Pemaknaan Jihad dalam Hadist
Setelah ayat suci al-Qur’ān, hadist menjadi pedoman dan sumber hukum Islam yang menduduki posisi prioritas kedua dalam menafsirkan suatu konsep atau menentukan sebuah hukum. Berbagai permasalahan mengenai jihad adalah salah satu perkara serius yang hukum dan bahasannya banyak tercantum di dalam hadist Rasulullah serta riwayat para sahabat. Berdasarkan prinsip mengenai hadist, para ulama mengkaji dan menganalisis hadist yang bersangkutan untuk menyimpulkan makna dari kata Jihad.
Dalam Fatḥ al-Bāri, Ibnu Ḥajar menjelaskan bahwa jihad menurut syariat adalah mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi kaum kafir. Jihad juga digunakan dalam arti melawan hawa nafsu, shaiṭān dan orang fasik. Jihad melawan hawa nafsu adalah dengan belajar masalah agama, mengamalkannya dan mengajarkannya. Adapun jihad melawan shaiṭān adalah menolak semua shubhāt (keragu-raguan) dan bisikan hawa nafsu yang berasal darinya. Sedangkan jihad dalam arti melawan orang kafir dapat dilakukan dengan kekuatan, harta, lisan dan hati, sementara jihad melawan orang fasik adalah dengan kekuatan, lisan dan hati
Dijelaskan pula dalam Fatḥal-Bāri bahwa tidak ada lagi hijrah setelah penaklukkan Kota Mekkah dan hukum ini berlaku pada semua wilayah yang telah ditaklukkan oleh Islam. Hadis ini mengisyaratkan bahwa semua wilayah yang telah berada di bawah kekuasaan Islam akan tetap menjadi wilayah Islam hingga hari kiamat, karena perpindahan dari satu wilayah Islam ke wilayah Islam lainnya tidak dinamakan hijrah lagi. Kemudian Ibnu Ḥajar menambahkan apabila seorang muslim berada pada suatu wilayah yang belum ditaklukkan Islam, maka hukumnya ditinjau dari kondisi muslim itu di wilayah tersebut. Adapun pahala berhijrah diganti dengan berjihad ke wilayah yang belum ditaklukkan Islam untuk meyebarkan agama Allah, baik menggunakan tulisan, lisan ataupun pedang dan dilakukan dengan niat tulus mengharap keriḍaan Allah.
Sebuah hadist ini memperjelas bahwa yang dikatakan berperang di jalan Allah adalah yang berniat menjunjung kalimatullāh, yaitu berdakwah mengajak kepada Islam dan benar-benar mengharap ridha Allah. Niat yang demikian harus menjadi niat awal dan utama ketika seorang mujahid berperang. Namun apabila dalam pelaksanaan muncul maksud-maksud selain hal tersebut, maka tidak jadi masalah asalkan niat karena Allah tetap yang utama. Ini merupakan pendapat (Al-Ṭabarī dan Jumhur Ulama).
Jihad antara Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah
Jihad dikatakan Fardhu ‘Ain apabila tidak ada lagi orang yang melakukan jihad kecuali hanya dirinya sendiri maka pada saat posisi itulah hukumnya menjadi Fardhu ‘Ain. Selain itu, yang dapat dikatakan sebagai Fardhu ‘Ain apabila sebab-sebab berikut ini:
- Apabila seorang Imam atau Pemimpin Agama telah mewajibkan bagi suatu kaum untuk berperang maka Jihad tersebut menjadi Fardhu ‘Ain dan Allah SWT mencela keras kepada orang-orang yang enggan untuk berjihad di jalan Allah hanya dikarenakan kecintaannya yang berlebihan kepada dunia.
- Apabila ketika sedang berada di medan perang, maka wajib baginya untuk menghalau musuh, sebab jika lari dari medan peperangan kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain hukumnya dosa besar (QS. Al-Anfal: 15-16)
- Apabila suatu wilayah diserang oleh musuh Islam, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin di wilayah itu untuk berjihad karena hukumnya adalah Fardhu ‘Ain dan dikarenakan pula seorang muslim tidak diperbolehkan untuk menyerah kepada musuhnya selama ia masih mampu untuk mengadakan perlawanan terhadap mereka.
Sementara Jihad dikatakan sebagai Fardhu Kifayah apabila sebagian orang telah melakukannya dan sebagian lain telah mengetahuinya. Hal ini terus berkelanjutan dalam menegakkan suatu Jihad tersebut. Namun, apabila tidak ada seorangpun yang melakukannya maka berdosalah seluruh orang yang ada di wilayah/daerah tersebut.
Terdapat kasus lain ketika ada seseorang dihadapkan pilihan untuk mengikuti Jihad atau mengurus orang tuanya yang sedang membutuhkan pengabdiannya. Kemudian, sebuah hadis menerangkan tentang permasalahan ini yang diriwayatkan Abdullah bin Amru ra yang dapat diartikan sebagai berikut:
“Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw untuk meminta izin melakukan Jihad, kemudian beliau bertanya:”apakah kedua orang tuamu masih hidup? pemuda itu menjawab ya (orang tua saya masih hidup) kemudian Rasulullah saw berkata,”mengabdilah kepada orang tuamu karena itu juga merupakan Jihad. (HR. Muslim)”.
Dari hadist diatas telah menjelaskan bahwa mengabdi kepada kedua orang tua lebih diutamakan karena jihad kepada kedua orang tua hukumnya Fardhu Ain, sedangkan Jihad pilihan lainnya itu hukumnya Fardhu Kifayah. Oleh karena itu, dikedepankan jihad atas dasar skala prioritas dengan kaedah yang artinya: