Mohon tunggu...
Syifa HalidaKamila
Syifa HalidaKamila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hanya manusia biasa yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Time Travel

23 Juni 2021   08:07 Diperbarui: 23 Juni 2021   08:57 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

TIME TRAVEL

Oleh : Syifa Halida Kamila

Ketika berusia belia, saya selalu ingin cepat-cepat menjadi dewasa. Mungkin hal ini juga dipikirkan oleh anak-anak lainnya Ingin bisa bepergian kemana-mana tanpa dilarang dengan perkataan 'jangan main jauh-jauh, nanti diculik'. Ingin makan permen tanpa larangan 'jangan makan permen, nanti gigimu bolong', Padahal jika dipikir, atau bahkan tanpa dipikir pun, secara naluri orang tua melakukan itu untuk kebaikan anaknya. Tapi dipandangan anak, hal itu terkadang menyebalkan. 

Coba pikirkan, Tuhan Maha Hebat. Tuhan menciptakan manusia dengan akal serta pikiran yang membuat terbentuknya banyak sudut pandang yang berbeda. contohnya seperti itu, pandangan berbeda antara orang tua dan anaknya. Selain itu, terkadang anak-anak ingin bisa bermain tanpa harus disuruh pulang karena ada jadwal tidur siang. Ingin cepat dewasa agar bisa membantu ayah dan ibunya, ingin dewasa agar tidak menjadi beban.

Memang dasarnya manusia itu banyak sekali keinginanya, terlalu serakah. Ingin ini, ingin itu. Ketika kecil ingin cepat-cepat dewasa, Ketika sudah memasuki dewasa, ingin kembali menjadi anak-anak.  Masa kecil bisa dianggap sebagai masa dimana manusia dimaklumi dengan segala tindakan yang dilakukannya. Saat kecil, anak-anak yang melakukan kesalah pasti selalu mendapat tanggapan 'namanya juga anak-anak'. Berbeda ketika sudah dewasa, setiap melakukan kesalah terkadang  mendapatkan tanggapan 'bagaimana si, begitu saja tidak bisa' atau 'dasar tidak becus'. Itulah yang terkadang membuat orang dewasa ingin kembali menjalani masa anak-anak. Mungkin jika ada mesin waktu, akan banyak orang dewasa yang ingin mengulang masa kanak-kanaknya.

Saat saya berusia anak-anak, saya disuguhkan dengan tontonan televisi anak-anak yang menarik. Apalagi setiap hari minggu, serial anak-anak seperti Doraemon, Dragon Ball, dan Spongeboob menjadi serial favorite saya. Saat menonton Doraemon, saya sungguh kagum dengan kantung yang dimiliki oleh Doraemon. Hebat sekali, bisa mengeluarkan benda-benda ajaib. 

Saya berpikir, apakah benda itu nantinya benar-benar ada dimasa depan? Apakah benar nantinya ada mesin waktu yang bisa digunakan dengan masuk ke laci meja belajar seperti yang ditunjukan oleh Doraemon kepada Nobita dan teman-temannya? Apakah nanti dimasa depan akan ada pintu kemana saja yang bisa kita gunakan untuk pergi ke tempat yang kita inginkan?

Saya ingin memiliki mesin waktu, saya ingin menjelajah waktu. Waktu itu saya berpikir saya ingin menjelajah waktu ke masa lalu untuk bisa melihat Dinosaurus yang sudah punah. Saya ingin memiliki pintu kemana saja agar saya bisa pergi ke tempat yang ada saljunya. Saya suka melihat salju meski hanya lewat televisi tabung jadul yang orang tua saya miliki. Dan saya lebih ingin melihat salju secara langsung. Dulu saya bertanya kepada mama, "ma kenapa saljunya ga turun-turun ya?". Lalu mama saya menjawab "di Indonesia ga ada salju, salju adanya diluar negeri". Maka dari itu saya ingin memiliki pintu kemana saja, saya ingin keluar negeri melihat salju. Saya ingin memiliki Doraemon karena dia memiliki alat ajaib yang saya inginkan. 

Saya bilang pada mama "ma aku mau Doraemon". Lalu mama saya menjawab, "iya nanti kalau punya uang dan uangnya terkumpul Insya Allah dibelikan. Tapi sabar ya". Mendengar jawaban mama saat itu, hati saya merasa sangat gembira karena sebentar lagi saya bisa menaiki mesin waktu dan punya pintu kemana saja. Lama menunggu, sampai saya lupa pernah mengucapkan ingin dibelikan Doraemon, mama saya akhirnya membelikan Doraemon. Tapi bukan Doraemon sungguhan, melainkan boneka kecil Doraemon. 

Dulu saya kecewa karena boneka Doraemon tidak mengeluarkan alat ajaib. Tapi jika dipikir sekarang, mengapa ya saya bisa berpikiran seperti itu saat kecil, sampai merengek ingin dibelikan Doraemon padahal keluarga saya bukanlah keluarga yang tergolong kaya sampai bisa membelikan mainan untuk anaknya. Dulu, karena Boneka yang dibelikan mama saya tidak bisa seperti Doraemon yang ada di televisi,  saya memutuskan ingin bercita-cita menjadi ilmuan, agar bisa membuat mesin waktu dan pintu kemana saja.

Hal tersebut lama-lama terlupa dari pikiran saya ketika saya memasuki Sekolah. Seperti anak-anak pada umumnya, saya pun memiliki cita-cita yang mungkin bisa berganti setiap harinya. Senin ingin menjadi ilmuan, lalu Selasanya berubah ingin menjadi astronot, Rabunya ingin menjadi presiden, Kamisnya ingin menjadi bos perusahaan, Jumatnya ingin menjadi pemain bulu tangkis, Sabtunya ingin menjadi artis saja, Minggunya ingin menjadi putri duyung. Selalu berganti cita-cita. Saat saya memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama, disitulah ada keseriusan mengenai cita-cita saya. Cita-cita yang mungkin setiap orang inginkan, yaitu dokter. Sayangnya cita-cita saya yang ingin sekali menjadi dokter kandas begitu saja.

Ketika orang tua saya tahu bahwa saya sangat ingin sekali menjadi dokter dan serius dengan perkataan saya, orang tua saya merasa kurang yakin akan cita-cita saya. Mama saya mempermasalahkan biaya. Memang sekolah kedokteran pasti membutuhkan biaya yang besar, mana mampu untuk bisa bersekolah dijurusan tersebut. Mama saya menyarankan lebih baik menjadi guru saja seperti mamah. Tapi saya tidak patah semangat, saya ingin jadi dokter, dan harus jadi dokter. 

Saya harus belajar giat agar nanti bisa lolos kedokteran dan mendapat beasiswa untuk bersekolah kedokteran. Keyakinan saya terus tumbuh semasa waktu SMP. Saat memasuki masa Sekolah Menengah Atas, nilai ujian saya kalah karena penerapan sistem zonasi. Saya tidak bisa masuk SMA yang saya inginkan, saya juga gagal ditahap ke-2 untuk penyeleksian kelas cerdas istimewa pada waktu itu. Alhasil mama menyekolahkan saya ke Pesantren karena ingin saya bisa lebih memperdalam agama.

Saat di Pesantren, saya masih berkeinginan untuk menjadi dokter. Sayangnya kedokteran memang tidak ditakdirkan untuk saya. Pesantren tempat saya menimba ilmu tidak menyediakan jurusan IPA karena jumlah murid angkatan saya yang sedikit, kurang dari 30 orang. waktu itu, syarat untuk membuka 2 jurusan adalah jumlah siswa yang harus lebih dari 30 orang. Saya dan teman-teman terpaksa harus memilih satu jurusan saja untuk angkatan. Dan IPS lah yang dipilih oleh kebanyakan teman saya. Gagal sudah harapan saya untuk menjadi dokter, syarat untuk mengambil kedokteran adalah lulusan SMA jurusan IPA. Sedangkan saya bukan lulusan IPA. Guru saya pun menyarankan lebih baik mencari jurusan yang linear dengan IPS. saya tidak tahu ingin menjadi apa, sampai waktu terus berjalan dan tibalah pemilihan jurusan.

Saat itu, tidak terbayang apa yang nantinya akan saya ambil, orang tua saya menyarankan lebih baik ambil keguruan saja. Saya lolos SBMPTN jurusan keguruan di salah satu PTN yang berada di Bandung. Namun saya masih kurang yakin dengan jurusan tersebut. tak lama setelah pengumuman SBMPTN, saya dinyatakan lolos UMPTKIN di jurusan Sejarah dan Peradaban Islam. Alasan saya memilih jurusan Sejarah, karena guru sejarah  saya menggunakan metode yang seru dalam pengajaran, dan itu membuat saya tertarik dengan sejarah. Saya memilih UIN Jakarta karena UIN Jakarta adalah kampus dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Akhirnya dengan pertimbangan jarak yang dekat, saya memilih UIN Jakarta.

Berkuliah di UIN Jakarta

Namanya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, letaknya di Tanggerang. Tapi sering disebut sebagai UIN Jakarta. Saya mengetahui UIN Jakarta karena ada beberapa kakak kelas saya yang berkuliah di kampus ini. Saya tidak terlalu mengenal secara rinci UIN Jakarta itu seperti apa, karena perkuliahan yang saya lakukan sampai semester 2 ini menggunakan metode daring akibat pandemi. Tetapi, izinkan saya memperkenalkan UIN Jakarta menurut sudut pandang saya dan pemahaman saya. 

Bagi saya, UIN  adalah kampus yang unik, karena menggabungkan antara nilai keagamaan dengan nilai umum. Sungguh integrasi yang sangat hebat. Coba bayangkan, betapa hebatnya lulusan UIN karena bisa mempelajari ilmu agama dan keilmuan umum. Bukannya itu hal yang hebat?. Meski agak sulit untuk bisa menguasai keilmuan agama dan keilmuan umum secara bersamaan, tapi itu menjadi tantangan tersendiri bagi saya, selaku mahasiswa baru di UIN Jakarta. Bagi saya itu sulit, apalagi bahasa Arab saya yang sangat pas-pasan, ditambah saya berkuliah di UIN. Itu adalah hal yang sulit sekaligus tantangan bagi saya. 

Saya menggap UIN seperti pintu kemana saja yang dimiliki Doraemon, saya menganggap jurusan saya yaitu sejarah seperti mesin waktu bagi saya. Coba pikirkan dan bayangkan, sejarah adalah ilmu yang mempelajari sesuatu yang terjadi dimasa lampau. Mempelajari sejarah bagaikan menjadi seorang time travel yang mengunjungi waktu di masa lalu atau waktu yang sudah terjadi. Ketika mempelajari sejarah proklamasi Indonesia, saya membayangkan saya berada di masa tersebut. ditambah dengan penggambaran yang cukup detail dari penjelasan dosen serta referensi bacaan mengenai sejarah tersebut, semakin jelas membayangkan seolah-olah saya bisa berada pada masa proklamasi. 

Meski bukan menjelajah waktu secara nyata, namun dengan mempelajari sejarah saya dapat membayangkan suasana yang telah terjadi jauh sebelum saya lahir. Karena sejarah, juga karena  ilmu bantu sejarah yaitu arkeologi, saya dapat mengetahui Dinosaurus seperti yang saya inginkan saat kecil. Saat kecil saya ingin memiliki mesin waktu agar bisa melihat Dinosaurus. Bagi saya, bisa melihat gambar dan penjelasan dari buku tentang dinosaurus itu sudah cukup menyenangkan hati saya. Dan hal itu terjadi salah satunya karena faktor sejarah yang mempelajari masa lampau. Karena adanya ilmu bantu sejarah yaitu arkeologi.

UIN juga bagi saya adalah pintu kemana saja, pintu yang mungkin nantinya bisa membawa saya melihat salju, melihat indahnya dunia ciptaan Tuhan. Melihat para alumni UIN Jakarta yang berpijak dibanyak negara dan menjadi mahasiswa di kampus luar negeri membuat saya yakin dan berpikiran bahwasannya UIN Jakarta adalah pintu kemana saja. Pintu yang bisa membawa mahasiswanya untuk bisa berkeliling dunia. Membawa kemajuan untuk peradaban ini.

Ternyata saya tidak butuh Doraemon untuk bisa menjelajah waktu dengan mesin waktu. saya juga tidak butuh pintu kemana saja untuk bisa melihat salju dan pergi ke ke luar negeri, ke hamparan bumi luas ciptaan Tuhan Yang Maha Hebat. Cukup dengan mempelajari sejarah, saya bisa membayangkan seolah-olah berada diwaktu lampau. Dengan UIN yang bisa saya jadikan pijakan, motivasi, serta acuan untuk bisa membuatnya menjadi pintu kemana saja bagi saya. 

Untuk nantinya mungkin bisa mengantarkan saya agar bisa melihat salju seperti keinginan saya dulu saat kecil, untuk bisa bepergian ke tempat-tempat hebat. Ke negeri para cendikiawan, negeri seribu dam, negeri tirai bambu, negeri tirai besi, dan negeri-negeri lainnya. Sungguh Allah Maha Hebat atas segala rencana yang telah dipersiapkan untuk hamba-hambaNya. Saat kecil saya memimpikan ingin memiliki alat Doraemon berupa mesin waktu dan pintu kemana saja. Lalu Allah wujudkan dengan UIN Jakarta dan jurusan sejarah yang nantinya mungkin bisa membawa saya mewujudkan apa yang saya impikan sedari kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun