih untuk tidak berbicara, mengenai apa-apa yang seharusnya kita luruskan. Aku lebih takut kau mengubah pola pikirmu, kemudian memilih aku, walau itu hal yang paling tidak mungkin, tapi sejenak sempat terpikir. Bahkan sempat aku harapkan dalam doa, jahatnya aku. Pertemuan kita dibelakang, hanya sebatas senyum, saling pandang, dan ku tutup dengan membereskan letak jasmu; seperti pertama kali kau melamar kerja waktu itu.
.
.
.
Hallo, masa lalu…
Ternyata aku harus benar-benar melupakanmu, meski belum tentu aku tepati. Selamat ya! Aku turut bangga dengan semua yang kau lakukan hingga saat ini, hingga aku dapat berdiri tepat di depan pelaminan. Di mana kau melemparkan semua senyum, kepada setiap orang yang menyalamimu, yang turut serta mendukung usahamu untuk melangkah, meninggalkan aku, masa lalumu…
Terimakasih karena ternyata, kau masih tidak lupa untuk menulis nama panjangku, bahkan dengan panggilan sayangmu, yang menjadi panggilan keseharianku, di kolom undangan itu.
Sadarkah kau? Ini benar-benar menyakitkan. Ketika apa yang sebenarnya masih aku tunggu, menemukan yang menurutnya lebih tepat. Untuk kasus ini, aku memang benar-benar bodoh. Kau bahkan mengatakan bahwa, ingin kembali tapi takut untuk menyakiti. Bagaimana kau tahu itu akan terulang lagi? Hahaha benar-benar bodoh. Hey, aku belum bisa melupakanmu sampai saat ini, sampai saat kau menjadi pendamping hidup orang lain! Tanpa kau mencoba kembali denganku, melalui ini pun, kau dapat dikatakan sudah kembali menyakitiku.
Ah, rasanya sakit, sekali…
Jauh lebih sakit, ketika aku berusaha untuk membuatmu sadar akan keberadaanku. Aku berusaha pergi, agar kau yakin bahwa aku orang yang kau butuhkan. Aku berusaha pergi, agar kau bisa lebih percaya diri. Lalu, kembali. Bukan, benar-benar pergi.
Oh, Tuhan!
Tidakkah kau tahu, aku tak melakukan apapun termasuk mencari penggantimu seperti apa yang telah kau lakukan ini? Perjalanan kembaliku menjadi pilu, teramat dalam, aku bahkan tak dapat menghentikan tangisku. Dunia yang gelap, hati yang dingin, pikiran tak tentu, ini benar-benar terasa menyedihkan.
Aku…
Sakit.
Benar-benar.
Sakit.
Berbahagialah, G!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H