Kecaman terkait Pembangunan PLTU datang dari berbagai pihak. Pertama datang dari Aktivis lingkungan kepada Bank Dunia karena terus memberikan dukungan keuangan untuk Pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia khususnya di Suralaya, Banten. Selain itu, pembangunan proyek PLTU ini diperkirakan akan melepaskan 250 juta ton karbon dioksida yg berdampak pada pemanasan iklim ke atmosfer, penggusuran paksa terhadap masyarakat yg tinggal di lokasi proyek yg sudah terjadi, serta berdampak pada kualitas udara wilayah tersebut dan sekitarnya termasuk ibu kota Jakarta, yg berimplikasi pada biaya kesehatan tahunan mencapai lebih dari $1 miliar (VoaIndonesia, 14/09/23).
Kedua, datang dari masyarakat Banten bersama PENA masyarakat, Trend Asia serta Inclusive Development Internasional and Recourse ke Grup Bank Dunia, menyatakan bahwa adanya keterlibatan lembaga swasta pemberi pinjaman anak usaha Bank Dunia yaitu IFC dlm proyek tersebut. Penambahan PLTU (yang akan dibangun) akan menambah ancaman kesehatan masyarakat yg telah dirasakan seperti ISPA. selain itu, proyek PLTU yg baru akan menyebabkan ribuan kematian dini serta akan melepaskan sekitar 250 metrik ton CO2 ke atmosfer selama 30 tahun masa operasi.
Padahal kebutuhan listrik di daerah tersebut sudah terpenuhi dan jaringan listrik Jawa-Bali sudah kelebihan pasokan. Sama sekali tidak ada urgensinya untuk terus membangun PLTU Jawa 9 dan 10, ujar juru kampanye Energi Trend Asia (Trendasia.org, 14/09/23)
Rakyat kembali menjadi korban pembangunan infrastruktur negara. Inilah sifat asli pembangunan ala kapitalisme yang tdk ramah lingkungan dan yg paling parah adalah tidak manusiawi. Dalam pandangan kapitalisme, memperoleh keuntungan dari proyek strategis adalah harga mati. Seberapa besar upaya mewujudkan proyek strategis, sebanyak itulah keuntungan yang ingin mereka dapatkan dari proyek tersebut. Bagi kapitalisme, meski berisiko dan berbahaya, hal tersebut bukanlah hambatan. Bahkan, mereka bisa menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan yang dikehendaki.
President Director Indo Raya Tenaga Peter Wijaya mengatakan PLTU Jawa 9 dan 10 menginisiasikan penggunaan amonia hijau dan hidrogen hijau dalam upaya mendukung kebijakan net zero emission. Jika ini diterapkan pada proyek PLTU Jawa 9 dan 10, berapa banyak dana yang keluar? Jelas hal ini sangat berpeluang menarik pemodal atau investor untuk merealisasikan proyek ini. Imbasnya, PLTU hanya akan menjadi target komersialisasi listrik. Proyek jadi, rakyat disuruh beli jika ingin menikmati hasilnya.
Fokus negara seharusnya pada aspek terpenuhinya pendistribusian instalasi listrik di semua daerah hingga daerah yang sulit terjangkau listrik. Terhadap wilayah yang tidak ada instalasi listrik, negara bisa membangun pembangkitnya sesuai kebutuhan masyarakat serta memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan. Bukan malah memaksakan kehendak dengan membangun PLTU pada daerah yang memiliki kelebihan pasokan daya listrik.
Dengan demikian, Negara wajib menyediakan infrastruktur publik yang memadai. Dalam membangun infrastruktur tersebut, Islam menetapkan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan. Pertama, Islam memandang terdapat tiga elemen yaitu air, api, dan padang rumput yang harus dikelola oleh negara tanpa campur tangan asing yang tujuannya tidak lain agar pengelolaannya dapat dirasakan oleh masyarakat bukan swasta/pengusaha. Termasuk pembangunan pembangkit listrik negara tidak boleh mengambil keuntungan darinya, tapi harus diberikan secara gratis kepada rakyat atau kalaupun rakyat harus bayar dengan biaya yang murah untuk mengganti biaya produksinya saja.Â
Kedua, negara wajib memetakan setiap wilayah yang sudah dan belum adanya instalasi listrik, sehingga pembangunan instalasi listrik sesuai dengan kadar kebutuhannya tidak mubazir. Sehingga distribusi listrik betul2 merata dan dirasakan seluruh rakyat. Ketiga, pembangunan dalam Islam berorientasi untuk kebaikan hidup manusia dalam menjalankan perannya sebagai hamba Allah Taala. Kebijakan negara tidak boleh membawa kemudaratan dan kezaliman. Dalam perencanaan pembangunan, negara harus melakukan analisis dampak kebijakan tersebut bagi lingkungan dan masyarakat.
Keempat, pembangunan semua infrastruktur publik dibiayai oleh negara via Baitul maal, tidak boleh diserahkan kepada pihak lain kepada pihak lain baik dalam bentuk investasi asing, utang, swastanisasi, privatisasi, ataupun konsesi. Kelima, negara memberikan edukasi secara menyeluruh tentang kewajiban menjaga lingkungan, memanfaatkan hasil SDA secara bijak, dan sanksi tegas bagi setiap individu yang merusak lingkungan, mengeksploitasi SDA dengan serampangan, dan segala aktivitas yang bisa mengancam keseimbangan alam dan lingkungan.
Demikianlah, visi pembangunan infrastruktur, yakni terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan tercapainya kemaslahatan yang hanya dapat terwujud dengan penerapan sistem Islam kaffah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H